Pengutamaan sebagian hari dan bulan atas sebagian lainnya

Segala puji bagi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang telah berfirman,

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ

Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki.” (al-Qashash: 68)

Pilihan itu menunjukkan rububiyah-Nya dan keesaan-Nya, kesempurnaan-Nya, hikmah-Nya, ilmu-Nya dan kekuasaan-Nya.

Dan di antara pilihan-Nya dan pengutamaan-Nya adalah pilihan-Nya terhadap sebagian hari dan bulan dan pengutamaan-Nya terhadap hari dan bulan yang lainnya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah memilih di antara bulan-bulan itu empat bulan sebagai bulan haram. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ  ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu)” (at-Taubah: 36)

Dan bulan-bulan itu ditentukan dengan perjalanan bulan dan terbitnya, bukan dengan perjalanan matahari dan perpindahannya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir.

Apa sajakah bulan-bulan haram itu?

Bulan-bulan haram disebutkan di dalam ayat secara tidak jelas dan tidak diperinci nama-namanya. Sunah datang menyebutkannya. Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, di antaranya termasuk empat bulan yang dihormati: Tiga bulan berturut-turut; Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar yang terdapat antara bulan Jumada Tsaniyah dan Sya’ban.(HR. al-Bukhari, no.4662 dan Muslim, no. 1679)

Dinamakan Rajab Mudhar karena Mudhar dulu tidak mengubahnya, bahkan menempatkannya pada waktunya. Berbeda dengan kabilah-kabilah Arab lainnya. Di mana mereka mengubahnya dan mengganti bulan-bulan sesuai dengan keadaan peperangan yang terjadi di antara mereka. Itulah an-Nasi-u yang disebutkan di dalam firman Allah -سُبْحَانَهُ َتَعَالَى-,

إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ

Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekufuran. Orang-orang yang kufur disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada suatu tahun yang lain agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, sehingga mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah.” (at-Taubah: 37)

Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa sebab penisbatan bulan Rajab kepada kabilah Mudhar adalah karena mereka menambah dalam pengagungannya dan pemuliaannya. Sehingga, oleh karena itulah bulan tersebut dinisbatkan kepada mereka.

Sebab Penamaan Bulan Rajab

Ibnu Faris di dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, halaman 445 mengatakan, ‘رجب , ra, jim dan ba merupakan kata dasar yang menunjukkan pendukungan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya dan penguatannya…dan termasuk dalam bab ini adalah ungkapan, رَجَبْتُ الشَّيْءَ  yakni, aku mengagungkannya…maka dinamakan dengan ‘Rajab’ karena mereka (kabilah Mudhar) dulu mengagungkan bulan tersebut dan syariat pun telah mengagungkannya juga. Selesai perkataannya.

Dulu, orang-orang Jahiliah menamakan bulan Rajab dengan  ‘مُنَصِّلُ الْأَسِنَّةِ ‘ sebagaimana datang di dalam hadis dari Abu Raja al-‘Utharidi, ia -رَضيَ اللهُ عَنْهُ- berkata,

كُنَّا نَعْبُدُ الْحَجَرَ فَإِذَا وَجَدْنَا حَجَرًا هُوَ أَخْيَرُ مِنْهُ أَلْقَيْنَاهُ وَأَخَذْنَا الْآخَرَ فَإِذَا لَمْ نَجِدْ حَجَرًا جَمَعْنَا جُثْوَةً مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ جِئْنَا بِالشَّاةِ فَحَلَبْنَاهُ عَلَيْهِ ثُمَّ طُفْنَا بِهِ فَإِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَجَبٍ قُلْنَا مُنَصِّلُ الْأَسِنَّةِ فَلَا نَدَعُ رُمْحًا فِيهِ حَدِيدَةٌ وَلَا سَهْمًا فِيهِ حَدِيدَةٌ إِلَّا نَزَعْنَاهُ وَأَلْقَيْنَاهُ شَهْرَ رَجَبٍ

“Dulu, kami menyembah batu. Apabila kami mendapatkan batu yang lebih baik, maka kami melemparkannya dan mengambil yang lain.

“Dan apabila kami tidak menemukan batu, kami mengumpulkan segenggam tanah, lalu kami bawakan seekor kambing kemudian kami peraskan susu untuknya. Lalu kami thawaf dengannya.

“Apabila datang bulan Rajab, kami mengatakan: مُنَصِّلُ الْأَسِنَّةِ (tidak ada peperangan).

