Pendahuluan

 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata dalam ShahihNya Kitab at-Tafsir hadits 4499, Ishaq menyampaikan kepadaku dari Jarir dari Abu Hayyan dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang bersama orang-orang, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau dengan berjalan, dia bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu iman?” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iman itu adalah hendaknya kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya rasul-rasulNya, perjumpaan denganNya dan kamu beriman kepada hari kebangkitan yang akhir.” Dia bertanya lagi, “Ya Rasulullah, apa itu Islam?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam itu adalah hendaknya kamu menyembah Allah dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu, mendirikan shalat, membayar zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadhan.” Dia bertanya lagi, “Ya Rasulullah, apa itu ihsan?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ihsan itu adalah hendaknya kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatnya, jika kamu tidak melihatNya maka Dia melihatmu.” Dia kembali bertanya, “Ya Rasulullah, kapan Kiamat?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya, namun aku akan sampaikan kepadamu tentang tanda-tandanya, jika hamba sahaya wanita melahirkan majikannya, maka hal itu termasuk tanda-tandanya, jika orang-orang yang telanjang dan tidak beralas kaki menjadi pemimpim bagi manusia, maka itu termasuk tanda-tandanya, kapan Kiamat itu termasuk lima perkara di mana yang mengetahuinya hanyalah Allah semata, “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisiNya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat, dan Dialah yang menurunkan hujan dan menegtahui apa yang ada di dalam rahim…” Kemudian laki-laki pergi, maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Suruh orang itu kembali kepadaku.” Maka orang-orang menyusulnya untuk memintanya kembali kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam namun mereka tidak melihat apa pun. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan manusia agama mereka.”

Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi berkata dalam Shahihnya Kitabul Iman hadits 8, Zuhair bin Harb menyampaikan kepadaku, Waki’ menyampaikan kepada kami dari Kahmas dari Abdullah bin Buraidah dari Yahya bin Ya’mar, pengalihan sanad, Ubaidullah bin Muadz al-Anbari menyampaikan kepada kami dan ini adalah haditsnya, bapakku menyampaikan kepada kami, Kahmas menyampaikan kepada kami dari Ibnu Buraidah dari Yahya bin Ya’mar berkata, orang pertama yang berbicara tentang takdir di Bashrah adalah Ma’bad al-Juhani, maka aku bersama Humaid bin Abdurrahman pergi menunaikan iabdah haji atau umrah, kami berkata, seandainya kita bisa bertemu dengan seorang sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kita bisa bertanya kepadanya tentang apa yang dikatakan oleh orang-orang itu tentang takdir, maka kami bertemu Abdullah bin Umar bin al-Khatthab…aku berkata, “Wahai Abu Abdurrahman, telah muncul di lingkungan kami orang-orang yang membaca al-Qur`an, menuntut ilmu tetapi mereka mengatakan bahwa tidak ada qadar dan bahwa segala perkara itu terjadi begitu saja tanpa qadar.” Abdullah bin Umar menjawab, “Jika kamu bertemu mereka maka kabarkan kepada mereka bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri dariku, demi Allah yang denganNya Abdullah bin Umar bersumpah, seandainya salah seorang dari mereka mempunyai emas sebesar gunung Uhud lalu dia menginfakkannya niscaya Allah tidak akan menerimanya darinya sebelum dia beriman kepada qadar.” Kemudian dia berkata, bapakku Umar bin al-Khatthab menyampaikan kepadaku, dia berkata, ketika pada suatu hari kami sedang duduk bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut hitam legam, tidak terlihat bekas perjalanan padanya, tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya, sehingga dia duduk di depan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dia menyandarkan kedua lututnya ke kedua lutut Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dia meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya, dia berkata, “Wahai Muhammad, kabarkan kepadaku tentang Islam.” Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam adalah hendaknya kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji jika kamu mendapatkan jalan untuk itu.” Dia berkata, “Kamu benar.” Umar berkata, “Kami heran kepadanya, dia bertanya tetapi dia membenarkannya.” Dia bertanya, “Kabarkan kepadaku tentang iman.” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iman adalah hendaknya kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir dan hendaknya kamu beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk.” Dia berkata, “Kamu benar.” Dia berkata, “Kabarkan kepadaku tentang ihsan.” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ihsan adalah hendaknya kamu beribadah kepada Allah seolah-olah menlihatNya, jika kamu tidak melihatNya maka Dia melihatmu.” Dia berkata, “Kabarkan kepadaku tentang Kiamat.” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia bertanya, “Kabarkan kepadaku tentang tanda-tandanya.” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Seorang hamba sahaya melahirkan majikannya dan kamu melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang lagi miskin para pengembala domba saling berlomba-lomba meninggikan bangunan.” Umar berkata, lalu laki-laki itu beranjak pergi, aku diam sesaat, kemudian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Wahai Umar, tahukah kamu siapa penanya tadi?” Aku menjawab, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia adalah Jibril, dia datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian kepada kalian.”

