Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Aku bersalawat dan menyampaikan salam kepada nabi kita Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ, yang merupakan penutup para nabi, beserta segenap keluarganya dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengambil petunjuknya sampai hari pembalasan. Amma ba’du.

Sungguh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah berfirman,

فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.” (al-A’raf: 158)

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ

Maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka mengapa kamu berpaling (dari kebenaran)? (Yunus: 32)

Maka setiap hal yang menyelisihi petunjuk jalan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, maka itu adalah batil dan sesat serta tertolak atas pelakunya, seperti kata Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

 مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak.”

Yakni, tertolak atas pelakunya, tidak diterima darinya.

Sesungguhnya sebagian kalangan kaum Muslimin –semoga Allah memberikan petunjuk dan bimbingan kepada mereka- biasa melakukan berbagai macam bentuk ibadah tanpa dibangun di atas kitab Allah dan sunah Rasul-Nya-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – tidak terkecuali dalam ibadah haji.

Dan, kebanyakan kesalahan yang dilakukan oleh para jama’ah haji itu merupakan hasil dari tindakan mengekor sebagian mereka terhadap sebagian lainnya tanpa bukti kebenaran. Dan, kami akan menjelaskan-dengan memohon pertolongan kepada Allah- petunjuk sunah pada sebagian amal yang banyak terjadi kesalahan di dalamnya, disertai dengan peringatan atas kesalahan-kesalahan tersebut, seraya memohon kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- semoga Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan taufik kepada kita, dan semoga pula Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan kemanfaatan dengan hal tersebut kepada saudara-saudara kita kaum Muslimin. Sesungguhnya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Maha Dermawan, Maha Mulia.

Kesalahan dalam Ihram

Telah valid disebutkan di dalam shahihain (shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- bahwa Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- telah menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, untuk penduduk Syam di Juhfah, untuk penduduk Najd di Qarn Manazil, untuk penduduk Yaman di Yalamlam, dan beliau bersabda,

فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَي عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ لِمَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ

“Maka, tempat-tempat tersebut (sebagai miqat) untuk penduduk daerah tersebut dan untuk orang-orang yang datang melaluinya yang bukan berasal dari penduduknya, bagi orang yang ingin berhaji dan umrah.”

Dan Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- meriwayatkan bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- telah menentukan (tempat miqat) untuk penduduk Iraq di Dzaatu ‘Irq (HR. Abu Dawud dan an-Nasai)

Telah valid pula di dalam shahihain, dalam hadis Abdullah bin Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

يُهِلُّ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ مِنْ ذِي الْحُلَيْفَةَ ، وَيُهِلُّ أَهْلُ الشَّامِ مِنَ الْجُحْفَةَ ، وَيُهِلُّ أَهْلُ نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ

Penduduk Madinah ber-ihlal dari Dzul Hulaifah. Penduduk Syam ber-ihlal dari Juhfah. Dan, penduduk Najd ber-ihlal dari Qarn.” (al-Hadis)

Maka, inilah miqat-miqat yang ditetapkan oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- batasannya secara syar’i yang bersifat tauqifiyah yang diwarisi dari pembuat syariat, tidak boleh bagi seorang pun mengubahnya atau bertindak lancang melampauinya, atau melampauinya tanpa berihram bagi orang-orang yang ingin berhaji dan umrah. Karena sesungguhnya tindakan-tindakan tersebut termasuk sikap lancang atau pelanggaran terhadap batasan-batasan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, sedangkan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-  telah berfirman,

وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim.” (al-Baqarah: 229)

Dan karena Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- telah bersabda di dalam hadis Ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-,

يُهِلُّ أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ ، وَيُهِلُّ أَهْلُ الشَّامِ، وَيُهِلُّ أَهْلُ نَجْدٍ

“Penduduk Madinah ber-ihlal… Penduduk Syam ber-ihlal… Dan, penduduk Najd ber-ihlal…”

Ini merupakan bentuk khabar, namun bermakna ‘perintah.’

