air2Pertanyaan :

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Apa hukum bersuci dengan menggunakan air yang tercampur kotoran cicak?”

Jawaban :

Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Tidak diragukan bahwa kotoran cicak termasuk sesuatu yang najis. Meskipun bentuknya kecil, kotoran cicak tetaplah najis. Yang menjadi masalah, apakah sesuatu yang sedikit dari najis itu tatkala tercampur dengan air secara mutlak akan membuat air suci tersebut menjadi najis pula?

Yang menjadi kesepakatan para ulama ahli fikih ialah apabila sebuah najis bercampur dengan air yang menyebabkan terjadinya perubahan pada warna air, bau dan rasanya, maka ketika itu air tersebut menjadi najis secara ijma’ dan tidak boleh digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi junub).

Yang menjadi silang pendapat di antara ulama fikih, ialah ketika najis tersebut bercampur dengan air yang tidak meninggalkan perubahan pada warna air, bau dan rasanya. Di mana sifat air tersebut tidak berubah dan tetap pada sifat awalnya sebelum tercampur dengan najis.

Pendapat pertama, Adapun jika keberadaan najis tersebut tidak menyebabkan
perubahan pada warna, bau, maupun rasanya, maka hukum air tersebut dilihat dari banyak tidaknya air itu. Apabila airnya banyak yang melebihi dua kulah, maka air tersebut tetap suci dan bisa digunakan untuk bersuci, namun jika airnya hanya sedikit, misalkan cuma satu qayung, maka air ersebut dihukumi najis dan tidak boleh digunakan untuk bersuci.

Dan yang menjadi barometer untuk menghukumi status air yang tercampur dengan najis ialah jumlah volume air, jika lebih dari dua kulah maka ia dihukumi suci, dan jika kurang dari dua kulah maka air tersebut menjadi najis. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’I Rahimahullah.

Yang menjadi dasar pendapat tersebut ialah sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri, “Sesungguhnya air itu suci. Tidak ada sesuatu pun yang membuatnya najis.” (HR. Abu Dawud: 61, At-Tirmidzi: 66, An-Nasa’i: 277, Ahmad: 3/15 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa: 1/45)

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Apabila air itu mencapai dua kulah, maka ia tidak najis (jika tercampur
dengan benda yang najis).” (HR. Abu Dawud: 63, At-Tirmidzi:67, An-Nasa’i: 52, Ibnu Majah: 517, dan Ahmad: 2/27 serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa: 1/45)

Satu kulah itu sekitar 160 liter air, jadi dua kulah sekitar 320 liter air. Kesimpulan pendapat ini adalah sebuah bentuk kompromi dari dua hadits di atas, di mana makna hadits Abu Sa’id Al-Khudri dibatasi oleh hadits Ibnu Umar. Yaitu sebuah air tetap suci dan tidak ada sesuatu pun yang membuatnya najis jika air tersebut mencapai dua kulah, namun apabila air tersebut tidak mencapai dua kulah, kemudian tercampur dengan najis, maka air tersebut dihukumi najis.

Dengan demikian, berdasarkan pendapat yang pertama, apabila kotoran cicak itu jatuh dan tercampur dalam air bak mandi yang berukuran besar yang menampung air sampai dua kulah, maka air tersebut tetap suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Namun jika ia jatuh dalam ember kecil yang berisikan air untuk berwudhu, maka air tersebut menjadi najis berdasarkan mafhum hadits Ibnu Umar.

Pendapat kedua, Air yang tercampur najis akan tetap suci dan bisa digunakan untuk bersuci selama air tersebut tidak mengalami perubahan pada warna, bau maupun rasanya yang disebabkan oleh keberadaan najis tersebut. Baik air tersebut dalam jumlah yang banyak maupun sedikit. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Al-Hasan Al-Bashri, Ats-Tsauri, Imam Malik dan yang lainnya. Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Datang seorang badui arab dan tiba-tiba buang air kecil di dalam Masjid. Para sahabat lantas berdiri untuk menghardiknya. Akan tetapi Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Biarkan saja ia, siramlah bekas air kencingnya dengan segayung air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberikan kemudahan (bagi manusia) dan bukan untuk mempersulit (mereka).”