Al-Qurthubi berkata, “Hadits ini patut diberi gelar dengan Ummus Sunnah, karena ia mengandung kumpulan ilmu-ilmu sunnah.”

Ath-Thibi berkata, “Karena hikmah mulia inilah al-Baghawi memulai dua buku al-Mashabih dan Syarh as-Sunnah dengannya, hal itu dalam rangka meneladani al-Qur`an yang mengawali dirinya dengan al-Fatihah, karena ia mengandung ilmu-ilmu al-Qur`an secara global.”

Qadhi Iyadh berkata, “Hadits Jibril mencakup seluruh tugas ibadah yang lahir dan yang batin, meliputi tali-tali simpul iman, permulaan, saat ini dan saat mendatang, amal-amal anggota badan, keikhlasan hati, kehati-hatian dari penyakit-penyakit amal perbuatan, bahkan seluruh ilmu syariat kembali kepadanya dan bercabang darinya.”

An-Nawawi berkata, “Hadits ini mengumpulkan berbagai bentuk ilmu, pengetahuan, adab dan hikmah, bahkan ia merupakan dasar Islam.”

Hafizh Abdurrahman bin Rajab berkata, “Ia adalah hadits dengan kedudukan yang sangat agung, mencakup seluruh cabang agama.”

Syarah Hadits

Ucapannya, “Pada suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang bersama orang-orang.” Yakni nampak bersama mereka, tidak menutup diri dari mereka. Dalam riwayat Abu Farwah yang telah disebutkan sebelumnya terdapat keterangan tentang keberadan beliau di antara orang-orang dan sebabnya, di awalnya, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk di antara para sahabatnya, lalu orang asing datang dan dia tidak mengetahui mana Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di antara mereka sehingga dia bertanya, maka kami memohon kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mempekenan kami mengkhususkan sebuah tempat bagi beliau sehingga orang asing yang datang bisa mengenal beliau, maka kami membangun sebuah gundukan dari tanah untuk tempat duduk beliau.”

Ucapannya, “Tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau dengan berjalan.” Yakni seorang malaikat yang menjelma dalam bentuk seorang laki-laki, dalam Kitab al-Iman, “Lalu seorang laki-laki datang kepada beliau.” Dalam riwayat Abu Farwah, “Kami sedang duduk, sedangkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri duduk di majlisnya, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki, dia berwajah paling rupawan dan paling harum bau tubuhnya, pakaiannya seperti tidak tersentuh kotoran.” Kita telah membaca sebelumnya dalam hadits Umar, “Tiba-tiba muncul kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut hitam legam.” Dalam riwayat Ibnu Hibban, “Berjenggot hitam.” Dalam riwayat Sulaiman at-Taimi, “Tidak terlihat padanya bekas-bekas perjalanan, dia bukan penduduk kota, dia berjalan menyibak hadirin yang sedang duduk sehingga dia duduk di depan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti salah seorang dari kami duduk di dalam shalat, kemudian dia meletakkan tangannya di atas kedua lutut Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” Dalam riwayat Abu Farwah di an-Nasa`i, “Dan dia meletakkan tangannya di atas kedua lutut Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” Dalam riwayat Ibnu Abbas dan Abu Amir di Ahmad, “Kemudian dia meletakkan tangannya di atas kedua lutut Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa kata ganti pada, “Di atas kedua pahanya.” Kembali kepada kedua paha Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, al-Baghawi memastikan demikian dan ath-Thibi menyatakannya rajih dengan berpijak kepada riwayat-riwayat ini di samping ia merupakan konteks kalimat. Hal ini menyelisihi kepastian yang dinyatakan oleh an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim bahwa Jibril meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya sendiri, dan dia menjelaskan bahwa ia merupakan posisi duduk bagi orang yang belajar.

