Ibnu Hajar -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Berkata al-Hakim dalam kitabnya Al-Iklil, berdasarkan riwayat yang mutawatir, ketika Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-mengetahui bulan Dzulqa’dah, beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukan umrah sebagai ganti umrah mereka yang gagal dan tidak boleh seorang pun yang ikut dalam peristiwa Hudaibiyah tertinggal. Oleh karena itu, berangkatlah para sahabat, kecuali mereka yang telah syahid untuk melaksanakan umrah yang jumlah mereka mencapai 2.000 orang di luar anak-anak dan kaum perempuan. Selain itu, ini juga dinamakan umrah perdamaian.” [1]

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berangkat pada tahun ke-7 H, setelah berlalu bulan pada tahun kaum musyrikin menghalangi beliau masuk ke kota Mekah. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga membawa 60 ekor unta kurban, membawa senjata dan perlengkapan perang lainnya, 100 pasukan kaveleri (berkuda) sebagai sikap waspada akan pengkhianatan kaum musyrikin. Ketika beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sampai di Dzulhulaifah, pasukan berkuda diperintahkan untuk berada pada barisan terdepan di bawah pimpinan Muhammad bin Maslamah dan juga pasukan bersenjata lainnya di bawah pimpinan Basyir bin Sa’ad.

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan kaum muslimin memulai ihramnya dan sambil bertalbiyah (mengucapkan kalimat Labbaika Allahumma Labbaik, Pen). Sedangkan Muhammad bin Maslamah yang memimpin pasukan berkuda sudah berada di Marra Zhahran dan bertemu dengan sekelompok kaum musyrikin lalu mereka bertanya kepadanya, Maslamah menjawab, “Ini adalah Rasulullah, insya Allah besok pagi beliau sampai di sini.” Oleh karena itu, sekelompok kaum musyrikin mendatangi kaum Quraisy untuk mengabarkannnya dan mereka pun kaget.

Sampailah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- di Marra Zhahran lalu beliau menempatkan persenjataannya di lembah Ya’jaj [2] yang terlihat dengan jelas wilayah Al-Haram (Mekah) dan beliau menugaskan Aus bin Khuli Al-Anshari beserta 200 pasukannya untuk menjaganya. Orang-orang Quraisy Mekah pun berdatangan menuju puncak-puncak pegunungan untuk menyaksikannya. Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memperlihatkan hadyu (hewan kurban yang akan disembelih dalam rangka ibadah haji, Pen) dan membiarkannya di Dzi Thuwa [3]

Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, “Ketika Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan para sahabatnya tiba, orang-orang Musyrik berkata, “Sesungguhnya dia datang kepada kalian dalam keadaan sakit karena demam Yatsrib.” Kemudian Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf dan berjalan antara dua rukun.” Ibnu Salamah menambahkan yang bersumber dari riwayat Ayyub dari Sa’id bin Zubair dari Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – berkata, “Ketika Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- datang pada tahun yang disepakati (untuk dibolehkan berumrah), beliau berkata,’Berlarilah kalian saat thawaf agar orang-orang musyrik melihat kekuatan kalian.” Sementara orang-orang musyrik memperlihatkan mereka dari arah pegunungan Qu’aiqi’an.” [4]

Dalam Sirah Ibnu Hisyam disebutkan, “Ketika Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ – memasuki Masjid Haram, beliau menyingkapkan kain ihramnya sehingga terlihatlah bahu kanannya, lalu beliau berkata, “Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini di hadapan mereka (musyrikin).” Kemudian beliau mengusap rukun (sudut Ka’bah) dan keluar sambil berlari-lari yang diikuti para sahabatnya. Ketika sampai di rukun Yamani, beliau mengusapnya lalu berjalan hingga Hajar Aswad, kemudian kembali berlari-lari hingga tiga putaran pertama selebihnya berjalan.” [5]

Kemudian Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melakukan thawaf antara shafa dan Marwah di atas kendaraannya. Setelah selesai pada putaran ketujuh dan hadyu berada pada bukit Marwah, beliau berkata, “Inilah tempat berkurban dan semua lorong-lorong Mekah adalah tempat menyembelih.”

Kemudian Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerintahkan sebagian sahabatnya untuk pergi menemui pasukan yang berada di lembah Ya’jaj. Kemudian mereka pun bergantian untuk menjaga persenjataan dan yang lainnya pergi untuk menunaikan ibadah haji. [6]

Dalam shahih al-Bukhari diceritakan, “Ketika beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- telah memasuki kota Mekah dan telah berakhir masa kunjungannya, kaum musyrikin datang kepada Ali seraya berkata, “Katakan kepada temanmu (Muhammad), kamu harus meninggalkan tempat kami karena batas waktunya sudah berakhir.” Kemudian Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pun keluar (untuk meninggalkan Mekah). Namun, tiba-tiba putri Hamzah memanggilnya, “Ya Paman ! Ya Paman!’. Lalu Ali membawanya dan berkata kepada Fathimah, “Rawatlah putri pamanmu dan bawalah dia.” Namun, Zaid dan Ja’far juga menginginkannya sehingga terjadilah keributan di antara ketiganya.