Maka kami tidak membiarkan tombak maupun panah yang tajam kecuali kami cabut dan kami lemparkan sebagai pengagungan terhadap bulan Rajab.” (HR. al-Bukhari)

Al-Baihaqi -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Dulu, orang-orang Jahiliyah mengagungkan bulan-bulan haram ini, terkhusus bulan Rajab. Pada bulan tersebut mereka tidak melakukan peperangan. Selesai perkataan beliau.”

Rajab Termasuk Bulan-bulan Haram

Sesungguhnya bulan-bulan haram itu memiliki kedudukan nan agung, termasuk pula bulan Rajab karena bulan Rajab merupakan salah satu bulan-bulan haram ini. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar (kesucian) Allah, jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram…” (al-Maidah: 2)

Yakni, janganlah kalian melanggar kehormatan-kehormatannya yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- perintahkan kepada kalian untuk mengagungkannya, dan melarang kalian dari hal-hal yang diharamkan-Nya. Larangan ini mencakup melakukan tindakan buruk dan mencakup juga meyakininya.

Dan, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ…

“Maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu)…” (at-Taubah: 36)

Yakni, di keempat bulan haram ini. Dhamir (kata ganti) dalam ayat ini kembali kepada keempat bulan haram ini, menurut pendapat yang ditetapkan oleh imam para ahli tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari -رَحِمَهُ اللهُ-.

Karena itu, hendaklah seseorang perhatian terhadap kehormatan bulan-bulan ini, karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah mengistimewakannya dalam hal kedudukannya. Hendaknya pula seseorang mawas diri jangan sampai terjatuh ke dalam tindak kemaksiatan dan dosa, sebagai bentuk penghormatan terhadap kemuliaannya. Dan karena tindak kemaksiatan-kemaksiatan itu bisa jadi diperbesar (kadar dosanya) disebabkan karena kemuliaan waktu yang dimuliakan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Karenanya, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mewanti-wanti kita di dalam ayat yang telah lalu dari tindakan menzalimi diri pada bulan-bulan tersebut, padahal kezaliman itu, mencakup pula tindakan kemaksiatan-kemaksiatan yang diharamkan untuk dilakukan pada semua bulan.

Melakukan Peperangan di Bulan-bulan Haram

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ

Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. (al-Baqarah: 217)

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa melakukan peperangan pada bulan-bulan haram mansukh (dihapus hukumnya) dengan firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ

Apabila bulan-bulan haram telah berlalu, bunuhlah (dalam peperangan) orang-orang musyrik (yang selama ini menganiaya kamu) di mana saja kamu temui! (at-Taubah: 5)

Dan firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang lainnya yang bersifat umum yang di dalamnya terdapat perintah untuk memerangi mereka (orang-orang musyrik) secara mutlak.

Mereka (Jumhur ulama) juga berdalil dengan bahwa Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerangi penduduk Thaif pada bulan Dzul Qa’dah di mana bulan tersebut termasuk bulan-bulan haram.

Sementara ulama yang lainnya berpendapat, ‘Tidak boleh memulai perang pada bulan-bulan haram. Adapun melanjutkan peperangan dan menyempurnakannya apabila awalnya dilakukan pada bulan lainnya, maka hal tersebut diperbolehkan. Dan, mereka memahami bahwa peperangan yang dilakukan oleh Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- terhadap penduduk Thaif (kala itu) atas dasar hal tersebut, karena awal tindakan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerangi mereka di Hunain terjadi pada bulan Syawal.

Kesemuanya ini berlaku untuk peperangan yang tidak dimaksudkan untuk membela diri. Karena, apabila masuk menyerang sebuah negeri kaum Muslimin maka wajib atas penduduknya berperang sebagai bentuk pembelaan diri, baik peperangan tersebut terjadi pada bulan haram atau pun di luar bulan haram.

Hukum ‘Athirah di Bulan Rajab

Dulu, orang-orang Arab di zaman Jahiliyah biasa menyembelih binatang sembelihan pada bulan Rajab, di mana mereka melakukannya untuk mendekatkan diri kepada berhala-berhala sesembahan mereka. Lalu, ketika Islam datang memerintahkan agar penyembelihan tersebut hanya untuk Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, membatalkan tradisi yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah.

Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum sembelihan pada bulan Rajab. Jumhur (mayoritas) fuqaha dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa melakukan ‘Athirah (penyembilahan binatang sembelihan pada bulan Rajab) mansukh (telah dihapus hukumnya) dan mereka berdalil dengan sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -,

لَا فَرَعَ وَلَا عَتِيرَةَ

“Tidak ada (dalam syariat islam, pen) fara’ dan tidak ada pula atirah.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 5473 dan Muslim, no. 1976 dari hadis Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-)

Fara’ adalah anak unta yang pertama lahir dimana mereka menyembelihnya untuk berhalanya.