Jika ada yang berkata, bagaimana Umar mengetahui bahwa tidak seorang pun dari yang hadir mengenalnya? Ada yang berkata, Umar hanya menduga. Ada yang berkata dan inilah yang shahih bahwa dia berkata dengan bersandar kepada ucapan yang jelas dari para hadiri. Dalam riwayat Usman bin Ghiyats, “Lalu hadirin saling berpandangan, mereka bergumam, ‘Kami tidak mengenal orang ini, dia bukan musafir.

Muslim memberikan sebab hadirnya hadits dalam riwayat Umarah bin al-Qa’qa’, di sana di awalnya disebutkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bertanyalah kalian kepadaku.” Namun orang-orang segan untuk bertanya. Dia berkata, lalu seorang laki-laki datang…Al-Hadits.

Ucapannya dalam hadits, “Dia bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa itu iman?” Begitulah yang tertulis di dalam Muslim, dan di al-Bukhari Kitab al-Iman, “Dia bertanya, ‘Apa itu iman?” Dalam riwayat Muslim dari Umar, “Dia berkata, ‘Kabarkan kepadaku tentang iman.” Dalam riwayat Muslim dari Umarah bin al-Qa’qa’, “Maka dia berkata, ‘Ya Rasulullah, apa itu iman?

Jika ada yang bertanya, bagaimana dia bertanya sebelum mengucapkan salam? Jawabannya, ada kemungkinan hal itu untuk menjelaskan bahwa memulai memberi salam tidak wajib, atau dia telah mengucapkan salam namun rawi tidak meriwayatkannya, inilah yang dipegang, telah diriwayatkan secara shahih dalam riwayat Abu Farwah, di sana setelah perkataannya di atas, “Seolah-olah bajunya tidak pernah terkena kotoran, sehingga dia mengucapkan salam, ketika dia tiba di ujung tikar, dia berkata, “Assalamu alaika ya Muhammad.” Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya. Dia berkata, “Boleh aku mendekat wahai Muhammad?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Silakan.” Dia terus mengulang, “Boleh aku mendekat?” Dan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu menjawab, “Silakan.” Dalam riwayat Mathar al-Warraq, dia berkata, “Ya Rasulullah, bolehkah aku mendekat kepadamu?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mendekatlah.” Tanpa menyebutkan salam. Rawi yang menyebutkan salam patut didahulukan dari rawi yang tidak menyebutkannya, salam ini disebutkan dalam riwayat Abu Farwah.

Ucapannya dalam hadits, “Iman itu adalah hendaknya kamu beriman kepada Allah…dan seterusnya, ini adalah jawaban Rasulullah atas pertanyaan Jibril yang bertanya tentang iman.

Ucapannya, “Dan kitab-kitabNya.” Hafizh berkata, “Riwayat ini ada pada al-Ashili sendiri, bahwa rawi-rawi al-Bukhari sepakat menyebutkannya dalam kitab at-Tafsir.” Dan ia adalah riwayat yang shahih di Muslim dalam dua riwayat hadits Abu Hurairah dengan kata tunggal, yaitu kitabNya dan dalam hadits Umar dengan kata jamak, yaitu kitab-kitabNya, dan tidak ada pertentangan antara keduanya, karena kata tunggal, yaitu kitab disandarkan kepada Allah, dan penyandaran ini menetapkan makna umum yang mencakup semua kitab Allah.