Ali berkata, “Aku lebih berhak karena dia adalah putri pamanku.” Ja’far berkata, “Aku lebih berhak karena dia adalah putri pamanku dan bibinya adalah istriku.” Zaid berkata, “Aku lebih berhak karena dia adalah putri saudaraku (keponakanku).” Kemudian Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memutuskan bahwa dia ikut kepada bibinya, seraya berkata, “Bibi (dari pihak ibu) kedudukannya seperti ibu.” Selain itu, beliau juga berkata kepada Ali, “Kamu keluargaku dan aku pun keluargamu.” Sedangkan kepada Ja’far beliau berkata, “Kamu paling  menyerupai akhlakku dan fisikku.” Selain itu, kepada Zaid beliau berkata, “Kamu saudara kami dan pemimpin kami.” [7]

Dalam perjalanan pulang saat berada di wilayah Saraf, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menikahi Maimunah binti Al-Harits kemudian melanjutkan perjalannya hingga sampai di Madinah [8]

Hikmah (pelajaran) yang bisa dipetik:

Pelajaran yang dapat dipetik dari Umrah Qadha adalah sebagai berikut :

1-Umrah Qadha adalah gambaran dari kemenangan kaum muslimin atas kaum musyrikin. Umat Islam dapat memasuki kota Mekah untuk thawaf, sa’i, dan menampakkan syiar-syiar ketauhidan dihadapan kaum musyrikin Quraisy tanpa dapat berbuat apa-apa.

Gambaran kemenangan ini semakin jelas ketika kita membandingkan dengan permulaan dakwah. Pada saat itu, kaum muslimin tidak dapat menampakkan keislamannya dan tidak dapat membacakan sepotong ayat pun dari al-Qur’an al-Karim. Namun, pada saat Umrah Qadha, mereka dapat melakukan talbiyah, thawaf, sa’i, dengan aman dan tenang.

2-Senjata yang dibawa oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan menempatkannya di Ya’jaj yang dekat dengan Mekah adalah sebagai sikap waspada akan adanya pengkhianatan kaum musyrikin. Dari sini kita harus bersikap waspada dan hati-hati, terutama pada situasi dan kondisi dikhawatirkan akan terjadi pengkhianatan dan serangan mendadak dari kaum kafir.

3-Dibenarkannya memancing kemarahan kaum musyrikin. Sesungguhnya Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ketika mengetahui apa yang diucapkan kaum musyrikin bahwa kaum muslimin dalam keadaan sakit akibat demam Yatsrib, beliau memerintahkan para sahabat untuk berlari-lari kecil dalam thawafnya agar kaum musyrikin melihat betapa gagah dan kuatnya kaum muslimin dan kemarahan mereka terpancing. Penulis Zadul Ma’ad berkata, “Rasulullah selalu berusaha untuk memperdayakan orang-orang kafir sebisa mungkin “[9] dan pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Katsir [10] dan As Syami [11]

4-Amalan-amalan tersebut tetap disyariatkan hingga hari kiamat sekalipun alasan pensyariatannya tidak ada lagi. Ibnul Qayyim berkata, “Ini adalah bagian dari syariat bahwa hukum yang dahulunya memiliki sebab, tidak disyariatkan keberlangsungannya meski ada sebab tersebut.” [12]

5-Sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- “Allah merahmati siapa yang memperlihatkan kekuatannya hari ini kepada mereka.” Ini merupakan salah satu metode dakwah dalam rangka memotivasi yaitu memperlihatkan dan memancing amarah kaum musyrikin. Ini adalah metode yang sering digunakan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pada beberapa situasi. Seperti ucapannya, “Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos rambutnya.” Beliau mengulangi kalimat ini sampai tiga kali. Hal ini dalam rangka memotivasi untuk mencukur rambut dan menjelaskan keutamaan cukur plontos pada peristiwa Hudaibiyah seperti yang sudah kita bahas.

6-Keputusan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tentang status putri Hamzah dan kata-kata beliau yang indah dan menyejukan jiwa  kepada Ali, Ja’far, dan Zaid adalah bukti indahnya akhlak beliau, kelembutan perilaku beliau, dan upaya menghibur jiwa yang dapat mendatangkan ketenangan pikiran. Hendaknya ini harus menjadi teladan khususnya bagi para da’i.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber :

Fikih Sirah Nabawiyah, Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, hal.500-503

 

Catatan:

[1] Ibnu Hajar, Fathul Bari. Juz 7. Hal.500

[2] Sebuah lembah yang terletak dekat Mekah, arah Utara Tan’im dan lembah Tan’im terletak di lembah Ya’jaj, jalan yang melintas ke Madinah dengan jarak 10 km dari arah Masjidil Haram yang sekarang disebut Yaj. Lihat, Muhammad Syarab, Al Ma’alim Al Atsirah, hal. 297

[3] Al-Qasthalani, Al Mawahib Al Laduniyah. Juz 1. hal.541-542

[4] Fathul Bari. Juz 7. Hal.508-509

[5] Ibnu Hisyam, As Sirah an Nabawiyah, juz : 4, hal : 69

[6] al-Qasthalani, al-Mawahib Al Laduniyah, Juz : 1, hal : 544

[7] Fathul Bari, Juz : 7, hal : 449

[8] Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, juz : 3 hal : 372

[9] Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, Juz 3, hal.3771

[10] Al Bidayah Wa an Nihayah, Juz 4, hal.229

[11] Subul Al Huda war Rasyad, juz 5, hal.293

[12] Ibnul Qayyim, Bada’i Al-Fawaid, Juz 3, hal.161, Zadul Ma’ad, juz 3, hal.215, dan Tahdzib as-Sunan, juz 2, hal. 309-310