Sedangkan kalangan Syafi’iyyah berpendapat tidak dinasakhnya ‘athirah, dan mereka mengatakan, ‘disukainya melakukan penyembelihan binatang sembelihan pada bulan Rajab. Dan pendapat tersebut merupakan pendapat Ibnu Sirin.

Ibnu Hajar -رَحِمَهُ الله- mengatakan, ‘Dan hal tersebut dikuatkan oleh Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu al-Mundzir, dari Nubaisyah, ia mengatakan,

نَادَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّا كُنَّا نَعْتِرُ عَتِيرَةً فِى الْجَاهِلِيَّةِ فِى رَجَبٍ فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ « اذْبَحُوا لِلَّهِ فِى أَىِّ شَهْرٍ كَانَ وَبَرُّوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَطْعِمُوا »

“Seorang lelaki memanggil Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, ‘Sesungguhnya kami biasa menyembelih binatang sembelihan pada awal bulan Rajab di masa Jahiliah, maka apa  yang Anda perintahkan kepada kami? Beliau pun bersabda, “Sembelihlah (binatang sembelihan) untuk Allah pada bulan apa saja, dan murnikanlah ketaatan kepada Allah – عَزَّ وَجَلَّ – dan berilah makan (orang-orang yang membutuhkan).

Ibnu Hajar -رَحِمَهُ الله- mengatakan, ‘Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak membatalkan ‘Athirah dari pokoknya. Beliau hanya membatalkan mengkhususkan penyembelihan pada bulan Rajab.

Hukum Puasa di Bulan Rajab

Tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- yang menjelaskan tentang puasa di bulan Rajab secara khusus. Tidak ada pula riwayat yang shahih dari para sahabat Nabi tentang hal tersebut. Puasa yang disyariatkan pada bulan Rajab adalah puasa yang disyariatkan pada bulan lainnya, seperti, puasa hari Senin dan hari Kamis, puasa pada ayyamu al-Bidh (tanggal 13, 14, 15 setiap bulan), sehari puasa sehari berbuka, puasa siraru asy-Syahri. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah puasa yang dilakukan pada awal bulan. Sebagian yang lain mengatakan, ‘pada pertengahan bulan’. Sebagian yang lainnya lagi mengatakan, ‘pada akhir bulan.’

Dan, Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- pernah melarang puasa (khusus pada bulan) Rajab, karena di dalamnya terdapat unsur bertasyabbuh (meyerupai kebiasaan) orang-orang Jahiliah, sebagaimana riwayat dari Kharsyah bin al-Har, ia berkata,

رَأَيْتُ عُمَرَ يَضْرِبُ أَكُفَّ الْمُتَرَجِّبِيْنَ حَتَّى يَضَعُوهَا فِي الطَّعَامِ وَيَقَوُلُ: كُلُوْا فَإِنِّمَا هُوَ شَهْرٌ كَانَتْ تُعَظِّمُهُ الْجَاهِلِيَّةُ

Aku pernah melihat Umar memukuli telapak tangan al-Mutarajibin (orang-orang yang mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa) sehingga mereka meletakkan telapak tangan-telapak tangan mereka pada makanan, dan beliau mengatakan (kepada mereka):  Makanlah! Karena sesungguhnya bulan Rajab itu adalah bulan yang pernah diagung-agungkan oleh orang-orang Jahiliyah.” (al-Irwa, 957 dan syaikh al-Albani mengatakan: Shahih)

Imam Ibnul Qayyim -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, ‘Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-tidak pernah berpuasa tiga bulan secara berturut-turut (yakni, Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan) seperti yang dilakukan oleh sebagian orang. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga tidak pernah berpuasa bulan Rajab saja. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga tidak menganjurkan untuk berpuasa pada bulan tersebut.’

Dan, Ibnu Hajar -رَحِمَهُ اللهُ- di dalam Tabyin al-‘Ajab bi Maa Warada Fi Fadhli Rajab mengatakan, “Tidak ada hadis shahih yang layak dijadikan sebagai hujah yang menyebutkan tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula tentang (keutamaan) puasa pada bulan tersebut, tidak pula puasa pada hari tertentu pada bulan tersebut, tidak pula tentang qiyamullail secara khusus pada bulan tersebut. Imam Abu Ismail al-Harawi al-Hafizh -رَحِمَهُ اللهُ-  telah mendahuluiku dalam memastikan hal tersebut. Dan, demikian pula kami telah meriwayatkannya dari selainnya.

