“Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menetap di Madinah antara bulan Dzulhijjah dan Rajab, kemudian memerintahkan kaum muslimin bersiap-siap untuk menyerang Romawi.”

Az-Zuhri, Yazid bin Ruman, Abdullah bin Abu Bakar, Ashim bin Umar bin Qatadah, dan ulama-ulama kami lainnya, semuanya berkata kepadaku tentang Perang Tabuk seperti yang disampaikan kepadanya. Sebagian dari mereka menceritakan apa yang tidak diceritakan sebagian lainnya. Mereka berkata, “Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– memerintahkan sahabat-sahabatnya bersiap-siap untuk menyerang Romawi. Itu terjadi ketika muslimin mengalami masa-masa sulit, cuaca sangat panas, musim kemarau, buah-buahan mulai ranum, orang-orang lebih menyukai berada di dekat buah-buah mereka dan tempat berteduh mereka, serta tidak suka berangkat dalam kondisi seperti itu. Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ َسَلَّمَ sendiri jarang keluar untuk perang kecuali merahasiakannya dan menjelaskan bahwa beliau menginginkan bukan daerah yang beliau tuju, kecuali Perang Tabuk di mana beliau menjelaskannya kepada kaum muslimin, karena perjalanannya sangat jauh, masa-masa yang sangat sulit, dan banyaknya musuh yang ingin beliau tuju. Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– menjelaskan hal yang demikian agar manusia mengadakan persiapan. Betul kali ini, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– memerintahkan kaum Muslimin bersiap-siap dan menjelaskan kepada mereka bahwa beliau hendak menyerang Romawi.

Pada suatu hari ketika tengah bersiap-siap, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda kepada Al-Jadd bin Qais, salah seorang dari Bani Salamah, ‘Hai al-Jadd, apakah pada tahun ini engkau ikut memerangi orang-orang berkulit kuning (Romawi)?’ Al-Jadd bin Qais berkata, ‘Wahai Rasulullah, berilah aku izin dan engkau jangan menjerumuskanku ke dalam fitnah. Demi Allah, kaumku telah mengenaliku bahwa tidak ada orang laki-laki yang cepat tertarik kepada wanita daripada aku. Oleh karena itu, aku khawatir jika aku melihat wanita-wanita berkulit kuning (Romawi), maka aku tidak sabar.’ Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– memalingkan muka dari Al-Jadd bin Qais dan bersabda, ‘Aku mengizinkanmu.’ Tentang al-Jadd bin Qais ini, turunlah firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ ائْذَنْ لِي وَلَا تَفْتِنِّي أَلَا فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُوا وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةٌ بِالْكَافِرِينَ

Di antara mereka ada yang berkata, ‘Berilah saya izin dan janganlah engkau menjerumuskanku ke dalam fitnah.’ Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang kafir.” (at-Taubah: 49)

Maksudnya, jika Al-Jadd bin Qais khawatir tergoda wanita-wanita Romawi, itu tidak akan terjadi padanya. Namun, fitnah yang ia telah terjatuh ke dalamnya itu lebih besar, yaitu tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– dan lebih menyukai dirinya daripada diri beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–. Oleh karena itu, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةٌ بِالْكَافِرِينَ

“dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang kafir”

sebagian orang-orang munafik berkata kepada sebagian yang lain, ‘Janganlah kalian berangkat pada musim panas seperti ini.’ Mereka berkata seperti itu karena ingin mengecilkan arti jihad, membuat keraguan tentang kebenaran, dan menggoyahkan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –. Kemudian Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menurunkan ayat tentang mereka,

وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ . فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Mereka berkata, ‘Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) di panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas, ‘jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.’” (At-Taubah 81-82)

Ibnu Ishaq -رَحِمَهُ اللهُ -berkata, “Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– tetap bersemangat untuk berangkat, memerintahkan manusia bersiap-siap dan menyingsingkan lengan baju, menghimbau orang-orang kaya agar mereka berinfak, dan menanggung biaya jihad di  jalan Allah. Kemudian sejumlah sahabat-sahabat yang kaya menanggung biaya jihad karena mengharap pahala Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Utsman bin Affan -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berinfak dalam jumlah besar dimana tidak ada seorang pun yang berinfak sebesar itu.” [1]

