Pokok Pertama:

IMAN KEPADA ALLAH

Ini adalah asas dan dasar akidah, maksudnya adalah keyakinan kuat bahwa Allah adalah Tuhan segala sesuatu dan Pemiliknya, bahwa hanya Dia semata Yang Menciptakan, Pengatur alam semesta, bahwa hanya Dia semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagiNya, bahwa segala apa yang disembah selainNya adalah batil dan penyembahan kepadanya adalah kebatilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“Demikianlah, yaitu bahwasanya Allah, Dia-lah (Tuhan) Yang Haq. Dan apa saja yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil, dan bahwasanya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Al-Haj: 62).

Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan, disucikan dari segala kekurangan dan aib. Ini adalah tauhid dengan tiga bentuknya, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma` wa Shifat.

 

Pertama : Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah adalah pengakuan bahwa hanya Allah Semata Pencipta alam raya ini, Dia adalah Pengaturnya, Yang menghidupkan, Yang mematikan, Pemberi rizki, Pemilik kekuatan yang kokoh.

Pengakuan terhadap tauhid ini tertanam dalam fitrah manusia, hampir tidak ada umat manusia yang memungkirinya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ Niscaya mereka menjawab, ‘Allah’.” (Az-Zukhruf: 87).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالآرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Pastilah mereka akan menjawab, ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui’.” (Az-Zukhruf: 9).

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ

“Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki Arasy yang agung?’ Mereka akan menjawab, ‘Milik Allah’.” (Al-Mu`minun: 86-87).

Ayat-ayat yang semakna dengan itu dalam al-Qur’an berjumlah besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan orang-orang musyrik bahwa mereka mengakui Rububiyah Allah dan hanya Allah Semata Yang Mencipta, Memberi rizki, Menghidupkan dan Mematikan.

Tidak ada yang mengingkari Tauhid Rububiyah dan mengingkari adanya Tuhan, kecuali segelintir orang menyimpang yang memperlihatkan diri mereka mengingkariNya, padahal hati dan jiwa mereka mengakuiNya. Pengingkaran mereka terhadap ar-Rabb (Tuhan) hanya kesombongan, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan tentang Fir’aun,

مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي

“Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagi kalian selain aku.” (Al-Qashash: 38).

Musa ‘alaihissalam telah berkata kepadanya,

قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ

“Dia (Musa) menjawab, ‘Sungguh, engkau telah mengetahui, bahwa tidak ada yang menurunkan (mukjizat-mukjizat) itu kecuali Tuhan (yang memelihara) langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata’.” (Al-Isra`: 102).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (An-Naml: 14).

Mereka sama sekali tidak bersandar kepada apa pun dalam pengingkaran mereka tersebut, akan tetapi ia hanya bentuk sikap kesombongan dari mereka, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.’ Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah: 24).

Mereka tidak mengingkari atas dasar ilmu yang menopang pengingkaran mereka, tidak ada dalil sam’i, akal dan fitrah yang memihak mereka.

Karena alam semesta ini berikut makhluk-makhluk yang ada di dalamnya merupakan bukti atas keesaan Allah dan RububiyahNya, sebab di belakang makhluk pasti ada Pencipta, sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakannya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ . أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ

“Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (Ath-Thur: 35-36).

Penyair berkata,

وَفِيْ كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ   ***   تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدٌ 

Dia mempunyai tanda pada segala sesuatu

Yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.

Manakala kebenaran hakiki ini harus mereka jawab, maka orang-orang yang mengingkari itu goncang dan kacau dalam jawaban mereka tentang adanya Pencipta.

  • Di satu waktu mereka berkata, Alam semesta ini ada dari tabiat yang merupakan zat segala sesuatu, berupa tanaman, hewan dan benda mati. Makhluk-makhluk ini, menurut mereka adalah tabiat, ia yang menciptakan dirinya sendiri.
  • Di lain waktu mereka berkata, tabiat adalah sifat dan ciri khas sesuatu, berupa panas, dingin, basah, kering, halus dan kasar, dan hal-hal yang saling bertentangan, yaitu gerak dan diam, tumbuh, saling menikah dan melahirkan, sifat-sifat dan hal-hal yang saling bertentangan inilah yang disebut dengan tabiat, ia yang menciptakan dirinya.