Dan, di dalam Fatwa al-Lajnah ad-Daimah disebutkan, ‘Adapun pengkhususan hari-hari bulan Rajab dengan berpuasa, maka kami tidak mengetahui landasannya di dalam syariat.’

Hukum Umrah di Bulan Rajab

Hadis-hadis menunjukkan bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana diriwayatkan dari Mujahid -رَحِمَهُ اللهُ-. Beliau -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, ”Aku dan Urwah bin Zubair pernah masuk masjid, ternyata saat itu Abdullah bin Umar tengah duduk di kamar ‘Aisyah – رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- lalu ia  ditanya. ‘Berapa kali Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – umrah? Beliau pun  menjawab, ‘Empat kali, salah satunya pada bulan Rajab.’ Kami tidak suka membantah (perkataan) beliau.

Mujahid mengatakan, ‘Dan kami pun mendengar suara siwak Ummul Mukminin ‘Aisyah di dalam kamar tersebut. Urwah pun mengatakan, ‘Wahai Ibu, wahai ummul Mukminin? Tidakkah Anda mendengar apa yang dikatakan Abu Abdurrahman? ‘Aisyah pun mengatakan, ‘Apa yang ia katakan?’ Urwah menjawab, ‘Ia (Abu Abdurrahman) mengatakan, ‘Sesungguhnya Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – melakukan umrah sebanyak empat kali, salah satunya pada bulan Rajab. ’ Aisyah –  رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- pun menanggapinya dengan mengatakan, ‘Semoga Allah merahmati Abu Abdurrrahman, tidaklah pernah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – melakukan umrah sekali saja melainkan ia menyaksikan (yakni, hadir membersamai beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –) namun (yang benar adalah bahwa) tidaklah pernah beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – berumrah pada bulan Rajab sama sekali. (Muttafaq ‘Alaih)

Disebutkan dalam riwayat imam Muslim, ‘Dan Ibnu Umar mendengar (hal itu), namun ia tidak mengatakan, ‘Tidak’, tidak pula mengatakan, ‘Iya.’

Imam an-Nawawi -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, ‘Sikap diamnya Ibnu Umar dari mengingkari (perkataan) ‘Aisyah menunjukkan bahwa saat itu hal tersebut tidak jelas atau ia lupa atau ia ragu.

Oleh karena itu, termasuk bid’ah, hal baru yang diada-adakan di bulan ini (bulan Rajab) adalah mengkhususkan bulan Rajab dengan ‘Athirah, dan berkeyakinan bahwa umrah pada bulan Rajab terdapat keutamaan tertentu. Sementara itu, dalam hal tersebut tidak ada nash yang menetapkan bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – berumrah pada bulan Rajab. Syaikh Ali bin Ibrahim al-‘Athar (wafat tahun: 724 H) mengatakan, ‘Di antara perkara yang sampai kepadaku tentang penduduk kota Makah –semoga Allah menambahkan kemuliannya-adalah kebiasaan banyak melakukan umrah pada bulan Rajab. Perkara ini termasuk hal yang aku tidak mengetahui dasarnya. Tetapi, yang valid disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda,

عُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً

“Umrah pada bulan Ramadhan sebanding dengan haji.” (HR. Ibnu majah, no. 2991)

Dan, syaikh Muhammad bin Ibrahim -رَحِمَهُ اللهُ- di dalam fatawanya mengatakan, ‘Adapun mengkhususkan sebagian hari-hari bulan Rajab dengan amal apa pun, ziyarah (umrah) dan yang lainnya, maka tidak memiliki dasar pijakan, sebagaimana ditetapkan oleh al-imam Abu Syamah di dalam kitab al-Bida’ wa al-Hawadits, yaitu, bahwa pengkhususan ibadah pada waktu-waktu yang tidak dikhususkan oleh syariat tidak layak dilakukan, karena tidak ada keutamaan untuk suatu waktu apa pun atau waktu yang lainnya selain apa yang telah diutamakan oleh syariat berupa suatu bentuk ibadah atau keutamaan semua amal-amal kebaikan di dalamnya bukan pada waktu-waktu yang lainnya. Oleh karena itu, para ulama telah mengingkari tindakan mengkhususkan bulan Rajab dengan banyak melakukan umrah di dalamnya. Selesai perkataan beliau.