Ucapannya, “Perjumpaan denganNya.” Ini tertulis dalam Kitab al-Iman di antara kitab-kitab dan rasul-rasul, demikian juga di Muslim dari dua jalan hadits Abu Hurairah dan tidak tercantum di sisa riwayat yang lain. Ada yang berkata, ia pengulangan karena ia termasuk ke dalam iman kepada kebangkitan. Hafizh berkata, “Yang benar adalah bahwa ia bukan pengulangan, ada yang berkata, yang dimaksud dengan ba’ats adalah kebangkitan dari kubur dan yang dimaksud dengan perjumpaan dengan Allah adalah apa yang terjadi setelah itu. Ada yang berkata, perjumpaan terjadi dengan perpindahan dari dunia dan kebangkitan adalah setelah itu. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Mathar al-Warraq, di dalamnya, Beriman kepada kematian dan kebangkitan sesudah kematian.’ Demikianlah yang tercantum dalam hadits Anas dan Ibnu Abbas.”

Ucapannya, “Dan kamu beriman kepada kebangkitan akhir.” Demikian di Muslim dari riwayat Ibnu Ulayyah. Di al-Bukhari dalam Kitab al-Iman dan Muslim dalam riwayat Ibnul Qa’qa’, “Kamu beriman kepada kebangkitan.” saja. Dalam riwayat Muslim dari hadits Umar, “Hari akhir.

Kebangkitan akhir, ada yang berkata, akhir di sini untuk penegasan, seperti ucapan mereka, “Kemarin yang telah pergi.” Ada yang berkata, karena kebangkitan terjadi dua kali. Pertama pengeluaran ke wujud dari ketiadaan atau dari rahim ibu setelah sebelumnya berbentuk setetes air dan segumnpal darah ke alam dunia. Yang kedua kebangkitan dari perut bumi ke tempat kembali. Adapun hari akhir, maka dikatakan demikian karena ia adalah hari dunia paling akhir.

Muslim menambahkan dalam hadits Umar, “Kamu beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk.” Dari riwayat Umarah bin al-Qa’qa’, “Dan kamu beriman kepada qadar seluruhnya.” Dalam riwayat Abdullah bin Umar di ath-Thabrani, “Kamu beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk, yang manis dan yang pahir dari Allah.” Al-Hafizh berkata, “Hikmah diulangnya kalimat, ‘Kamu beriman.’ Pada saat disebutkannya kebangkitan adalah untuk memberi isyarat bahwa ia adalah bentuk lain dari perkara-perkara yang wajib diimani, karena kebangkitan baru akan ada, sementara apa yang disebutkan sebelumnya sudah ada sekarang, ia disebut secara khusus karena banyaknya orang-orang kafir yang tidak beriman kepadanya, demikianlah hikmah diulanginya kata, ‘Dan kamu beriman.’ pada saat takdir disebut.

Kemudian beliau menetapkannya dengan menyebutkan keadaannya, “Yang baik dan yang buruk, yang manis dan yang pahit.” Kemudian beliau menegaskannya kembali dalam riwayat yang akhir dengan sabdanya, “Dari Allah.

Dalam hadits Abu Hurairah tidak disinggung haji, namun di sebagian jalan periwayatan hadits ia disebut seperti hadits Umar di Muslim, “Dan kamu menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika kamu mendapatkan jalan ke sana.” Dan dari jalan Sulaiman at-Taimi di Ibnu Khuzaemah, “Kamu menunaikan ibadah haji, berumrah, mandi junub, menyempurnakan wudhu dan berpuasa Ramadhan.” Dia bertanya, “Apakah jika aku melakukan hal itu aku menjadi muslim?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Dan dalam jawaban tentang iman, “Kamu beriman kepada surga, neraka dan mizan.” Dia bertanya, “Jika aku melakukan hal itu apakah aku mukmin?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Ini termasuk faidah tambahan dari riwayat Sulaiman at-Taimi. Hampir sama dengannya adalah riwayat Mathar al-Warraq di al-Bazzar, namun ada tambahan manakala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab tentang ihsan, “Apakah jika aku berbuat demikian aku disebut muhsin?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Kamu benar.

Al-Hafizh berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa sebagian rawi menghafal apa yang tidak dihafal oleh yang lain.” Ucapannya, “Kamu menegakkan shalat.” Muslim menambahkan, “Wajib.” Yakni fardhu.