Pendapat ini batil dengan kedua asumsi ini, karena tabiat dengan makna pertama menurut pendapat mereka menjadi pencipta dan yang diciptakan di saat yang sama, jadi bumi menciptakan bumi, langit menciptakan langit dan begitu seterusnya. Ini mustahil. Bila terwujudnya makhluk dari tabiat dengan pertimbangan ini mustahil, maka kemustahilannya lebih patut, karena bila sesuatu tidak kuasa menciptakan dirinya, maka sifatnya lebih patut, karena keberadaan sifat bergantung kepada pemiliknya yang dengannya sifat tersebut ada. Bagaimana ia menciptakan sementara ia memerlukan selainnya? Bila argumen telah memastikan bahwa pemilik sifat diciptakan, maka otomatis sifatnya juga diciptakan. Tabiat tidak memiliki perasaan, ia hanya alat belaka, bahwa ia bisa melakukan perbuatan-perbuatan besar yang sangat canggih dan bagus, sangat kokoh dan saling berkait.

  • Di antara orang-orang atheis ada yang berkata, alam semesta ini ada secara kebetulan. Artinya, partikel-partikel dan bagian-bagian bersatu secara kebetulan yang ia melahirkan kehidupan tanpa penciptaan dari Khaliq yang mengatur dan hikmahNya.

Ini adalah pendapat batil, yang ditolak oleh akal dan fitrah. Hal itu, karena bila Anda memperhatikan alam semesta yang tertata dengan rapi ini, dengan segala tata suryanya, bumi, langitnya; aktivitas makhluk-makhluk dengan kecermatan yang tinggi dan tatanan yang menakjubkan, membuktikan kepadamu bahwa tidak mungkin terjadi kecuali dari Allah Yang Maha Pencipta lagi Mahabijaksana.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Silakan bertanya kepada orang yang mengingkari, apa pendapatmu tentang sebuah alat pengairan yang berputar di sebuah sungai, alat-alatnya terpasang dengan baik, susunannya rapi dan bagus, perangkat-perangkatnya tertata dengan baik dan akurat, dengan ukuran, orang yang melihatnya tidak menyaksikan kekurangan pada bentuk dan susunannya, alat pengairan tersebut digunakan menyiram sebuah kebun besar, berisi berbagai macam tanaman dan buah-buahan, ia memberinya air yang memadai, di kebun tersebut ada orang yang mengaturnya, merawatnya dengan baik, menjaganya dan melakukan apa yang dibutuhkan, sehingga tidak ada yang kurang dan buah-buahannya tidak rusak, kemudian saat panen, dia membagikan hasilnya ke pihak-pihak penerimanya sesuai dengan hajat masing-masing, setiap pihak menerima bagiannya yang patut, dia membaginya dengan sedemikian baiknya dan begitu seterusnya; apakah menurutmu ini terjadi secara kebetulan tanpa ada yang melakukan, berbuat dan mengatur, sebaliknya alat pengairan dan kebun tersebut terjadi secara kebetulan, semua itu ada secara tiba-tiba tanpa ada pelaku, pengatur dan penata? Seandainya demikian, apa yang dikatakan akalmu kepadamu? Apa yang akalmu bisikkan kepadamu? Apa yang ia tunjukkan kepadamu? Akan tetapi, di antara hikmah Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana adalah menciptakan hati yang buta yang tidak memiliki bashirah, ia tidak melihat tanda-tanda yang mengagumkan kecuali dengan kaca mata binatang, sebagaimana Allah menciptakan mata yang buta yang tidak bisa melihat.” (Miftah Dar as-Saadah, 1/214).

 

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.