Yang dimaksud dengan ber-ihlal, yakni, mengeraskan suara untuk bertalbiyah, dan hal ini tidak dilakukan kecuali ketika berihram (berniat memulai rangkaian ibadah haji atau umrah-pen). Jadi, berihram dari tempat-tempat miqat ini wajib dilakukan atas orang yang ingin menunaikan haji atau umrah, apabila ia melewatinya atau melewati daerah yang sejajar dengan miqat-miqat tersebut. Sama saja, baik ia melewati jalur darat atau pun melewati jalur laut, atau pun jalur udara.

Maka, jika seseorang melewati jalur darat, ia singgah di daerah-daerah miqat tersebut  jika ia akan melewatinya, atau melewati daerah yang sejajar dengannya jika ia tidak akan melewati tempat-tempat miqat tersebut. Hendaknya ia melakukan hal-hal yang semestinya dilakukannya ketika berihram, berupa mandi, mengenakan wewangian pada badannya, mengenakan kain ihramnya, kemudian ia berihram sebelum ia meninggalkan tempat tersebut.

Dan bila melalui jalur laut, maka bila kapalnya kapal penumpang yang besar (di mana banyak kebutuhan dapat terpenuhi di dalamnya) maka kapal tersebut berhenti pada daerah yang sejajar dengan miqat, ia (seseorang yang hendak haji atau umrah) mandi, memakai wewangian, dan mengenakan pakaian ihramnya sebelum ia melewatinya, kemudian ia berihram ketika melewatinya.

Dan jika jalur yang ditempuhnya adalah jalur udara, maka hendaknya sebelum menaiki pesawat seseorang telah mandi terlebih dahulu, mengenakan wewangian dan mengenakan kain ihramnya sebelum sampai daerah yang sejajar dengan miqat, kemudian ia berihram sebelum mendekati daerah yang sejajar dengan miqat, hendaknya ia tidak menunggu hingga ia melewatinya, karena pesawat berjalan sangat cepat sehingga tidak memberikan kesempatan (untuk berihram). Dan, jika seseorang berihram sebelum sampai ke daerah yang sejajar dengan miqat maka tidak mengapa, karena hal tersebut tidak akan membahayakannya.

Dan kesalahan yang seringkali dilakukan oleh sebagian orang adalah bahwa mereka melewati daerah di atas miqat saat berada di dalam pesawat, atau orang yang berada sejajar dengan miqat kemudian mereka menunda berihram sampai mereka turun di bandara Jeddah. Ini menyelisihi perintah Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan merupakan tindakan melampaui batas terhadap batasan-batasan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Dan di dalam shahih al-Bukhari disebutkan dari Abdullah bin Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata,

لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ الْمِصْرَانِ أَتَوْا عُمُرَ فَقَالُوْا يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَدَّ لِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيْقِنَا وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا . قَالَ فَانْظُرُوْا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيْقِكُمْ فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ

‘Ketika dua kota ini telah ditaklukkan-yakni, Bashrah dan Kufah- mereka (orang-orang yang tinggal di dua kota tersebut) mendatangi Umar, lalu mereka mengatakan (kepada Umar),’Wahai Amirul Mukminin, ‘sesungguhnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menentukan Qarn sebagai tempat miqat untuk penduduk Najd, sedangkan daerah tersebut jauh dan melenceng dari jalan yang kami lalui (ketika ingin berhaji dan umrah) dan sesungguhnya apabila kami ingin menuju ke Qarn hal tersebut memberatkan kami.’ Ibnu Umar pun mengatakan (kepada mereka), ‘kalau begitu, lihatlah oleh kalian daerah yang sejajar dengannya dari jalan yang kalian lewati.’ Maka, Umar menentukan batas (miqat) untuk mereka, yaitu Dzatu ‘Irq.