Ucapannya, “Ihsan itu adalah hendaknya kamu beribadah kepada Allah…Dan seterusnya. Isyarat kepada dua keadaan: Yang paling tinggi, dominasi persaksiannya dengan hati kepada Allah sehingga seolah-olah dia melihatNya dengan kedua matanya, hal ini dalam ucapannya, “Seolah-olah kamu melihatNya.” Yang kedua, merasa bahwa Allah melihatnya, menyaksikan segala apa yang dia perbuat, ini adalah ucapannya, “Maka sesungguhnya Dia melihatmu.”. Dalam riwayat Muslim, “Kalaupun kamu tidak melihatNya maka Dia tetap melihatMu.” Dalam riwayat Muslim juga, “Sekalipun kamu tidak melihatNya, Dia tetap melihatmu.” Yang pertama adalah riwayat Ismail bin Ulayyah dan yang kedua adalah riwayat Umarah bin al-Qa’qa’.

Muslim menambahkan dalam riwayat Umarah, “Kamu benar.” Setelah tiga jawaban yang diucapkan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Abu Farwah menambahkan dalam riwayatnya, “Manakala kami mendengar laki-laki berkata, ‘Kamu benar.’ Kami merasa heran.” Dalam riwayat Kahmas di Muslim dan lainnya, “Kami heran kepadanya, dia yang bertanya namun dia juga yang membenarkan.” Al-Qurthubi berkata, “Mereka heran kepadanya karena apa yang dibawa oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya diketahui melalui beliau, sementara si penanya belum diketahui sebelumnya bahwa dia pernah bertemu dengan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula mendengar dari beliau, kemudian dia bertanya seolah-olah dia sudah mengerti jawabannya.”

Ucapannya, “Kapan Kiamat?” Yakni kapan terjadinya Kiamat? Ini adalah lafazh riwayat Umarah bin al-Qa’qa’. Lam di kata الساعة adalah lam al-ahdiyah maksudnya adalah hari Kiamat yang sudah dipahami oleh orang-orang, yaitu Kiamat yang merupakan akhir dari dunia.

Ucapannya, “Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya.” ما Nafiyah yang berarti tidak, dalam riwayat Abu Farwah ada tambahan setelah ucapannya, “Kapan Kiamat?” “Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tertunduk dan beliau tidak menjawab apa pun. Dia mengulangi pertanyaannya namun Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap tidak menjawab apa pun, kemudian dia kembali mengulangi pertanyaannya dan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap tidak menjawab apa pun, lalu beliau mengangkat kepalanya dan bersabda, “Yang ditanya tidak …” Yang dimaksud dengannya adalah bahwa ilmu tentang Kiamat termasuk perkara yang disimpan sendiri oleh Allah Ta’ala berdasarkan sabda beliau sesudahnya, “Ia termasuk lima perkara yang hanya diketahui oleh Allah.

Al-Qurthubi berkata, “Maksud dari pertanyaan ini adalah melarang para pendengar untuk bertanya tentang kapan Kiamat, hal ini karena mereka sering bertanya tentangnya, sebagaimana hal itu tercantum dalam banyak ayat dan hadits, manakala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan jawaban demikian maka hal itu menunjukkan bahwa mengetahui kapan Kiamat adalah mustahil, lain halnya dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, maksudnya adalah menggali jawaban agar para pendengar menyimak dan selanjutnya mengamalkannya.”

Ucapannya, “Namun aku akan sampaikan kepadamu tentang tanda-tandanya.” Dalam Kitab al-Iman, “Aku akan kabarkan kepadamu tentang tanda-tandanya.” Dalam riwayat Abu Farwah, “Namun ia mempunyai alamat-alamat yang dengannya ia diketahui.” Dalam riwayat Sulaiman at-Taimi, “Akan tetapi aku akan memberitahun kepadamu tentang tanda-tandanya jika kamu berkenan.” Dia menjawab, “Ya.” Dan dalam hadits Ibnu Abbas dengan tambahan, “Katakan kepadaku.

Tanda-tanda yang disebutkan ada tiga: Hamba sahaya melahirkan majikannya dan kepemimpinan orang-orang yang tidak beralas kaki lagi tidak berpakaian, dan dalam Kitab al-Iman, “Para pengembala unta berlomba-lomba meninggikan bangunan.” Sebagian rawi hanya menyebutkan sebagian darinya, sementara sebagian yang lainnya menyebutkannya sempurna sebagaimana yang ada dalam riwayat Umarah bin al-Qa’qa’, riwayat Sulaiman at-Taimi dan riwayat Abu Farwah. Yang dimaksud dengan tanda-tanda di sini adalah alamat-alamat Kiamat yang kecil.”