Demikian juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama, dimana Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah ditanya oleh para sahabatnya, “Wahai Rasulullah, apakah kita boleh berwudhu dengan air sumur bidho’ah?” Lantas Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab, “Sesungguhnya air itu suci. Tidak ada sesuatu pun yang membuatnya najis.”

Sumur bidho’ah adalah sumur yang ada di Madinah yang menjadi tempat dibuangnya beberapa najis dan kotoran, seperti darah haidh dan daging anjing. Berdasarkan dua hadits di atas, sebuah air tetap dihukumi suci dan bisa untuk bersuci selama air tersebut tidak mengalami perubahan pada sifat dasarnya, baik dalam warna, bau, maupun rasanya tatkala tercampur dengan najis. Baik air tersebut dalam jumlah banyak maupun sedikit.

Dengan demikian, berdasarkan pendapat kedua, apabila kotoran cicak tersebut jatuh dan tercampur dengan air yang suci yang hendak digunakan untuk bersuci, baik dalam gayung, bejana, atau ember yang tidak mencapai volume dua kulah, air tersebut tetap dihukumi suci dan bisa untuk bersuci selama tidak terjadi perubahan pada warna, bau maupun rasanya. Karena sifat air tersebut tidak berubah dan tetap pada sifat dasarnya yang tidak terpengaruhi oleh keberadaan najis tersebut.

Jika volume airnya besar, kemudian tercampur dengan kotoran cicak, tentu air tersebut dihukumi suci dan bisa untuk bersuci, karena dipastikan kotoran tersebut tidak akan mempengaruhi pada perubahan sifat dasar airnya, baik dalam warna, rasa dan bau.

Intinya, yang menjadi tolak ukur dalam pendapat kedua ini adalah perubahan tiga sifat dasar air tatakala tercampur dengan najis, dan bukan pada jumlah volume airnya. Meskipun airnya banyak, namun terjadi perubahan pada salah satu sifat airnya, maka air tersebut dihukumi najis tatkala bercampur dengan sesuatu yang najis.

Pendapat yang terpilih

Setelah memperhatikan dua pendapat di atas, demikian juga hasil pengkajian yang dilakukan oleh para ulama ahli fikih, pendapat yang kedua adalah pendapat yang terpilih karena dalil-dalilnya lebih kuat jika dibandingkan dengan pendapat pertama.

As-Sayyid As-Sabiq Rahimahullah mengatakan dalam fikih sunnah, “Adapun hadits Abdullah
Ibnu Umar, adalah hadits yang mudhthorib (goncang/tidak kuat) baik dari sisi sanad maupun matannya.” (Shahih fikih sunnah, 1/20)

Ia juga menukil perkataan Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid, “Pendapat Imam Asy-Syafi’i mengenai hadits kulatain, adalah pendapat yang lemah dari sisi pengkajiannya, maupun dari sisi keshahihan haditsnya.” (Fikih Sunnah, 1/20)

Dengan demikian, apabila kotoran cicak tersebut jatuh dan bercampur dengan air suci yang hendak digunakan untuk bersuci, entah jumlah volume air tersebut banyak atau sedikit. Apabila tidak terjadi perubahan pada salah satu sifat dasar air, baik warna, bau maupun rasanya, maka air tersebut tetap suci dan mensucikan.

Namun sebaliknya, jika memang keberadaan kotoran cicak tersebut mempengaruhi pada perubahan salah satu dari tiga sifat dasar airnya, baik warna, bau maupun rasanya, maka air tersebut baru dihukumi najis. Wallohu a’lam bishowab.

Oleh: Saed As-Saedy

Referensi:
– Subulussalam, Ash-Shon’ani.
– Fikh As-Sunnah, As-Sayyid Sabiq, Cetakan Dar Al-Kitab Al-Arabi. Beirut, Libanon
– Al-Fikh Al-Muyassar Fi Dhaui Al-Kitab Wa As-Sunnah, Ditulis oleh beberapa penulis, Cetakan Majma’ Malik Fahd, tahun 1424 H.