Oleh karena itu, apabila seseorang terjatuh ke dalam kesalahan ini, di mana ia turun mendarat di Jeddah sebelum ia berihram, maka ia wajib kembali ke miqat yang dilewatinya di atas pesawat, lalu ia berihram dari daerah miqat tersebut. Namun, jika ia tidak melakukan hal itu dan ia berihram dari Jeddah, maka ia –menurut pendapat kebanyakan para ulama-harus membayar fidyah, yaitu, menyembelih seekor kambing disembelih di Makkah dan dibagikan seluruhnya kepada orang-orang fakir yang ada di Makkah, ia tidak mengonsumsi sedikit pun dari fidyah tersebut, dan tidak pula menghadiahkan sebagiannya untuk orang-orang kaya, karena fidyah tersebut berkedudukan sebagai kafarat (atas pelanggaran dalam ibadah haji atau umrah)

Kesalahan dalam Thawaf

Telah valid dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bahwa beliau memulai thawaf dari Hajar Aswad yang berada pada Rukun Yamani bagian timur dari Ka’bah, dan bahwa beliau berthawaf mengitari semua bagian Ka’bah dari belakang Hijr, dan bahwa beliau melakukan raml pada tiga putaran pertama saja pada thawaf yang dilakukannya di awal kedatangan ke Makah.

Dan bahwa dalam thawaf yang dilakukannya, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – menyentuh hajar aswad dan beliau menciumnya. Beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – juga menyentuh hajar aswad dengan tangannya dan mencium tangannya. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– juga menyentuh hajar aswad dengan menggunakan mihjan yang dipegangnya sambil mengendarai untanya. Setiap kali beliau melewati ar-Rukn, yakni, Hajar Aswad, beliau mengisyaratkan ke ar-Rukn tersebut. Dan valid pula dari beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bahwa beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– mengusap Rukun Yamani.

Berbeda-bedanya sifat atau cara dalam menyentuh hajar aswad tersebut hanyalah–wallahu a’lam-karena menyesuaikan kemudahan yang dapat dilakukan. Maka, sifat atau cara menyentuh hajar aswad yang mudah dilakukan beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –, maka itulah yang dilakukannya. Dan, semua yang beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – lakukan berupa tindakan menyentuh, mencium, dan memberi isyarat itu hanyalah merupakan bentuk penyembahan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan pengagungan terhadap-Nya. Bukan karena sebuah keyakinan bahwa hajar aswad itu dapat memberi manfaat atau menimbulkan madharat (bahaya).

Di dalam shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) disebutkan hadis dari Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa beliau pernah suatu ketika mencium hajar aswad dan mengatakan,

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Sungguh aku tahu bahwa kamu adalah batu, tidak dapat membahayakan dan tidak pula dapat memberikan kemanfaatan. Andaikan aku tidak melihat Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– pernah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”

Dan, termasuk kesalahan yang dilakukan oleh sebagian jama’ah haji adalah:

1-Memulai thawaf dari sebelum hajar aswad, yakni, tempat yang terbentang antara hajar aswad dan rukun Yamani. Dan ini termasuk bentuk tindakan ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama yang dilarang oleh Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– , dan tindakan tersebut–pada sebagian sisinya-menyerupai tindakan mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari. Telah valid dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bahwa beliau melarang tindakan tersebut. Sedangkan klaim sebagian jama’ah haji bahwasanya mereka melakukan hal tersebut sebagai bentuk kehati-hatian tidaklah dapat diterima. Karena sikap atau tindakan kehati-hatian sejatinya yang bermanfaat adalah mengikuti tuntunan syariat dan tidak mendahului Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – dan Rasul-Nya-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –.

2-Thawaf yang mereka lakukan pada bagian Ka’bah yang diberi atap saja saat kondisi padat, di mana mereka masuk dari pintu hijr menuju ke pintu hijr berikutnya, dan meninggalkan sisa hijr yang berada disamping kanannya. Ini merupakan kesalah besar. Tindakan ini menjadikan thawaf yang dilakukan tidak sah. Karena, sejatinya ia tidak thawaf mengitari Ka’bah, mamun hanya mengitari sebagian dari Ka’bah.

3-Melakukan raml pada tujuh putaran seluruhnya

4-Sangat berdesak-desakan untuk sampai ke Hajar Aswad agar dapat menciumnya, sampai-sampai pada sebagian kondisi mereka saling ejek dan saling dorong satu sama lain, sehingga memunculkan tindakan saling pukul dan ucapan-ucapan mungkar yang tidak sepantasnya dilakukan di masjid Allah, al-Haram dan di bawah naungan rumah-Nya (Ka’bah), sehingga hal itu mengurangi thawaf, bahkan manasik seluruhnya. Berdasarkan firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- ,

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafas), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.” (al-Baqarah: 197)

Dan, tindakan berdesak-desakan ini akan menghilangkan kekhusyuan dan melupakan dzikrullah (mengingat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-), padahal kedua hal ini (kekhusyuan dan dzikrullah) termasuk makasud teragung dalam pelaksanaan thawaf.