Ucapannya, “Jika hamba sahaya wanita melahirkan majikannya.” Dalam riwayat Umarah bin al-Qa’qa’ di Muslim, “Jika kamu melihat seorang wanita melahirkan majikannya.” Tidak berbeda dengannya riwayat Abu Farwah. Dalam riwayat Usman bin Ghiyats, “Para hamba sahaya wanita melahirkan majikan-majikannya.” Dengan kata jamak. Dalam Muslim dari riwayat Muhammad bin Bisyr dari Abu Hayyan, “Jika hamba sahaya melahirkan suaminya.” Yakni para istri majikan.

Para ulama berselisih pendapat dahulu hingga sekarang tentang makna dan tafsirnya menjadi tujuh kelompok. Al-Hafizh berkata, “Sebagian pendapat mungkin tercakup oleh pendapat yang lain, aku telah merangkumnya tanpa simpang siuar menjadi empat pendapat.”

Pertama, seseorang mempunyai hamba sahaya wanita, dia menggaulinya dengan akad milkul yamin, lalu hamba sahaya wanita itu melahirkan untuk majikannya, maka anaknya berkedudukan sama dengan majikannya, karena dia adalah anak majikan. An-Nawawi berkata, “Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.” Hafizh berkata, “Perlu dikaji, karena majikan menggauli hamba sahaya wanita dengan akad milkul yamin lalu hamba tersebut melahirkan sudah ada pada saat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya kata-katanya, kepemilikan terhadap hamba sahaya lebih banyak terjadi di zaman puncak Islam, sementara konteks ucapan menunjukkan kepada isyarat kepada sesuatu yang belum terjadi dan akan terjadi mendekati hari Kiamat.”

Kedua, majikan menjual hamba sahaya yang menjadi ibu bagi anak-anak mereka, lalu hamba sahaya tersebut berganti-ganti majikan sehingga dia dibeli oleh anaknya yang dia lahirkan sementara anaknya tidak merasa bahwa ia adalah ibunya.

Ketiga, seorang hamba sahaya melahirkan seorang laki-laki merdeka bukan dari majikannya karena hubungan syubhat atau melahirkan hamba sahaya karena pernikahan atau perzinahan, kemudian dalam dua kasus tersebut hamba sahaya dijual secara sah, dia berpindah tangan sehingga anak laki-lakinya atau anak perempuannya membelinya.

Keempat, mewabahnya sikap durhaka pada anak-anak, sehingga anak memperlakukan ibunya seperti majikan memperlakukan hamba sahayanya dalam bentuk merendahkannya, mencelanya, memukulnya dan mempekerjakannya, maka anak disebut majikan sebagai kiasan.

Ucapannya, “Jika orang-orang tidak beralas kaki lagi telanjang.” Dalam Kitab al-Iman, “Jika para pengembala unta hitam berlomba-lomba meninggikan bangunan.” Di Muslim dari hadits Umar, “Jika kamu melihat orang-orang yang tidak beralas kaki lagi telanjang lagi miskin para pengembala domba berlomba-lomba meninggikan bangunan.” Dalam hadits Abu Hurairah riwayat Ibnu al-Qa’qa’, “Jika kamu melihat orang-orang yang tidak beralas kaki telanjang, bisu dan tuli mejadi raja di bumi.” Dalam riwayat Abu Farwah, “Jika kamu melihat para pengembala hitam berlomba-lomba dalam kesombongan.” Dalam riwayat Muslim dari Ibnu Ulayyah, “Jika para pengembala kambing berlomba-lomba meninggikan bangunan.” Di Ibnu Majah, “Jika para pengembala kambing berlomba meninggikan bangunan.