“Sejumlah orang dari kaum Muslimin-orang-orang yang menangis- mendatangi Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –. Mereka adalah tujuh orang dari kaum Anshar dan selain kaum Anshar. Dari Bani Amr bin Auf adalah Salim bin Umar, Ulbah bin Zaid saudara Bani Haritsah, Abu Laila Abdurrahman bin Ka’ab saudara Bani Mazin bin an-Najjar, Amr bin Humam bin Al-Jamuh saudara Bani Salamah, Abdullah bin al-Mughaffal al-Muzan-sebagian orang berkata, yang benar ialah Abdullah bin Amr al-Muzani, Harami bin Abdullah saudara Bani Waqif, dan Irbadh bin Sariyah Al-Fazari. Mereka semua meminta Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– membiayai persiapan jihad mereka, karena mereka orang-orang miskin. Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda, ‘Aku tidak mempunyai apa-apa untuk membiayai jihad kalian.’ Mereka pun keluar dari tempat Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– dengan menangis karena sedih sebab mereka tidak mendapatkan infak untuk pembiayaan persiapan jihad mereka.”

Aku mendengar bahwa Ibnu Yamin bin Umair bin Ka’ab an-Nadhri bertemu Abu Laila Abdurrahman bin Ka’ab dan Abdullah bin Al-Mughaffal, keduanya sedang menangis. Ibnu Yamin bin Umair bin Ka’ab an-Nadhri berkata kepada keduanya, “Kenapa engkau berdua menangis?’ Kedunya menjawab, ‘Kami datang kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– dan meminta beliau menanggung kami, tapi kami melihat beliau tidak mempunyai apa-apa untuk menanggung kami, karena kami tidak mempunyai bekal untuk berangkat bersama beliau.” Kemudian Ibnu Yamin bin Umair bin Ka’ab An-Nadhri memberikan untanya dan sedikit kurma kepada kedua sahabat tersebut, lalu kedua sahabat tersebut berangkat bersama Rasulullah.” Menurut sebuah riwayat mereka adalah sejumlah orang dari Bani Ghifar.

“Orang-orang Arab datang kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– guna meminta uzur, namun Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak memberi uzur kepada mereka.”

“Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– terus menyiapkan perjalanan dan menentukan waktu pemberangkatan. Di sisi lain, beberapa orang dari para sahabat menangguhkan niatnya untuk menyusul Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– hingga mereka tertinggal dari beliau tanpa keragu-raguan di dalam hati dan bukan karena kemunafikan, mereka adalah Ka’ab bin Malik bin Abu Ka’ab saudara bani Salamah, Murarah bin Rabi’ saudara Bani Amr bin Auf, Hilal bin Umayah saudara Bani Waqif, dan Abu Khaitsamah saudara Bani Salim bin Auf. Mereka semua adalah orang-orang jujur dan keislaman mereka tidak diragukan. Ketika Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– berangkat, beliau memasang tenda di Tsaniyyatul Wada’.”

“Abdullah bin Ubaiy bin Salul memasang tendanya menyendiri di bawah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– menghadap ke Gunung Dzubab. Para ulama berkata bahwa Abdullah bin Ubai bin Salul dan teman-temannya itu banyak. Ketika Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– meneruskan perjalanan, Abdullah bin Ubai bin Salul tidak ikut berangkat bersama orang-orang munafik dan orang-orang yang serba ragu.”

“Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk menjaga keluarga beliau dan menyuruhnya berada di tempat mereka. Hal ini disebarluaskan orang-orang munafik. Mereka berkata, ‘Nabi menunjuk Ali karena merasa berat menyuruhnya dan memberi keringanan kepadanya.’ Ketika orang-orang berkata seperti itu, Ali bin Abi Thalib -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- mengambil senjata, kemudian berangkat hingga berhasil menyusul Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– yang ketika itu berhenti di Jurf [2]  Ali bin Abi Thalib -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, “Wahai Nabi Allah, orang-orang munafik berkata bahwa engkau meninggalkanku di Madinah karena engkau merasa berat menyuruhku, dan memberi keringanan kepadaku.’ Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda, ‘Mereka bohong. Aku meninggalkanmu di  Madinah untuk menjaga keluargaku, oleh karena itu, pulanglah dan jagalah keluargaku dan kelurgamu. Hai Ali, apakah engkau tidak ridha kalau kedudukanmu terhadapku itu seperti kedudukan Nabi Harun terhadap Nabi Musa? Hanya saja, tidak ada nabi sepeninggalku.’ Ali bin Abi Thalib -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- pun pulang ke Madinah, sedang Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– melanjutkan perjalanan.”