5-Keyakinan mereka bahwa hajar aswad dapat memberikan kemanfaatan dengan zatnya. Oleh karena itu, Anda akan mendapati mereka, ketika mereka telah mengusap hajar aswad mereka mengusapkan tangan-tangan mereka ke tubuh mereka, atau mereka mengusapkannya ke anak-anak mereka yang tengah bersama-sama dengan mereka. Semua tindakan ini merupakan tindakan kebodohan dan kesesatan. Karena, kemanfaatan itu dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- semata. Dan telah lalu penyebutan perkataan amirul mukminin Umar bin Khattab-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -, yaitu,

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

“Sungguh aku tahu bahwa kamu adalah batu, tidak dapat membahayakan dan tidak pula dapat memberikan kemanfaatan. Andaikan aku tidak melihat Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– pernah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”

6-Tindakan mengusap yang mereka lakukan-yakni, yang dilakukan oleh sebagian jama’ah haji-terhadap semua pojok-pojok Ka’bah, dan boleh jadi kadang mereka mengusap seluruh dinding-dinding Ka’bah dan mengusapkan badan-badan mereka ke dinding-dinding Ka’bah tersebut. Ini  merupakan kebodohan dan kesesatan. Karena sesungguhnya, mengusap (sesuatu yang diperintahkan untuk mengusapnya) merupakan bentuk ibadah dan pengagungan terhadap Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, maka wajib dilakukan berdasarkan apa yang datang dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, sementara Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, tidak mengusap dari bagian Ka’bah selain dua rukun ; rukun Yamani dan Hajar Aswad.

Di dalam Musnad imam Ahmad,  Mujahid meriwayatkan dari Ibnu Abbas- رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-bahwa beliau pernah suatu ketika thawaf bersama Mu’awiyah- رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, namun Mu’awiyah mengusap pojok-pojok Ka’bah seluruhnya. (Melihat hal tersebut) maka berkatalah Ibnu Abbas – َضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- (kepada Mu’awiyah- رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-), ‘Mengapa Anda mengusap kedua rukun ini (selain rukun Yamani dan Hajar Aswad) sedangkan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak mengusap keduanya? Maka, Mu’awiyah pun menjawab, ‘Tak ada sesuatu pun dari bagian Ka’bah yang diacuhkan.’ Lalu, Ibnu Abbas – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- mengatakan (kepada Mu’awiyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-), ‘Sungguh telah ada pada diri Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- suri tauladan yang baik bagi kalian.’ Mu’awiyah pun mengatakan (kepada Ibnu Abbas), ‘Kamu benar’ (wahai Ibnu Abbas)

Kesalahan Ucapan dalam Tawaf

Telah valid dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bahwa beliau bertakbir mengagungkan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- setiap kali datang melewati hajar Aswad, dan ketika berada di antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad beliau berdoa seraya mengucapkan,

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Artinya,  Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka”

Dan, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah bersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لِإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ

“Thawaf mengitari Ka’bah, (Sai) antara bukit shafa dan bukit marwa dan melempar jumrah hanyalah dijadikan untuk menegakkan dzikrullah (mengingat Allah)”

Dan, termasuk kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang melakukan thawaf dalam hal ini adalah mengkhususkan setiap putaran dengan doa tertentu, di mana mereka tidak berdoa saat itu dengan doa lainnya, sampai-sampai ada di antara mereka apabila telah menyempurnakan putaran thawafnya sebelum menyempurnakan doanya tersebut, ia memutus doanya meskipun tidak tersisa dari doa yang harus diucapkannya tersebut kecuali satu kata saja; hal itu dilakukan agar ia dapat mendatangkan bacaan doa yang baru untuk putaran thawaf berikutnya, dan apabila doa yang harus dibacanya-menurut mereka- telah secara sempurna dibaca sebelum putaran thawaf selesai dilakukannya, maka ia diam (tidak membaca doa apa saja).