Ucapannya, “Menjadi pemimpim bagi manusia.” Yakni menjadi raja-raja di muka bumi, ia adalah makna yang secara jelas disebutkan oleh riwayat Abu Farwah, “Dan jika kamu melihat orang-orang yang tidak beralas kaki dan telanjang menjadi raja-raja di bumi.” Yang dimaksud dengan mereka adalah para penghuni daerah pedalaman sebagaimana yang dinyatakan secara jelas oleh riwayat Sulaiman at-Taimi, dia bertanya, “Siapa orang-orang yang tidak beralas kaki dan telanjang?” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “العريب dengan ‘ain tanpa titik berwazan tashghir, orang-orang kecil pedalaman.” Untuk mereka dikatakan, “Buta dan tuli.” Artinya mereka sangat bodoh. Danالبهم dengan ba` dibaca dhammah berarti hitam, atau mereka tidak diketahui nasabnya. Dan dengan ba` dibaca fathah berarti anak kambing.

Al-Qurthubi berkata, “Maksudnya adalah pemberitahuan tentang perubahan keadaan, orang-orang pedalaman menguasai urusan, mereka menjadi penguasa dengan kekuatan, harta mereka menjadi banyak, maka keinginan mereka mengarah kepada memperindah bangunan dan saling berbangga padanya.”

Ucapannya, “Kapan Kiamat itu termasuk lima perkara…” Yakni ilmu tentang tibanya Kiamat termasuk lima perkara dalam firman Allah, “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisiNya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat…” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini sampai akhir surat sebagaimana hal itu disebutkan secara jelas dalam riwayat Muslim dan lainnya.

Hafizh berkata, “Apa yang termaktub di al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya membaca ayat sampai, ‘Rahim…’ maka ia adalah kelalaian dari sebagian rawi, konteks hadits menunjukkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca seluruh ayat.

 Ucapannya, “Kemudian laki-laki itu pergi, maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Suruh orang itu kembali kepadaku.’ Maka orang-orang menyusulnya untuk memintanya kembali kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam namun mereka tidak melihat apa pun.” Dalam Kitab al-Iman, “Kemudian dia berlalu, maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Suruh dia kembali.’ Namun mereka tidak melihat seorang pun.” Di Muslim dari riwayat Umarah, “Kemudian laki-laki itu berdiri, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Suruh dia kembali kepadaku.’ Maka laki-laki itu dicari namun mereka tidak menemukan apa pun.” Hal ini menunjukkan bahwa malaikat boleh menjelma kepada selain nabi, dia melihatnya, dia berbicara di depannya sementara dia mendengar, diriwayatkan secara shahih dari Imran bin Hushain bahwa dia mendengar salam malaikat yang mengucapkan salam kepadanya.

Ucapannya, “Dia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan manusia agama mereka.” Demikianlah lafazh riwayat Ibnu Ulayyah di Muslim sedangkan riwayat Umarah bin al-Qa’qa’, “Ini adalah Jibril, dia ingin kalian mengetahui manakala kalian tidak bertanya.” Dalam riwayat Abu Farwah, “Demi dzat yang mengutus Muhammad dengan kebenaran, aku tidak lebih mengenalnya daripada seorang laki-laki dari kalian, dia adalah Jibril.” Dalam riwayat Sulaiman at-Taimi, “Kemudian dia bangkit lalu pergi, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kembalikan laki-laki itu kepadaku.’ Maka kami mencarinya di setiap penjuru tetapi kami tidak menemukannya.” Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Tahukah kalian siapa dia? Dia adalah Jibril, dia datang kepada kalian untuk mengajar kalian agama kalian, ambillah darinya, demi dzat yang jiwa Muhammad ada di tangannya, dia tidak pernah samar bagiku sejak dia datang kepadaku sebelum ini, aku tidak mengetahuinya sebelum dia pergi.

Al-Hafizh berkata, “Disandarkannya pengajaran kepada Jibril adalah majazi, karena dialah yang menjadi sebab hadirnya jawaban, oleh karena itu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk mengambil darinya. Riwayat-riwayat sepakat bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan siapa sebenarnya laki-laki itu setelah mereka mencarinya dan tidak menemukannya. Adapun apa yang tercantum dalam riwayat Muslim dan lainnya dari hadits Umar, “Kemudian dia beranjak, Umar berkata, ‘Maka aku diam beberapa waktu, kemudian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Wahai Umar, tahukah kamu siapa penanya itu?” Hal ini menjadi musykil karena Umar berkata di awal hadits, “Manakala kami sedang duduk bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam…” Dan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada para sahabat saat itu juga bahwa penanya adalah Jibril. Ada yang berkata, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberitahu mereka setelah beberapa waktu, tetapi masih dalam majlis tersebut, hal ini untuk mengumpulkan di antara kedua riwayat. Namun penggabungan ini tertolak oleh apa yang termaktub dalam riwayat Abu Dawud dan an-Nasa`i, Umar berkata, “Maka aku menunggu tiga malam, kemudian Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku…” Di at-Tirmidzi, “Lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertemu denganku tiga malam setelah itu.” Dalam riwayat Ibnu Mandah, “Setelah tiga hari.”