Akan tetapi, apabila seseorang pergi menunaikan umrah pada bulan Rajab tanpa berkeyakinan adanya keutamaan tertentu, tetapi karena kebetulan waktu yang mudah baginya menunaikan umrah adalah pada bulan ini (bulan Rajab), maka tidak mengapa.

Bid’ah di Bulan Rajab

Sesungguhnya membuat-buat perkara baru dalam agama termasuk perkara yang berbahaya yang bertentangan dengan nash-nash kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Karena, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– tidaklah meninggal dunia melainkan agama ini telah disempurnakan. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (al-Maidah: 3)

Dan telah datang hadis dari ‘Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-, ia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – bersabda,

«مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ»

‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak. (Muttafaq ‘Alaih). Dalam satu riwayat Muslim,

«مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Sebagian orang telah membuat sejumlah perkara baru yang beraneka ragam pada bulan Rajab, di antaranya yaitu,

  • Shalat Raghaib

Shalat ini menyebar luas setelah berlalu waktu kehidupan tiga generasi yang utama (para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in). Para pendusta telah membuat-buatnya. Shalat ini dilakukan pada malam pertama dari bulan Rajab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -رَحِمَهُ اللهُ-mengatakan, ‘Shalat Raghaib merupakan perkara bid’ah dengan kesepakatan para imam agama, seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i, imam Abu Hanifah, ats-Tsauri, Auza’i, al-Laits dan yang lainnya, dan hadis yang diriwayatkan tentang shalat ini adalah dusta dengan kesepakatan para ahli ma’rifah (para ulama) hadis. Selesai perkataan beliau

  • Telah diriwayatkan bahwa ada pada bulan Rajab beberapa peristiwa besar namun tak ada satu pun dari peristiwa tersebut yang shahih; diriwayatkan bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –dilahirkan pada awal malam bulan Rajab, dan bahwa beliau diutus pada malam 27 bulan Rajab, ada yang mengatakan, pada (malam) 25 bulan Rajab, namun hal ini tidak shahih. Dan, diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari al-Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa Nabi di-Isra-kan pada tanggal 27 Rajab. Hal tersebut telah diingkari oleh Ibrahim al-Harbi dan yang lainnya.

Sehingga terjadilah perkara bid’ah di bulan ini (bulan Rajab) yaitu pembacaan kisah isra-mi’raj dan perayaannya di malam 27 Rajab, dan pengkhususan malam tersebut dengan menambah ibadah seperti melakukan shalat malam dan puasa di siang harinya, atau menampakan kegembiraan dan keceriaan pada malam tersebut dan perayaan-perayaan yang dibarengi dengan hal-hal yang diharamkan secara jelas, seperti ikhtilath (campur baur laki-laki dan wanita), nyanyian, dan alunan musik. Kesemuanya ini tidak diperbolehkan pada momentum dua hari raya yang disyariatkan (iedul fitri dan idul adha), apalagi pada hari raya-hari raya bid’ah. Ditambah lagi bahwa tanggal tersebut (yakni, tanggal 27 Rajab) tidak valid secara pasti merupakan saat terjadinya peristiwa Isra dan Mi’raj. Kalau pun ternyata valid, itu pun bukan merupakan legitimasi secara syar’i untuk diadakannya perayaan pada saat itu karena tidak adanya riwayat dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,  tidak pula dari para sahabat-semoga Allah meridhai mereka semuanya-, tidak pula dari kalangan para salaf generasi terbaik umat ini, dan sekiranya hal itu adalah sesuatu yang baik, tentu mereka telah mendahului kita kepadanya.

  • Shalat ummu Dawud pada pertengahan bulan Rajab
  • Bersedekah untuk roh orang yang telah meninggal dunia
  • Doa-doa yang dipanjatkan di bulan Rajab secara khusus, kesemuanya merupakan inovasi dan hal baru yang dibuat-buat.
  • Mengkhususkan berziarah kubur pada bulan Rajab. Ini juga merupakan perkara bid’ah perkara baru yang diada-adakan. Karena, ziarah itu dapat dilakukan kapan saja waktunya sepanjang tahun.

Akhirnya, kita memohon kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi-Nya, dan termasuk pula orang-orang yang berpegang teguh dengan sunah Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- secara zhahir dan batin, sesungguhnya Dialah Dzat yang Maha Kuasa atas hal itu. Dan, doa penutup kita adalah الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (‘segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam’).

Wallahu A’lam

(Redaksi)      

Sumber:

Syahru Rajab, Muhammad bin Shalih al-Munajjid -حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى-.