Padahal tidak datang dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- terkait dengan thawaf ini, doa yang dikhususkan untuk setiap putaran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ‘Dan tidak ada di dalamnya –yakni, Thawaf– dzikir yang dibatasi dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, tidak berupa perintahnya, tidak pula berupa ucapannya, tidak pula berupa pengajarannya. Bahkan, hendaknya seseorang berdoa pada saat itu dengan seluruh doa yang dituntunkan oleh syariat. Dan, apa-apa yang disebutkan oleh banyak orang berupa doa khusus di bawah talang air dan lainnya, maka hal tersebut tidak ada dasarnya.

Atas dasar ini, maka orang yang tengah thawaf berdoa dengan doa yang disukainya berupa dua kebaikan, kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, berdzikir kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengan dzikir yang disyariatkan berupa tasbih, atau tahmid, atau tahlil, atau takbir, atau membaca al-Qur’an.

Termasuk kesalahan pula yang dilakukan oleh sebagian jamaah yang tengah melakukan thawaf adalah membawa serta doa yang tertulis dalam kertas, ia berdoa dengan doa-doa yang tertulis di dalam kertas tersebut sedangkan mereka tidak tahu makna doa-doa yang dipanjatkannya tersebut. Dan, terkadang boleh jadi di dalam doa-doa yang ditulis di dalam kertas tersebut terdapat sejumlah kesalahan dari pencetak atau yang menuliskannya yang membalik makna, dan menjadikan isi dari doa tersebut sebagai doa keburukan untuk orang yang berdoa. Sehingga ia berdoa buruk untuk dirinya tanpa disadarinya. Aku pernah mendengar hal yang sangat mengherankan ini. Padahal, andaikan orang yang thawaf berdoa memohon kepada Rabbnya dengan apa-apa yang diinginkannya dan diketahuinya lalu ia memaksudkan maknanya niscaya hal tersebut lebih baik dan lebih bermanfaat baginya. Dan tindakkan tersebut lebih banyak meneladani dan mengikuti Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- .

Termasuk kesalahan pula yang dilakukan oleh sebagian orang yang thawaf adalah sekelompok orang berkumpul dengan di pandu oleh seorang pemimpin yang berkeliling mengitari mereka, dia menuntun para jamaah berdoa dengan suara keras, lalu para jamaah mengikutinya dengan satu suara sehingga suara-suara meninggi dan terjadi kegaduhan, dan menimbulkan kekacauan pikiran dan perasaan orang-orang yang tengah thawaf lainnya, sehingga mereka tidak tahu apa yang mereka katakan. Dan, dalam tindakan ini akan menghilangkan kekhusyuan dan menyakiti hamba-hamba Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- di tempat yang aman ini. Padahal, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– pernah keluar ke tengah-tengah orang-orang yang tengah mengerjakan shalat dan mereka mengeraskan bacaannya. Lalu, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– mengatakan (kepada mereka), ‘Masing-masing dari kalian tengah bermunajat kepada rabbnya. Maka, janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaan al-Qur’an atas sebagian yang lainnya. (Diriwayatkan oleh imam Malik di dalam al-Muwatha)

Duhai alangkah baiknya bila pemimpin ini ketika menghadapkan para jama’ah ke Ka’bah, ia berhenti sejenak menghadapkan diri ke para jama’ah seraya mengatakan kepada mereka, ‘lakukanlah ini, katakanlah ini, berdoalah kalian dengan apa-apa yang kalian sukai’, dan ia berjalan bersama mereka di tempat thawaf sehingga tak seorang pun di antara para jama’ah yang melakukan kesalahan, sehingga mereka melakukan thawaf dengan penuh kekhusyu’an dan ketenangan, mereka berdoa kepada rabb mereka dengan penuh rasa takut dan harapan dengan apa-apa yang mereka menyukainya dan dengan apa-apa yang mereka mengetahui maknanya dan mereka memaksudkannya, sehingga orang lain yang juga tengah thawaf pun selamat dari tindakan menyakiti yang mereka lakukan.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber:

Akhthaa-un Yartakibuhaa Ba’dhu al-Hujjaj, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Dengan ringkasan