An-Nawawi menggabungkan di antara kedua riwayat bahwa Umar tidak hadir manakala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberitahu para sahabat pada saat itu, karena dia termasuk orang-orang yang beranjak dari majlis tersebut, maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada hadirin pada saat itu juga dan beliau menyampaikannya kepada Umar tiga hari berselang, hal ini ditunjukkan oleh ucapannya, “Lalu beliau bertemu denganku.” Dan ucapannya, “Lalu beliau bersabda kepadaku, ‘Wahai Umar.” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan ucapannya kepada Umar sendiri, lain halnya dengan pemberitahuan beliau kepada para sahabat, ini adalah penggabungan yang bagus.”

Penggabungan ini dikuatkan oleh riwayat Abdullah bin Umar sendiri atas hadits Jibril yang telah disebutkan bahwa ia diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad dan ath-Thabrani dalam al-Kabir, di awalnya, kami sedang bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau… Di akhirnya, maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kembalikan laki-laki itu kepadaku.” Dia berkata, lalu kami berdiri dan aku juga berdiri menuju ke salah jalan di Madinah, kami tidak menemukan apa pun. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah Jibril, dia mengajarkan manasik agama kalian…

Al-Hafizh berkata, “Riwayat-riwayat yang kami sebutkan menunjukkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengenal bahwa penanya adalah Jibril kecuali di akhir kejadian, bahwa Jibril datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk seorang laki-laki yang berpenampilan bagus, namun dia tidak dikenal oleh mereka. Adapun apa yang termaktub dalam riwayat an-Nasa`i dari jalan Abu Farwah di akhir hadits, “Dia adalah Jibril yang datang dalam wujud Dihyah al-Kalbi.” Maka ucapannya, “Datang dalam wujud Dihyah al-Kalbi.” adalah kekeliruan karena Dihyah terkenal di kalangan mereka padahal Umar berkata, “Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya.” Ia diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Kitab al-Iman miliknya dari jalan yang darinya an-Nasa`i meriwayatkan, maka dia berkata di akhirnya, “Dia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepada kalian agama kalian.” saja. Inilah riwayat yang mahfuzh karena ia sejalan dengan riwayat-riwayat yang lainnya.”

Hafizh berkata, “Ibnu al-Munayyir berkata, ‘Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dia mengajarkan kepada kalian agama kalian.’ menunjukkan bahwa pertanyaan yang baik dinamakan ilmu dan pengajaran, karena Jibril hanya mengucapkan pertanyaan, sekalipun begitu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakannya sebagai mu’allim, dan ada ucapan mereka yang terkenal, ‘Bagusnya pertanyaan adalah setengah dari ilmu.’ Hal itu mungkin diambil dari hadits ini karena faidah di dalamnya lahir dari pertanyaan dan jawabannya sekaligus.”

An-Nawawi berkata, “Di antara faidah hadits ini, patut bagi siapa yang hadir di sebuah majlis ulama, jika dia mengetahui bahwa hadirin perlu bertanya namun mereka tidak bertanya, maka patut baginya untuk bertanya sehingga jawabannya bermanfaat bagi seluruh hadirin. Di antara faidah hadits, seorang ulama ptut bersikap lembut kepada penanya, mendekatkannya kepada dirinya agar dia bisa bertanya tanpa rasa sungkan dan segan. Di antara faidahnya, seorang ulama, mufti dan lainnya patut mengucapkan, ‘Saya tidak tahu.’ Jika dia ditanya dan dia tidak mengetahui.” Wallahu a’lam. (Oleh Ustadz Izzudin Karimi, Lc)