“Abu Khaitsamah kembali kepada keluarganya di hari yang panas setelah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– berjalan berhari-hari. Setibanya di Madinah, ia mendapati kedua istrinya di gubug keduanya di kebun kurma. Masing-masing dari kedua istrinya mengapur gubugnya, mendinginkan air di dalamnya, dan menyiapkan makanan. Ketika Abu Khaitsamah masuk ke dalam gubug, ia berdiri di pintu gubuk kemudian melihat kedua istrinya dan apa yang keduanya perbuat. Ia berkata, ’Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–sedang di bawah sinar matahari, angin, dan hawa panas, sedang Abu Khaitsamah berada di dalam naungan yang dingin, makanan yang telah siap disantap, dan dua istrinya yang cantik di kebunnya? Ini tidak adil.’ Abu Khaitsamah berkata kepada kedua istrinya, ‘Demi Allah, aku tidak akan masuk ke gubug salah seorang dari kalian berdua, hingga aku berhasil menyusul Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–, oleh karena itu, siapkan perbekalan untukku.’ Kedua istri Abu Khaitsamah melaksanakan perintahnya. Abu Khaitsamah sendiri pergi ke untanya dan menyiapkannya, kemudian berangkat menyusul Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– hingga bertemu beliau berhenti di Tabuk. Umair bin Wahb Al-Jumahi yang juga mengejar Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bertemu Abu Khaitsamah di jalan, kemudiaan keduanya berjalan berdua.

Ketika keduanya mendekati Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Umair bin Wahb, ‘Sesungguhnya aku mempunyai dosa, oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau engkau di belakangku hingga aku terlebih dahulu tiba di tempat Rasulullah.’ Umair bin Wahb mengabulkan keinginan Abu Khaitsamah. Ketika Abu Khaitsamah telah mendekati tempat Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– yang ketika itu berhenti di Tabuk, orang-orang berkata, ‘Musafir datang.’ Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–bersabda, ‘Dialah Abu Khaitsamah.’ Orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, dia Abu Khaitsamah.’ Setelah menghentikan untanya, Abu Khaitsamah berjalan dan mengucapkan salam kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–. Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda kepada Abu Khaitsamah, ‘Kenapa engkau tidak berangkat dari awal, hai Abu Khaitsamah?’ Abu Khaitsamah menyebutkan alasan kenapa ia tertinggal kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– dan beliau pun berkata baik kepadanya.’

“Ketika Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– berjalan melewati Al-Hijr [3] beliau berhenti di sana dan para sahabat mengambil air dari sumurnya. Ketika para sahabat datang dari sumur tersebut, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda, ‘Janganlah kalian meminum sedikit pun air sumur Al-Hijr, jangan berwudhu dengan airnya untuk shalat, tepung yang kalian buat berikan kepada unta dan kalian jangan memakannya meski cuma sedikit, dan salah seorang dari kalian pada malam ini jangan keluar kecuali berdua.’ Para sahabat mentaati perintah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– tersebut, kecuali dua orang dari Bani Saidah. Salah seorang dari keduanya keluar untuk buang hajat, sedang orang satunya keluar mencari untanya. Adapun orang yang keluar untuk buang hajat, ia tercekik di tempat buang hajat. Sedang orang satunya yang mencari untanya, ia terbawa angin hingga terlempar di dua Gunung Thayyi’. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–kemudian beliau bersabda, ‘Bukankah aku telah melarang salah seorang dari kalian keluar kecuali berdua?’ Rasulullah – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– mendoakan orang yang tercekik di tempat buang hajat kemudian ia sembuh. Adapun orang satunya yang terlempar di dua Gunung Thayyi, maka orang-orang Thayyi menghadiahkannya kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– ketika beliau tiba di Madinah.

“Keesokan harinya, …

Apa yang terjadi?

Nantikan lanjutan kisahnya pada bagian kedua dari tulisan ini, insya Allah.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber:

Tahdzibu Sirah Ibnu Hisyam, Abdus Salam Harun, ei, hal. 350-354

 

Catatan:

[1] Ibnu Hisyam berkata: “Telah menceritakan kepadaku orang yang kupercayai bahwa Utsman bin Affan-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-mengeluarkan infak untuk pasukan al-Usrah pada perang Tabuk ini sebesar seribu dinar. Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– berdoa untuknya: “Ya Allah ridhailah Utsman, karena aku ridha kepada.”

[2] al-Jurf adalah nama tempat sekitar tiga mil dari Madinah ke arah Syam, disitulah terletak tanah milik Umar bin Al-Khaththab -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-dan milik penduduk Madinah.

[3] Al-Hijr adalah nama kampung di salah satu sudut kota Madinah, di situ terdapat mata air dan sumur milik Bani Suleim.