HilalJAKARTA – Perbedaan awal Ramadhan diperkirakan akan kembali terjadi pada 2014/1435, meski demikian sejumlah upaya untuk mendekatkan metodologi penentuan kalender hijriah lintas Ormas Islam terus diupayakan oleh MUI.

“Kita menyadari , (langkah) ini bukan kerjaan mudah, karena menyangkut masalah keyakinan yang dipegang oleh setiap ormas dan sudah lama menancap di masing-masing ormas,” kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa KH. Shalahuddin al-Ayyubi MA, Selasa (27/5). Meski demikian, MUI tetap ingin menggulirkan niat baik untuk menyatukan kalender hijriah agar umat bersatu.

Menurutnya, selama ini upaya untuk semakin mendekatkan di antara metode penanggalan yang berbeda terkait penetapan awal bulan sudah dilakukan Kemenag. Salah satu upayanya adalah dengan dengan metode “imkanurru’yah”.

Kalau di NU, katanya, sebelumnya menggunakan ‘ru’yah bil fi’li’, berapapun hilalnya, kalau sudah bisa dirukyah, besoknya sudah bisa ditetapkan sebagai tanggal satu. Kemudian ada problem yang berkembang ketika ada mengaku melihat hilal padahal secara hisab, hilal tidak mungkin untuk dirukyah.

Dalam kaidah Fiqh tinggi hilal juga masuk kriteria, sehingga pengakuan melihat hilal ketika tidak masuk dalam kriteria akli tidak bisa diterima. “Bisa jadi yang dilihat itu bukan fokus hilal, sepertinya dengan sikap itu, NU sudah mulai menggunakan konsep ‘ru’yah bil fi’li’,” tuturnya.

Begitu juga dengan kasus tahun 2012, saat itu terjadi perbedaan awal bulan, “Hilal belum imkan dan belum pada titik dua derajat, namun Ulama Cakung mengklaim melihat, itulah mengapa pengakuan itu kemudian ditolak karena posisi hilal tidak imkan ru’yah.

“Secara faktual NU sudah bergeser, kemudian di Muhammadiyah sendiri sudah bergeser juga, yang sudah mulai mengambil pendapat wilayatul hukmi,” katanya. Sebenarnya konsep itu adalah kesatuan matla.’ Yaitu sebuah konsep yang biasa digunakan dalam metode rukyah. Konsep itu terpaksa dilakukan karena dengan cara hisab yang digunakan Muhammadiyah akan terjadi perbedaan dari satu wilayah dan wilayah lainnya di Indonesia. “Di daerah Barat, secara hisab sudah ‘wujudul hilal’, tapi di daerah Timur belum wujud, cuman kalau ditetapkan dua hari lebaran dalam satu organisasi akan aneh, maka digunakanlah konsep ‘wilayatul hukmi.’ Ketika sudah masuk ‘wujudul hilal’ sudah bisa ditetapkan awal hilal.

Di Persis juga sudah memakai ‘imkanurru’yah’ murni, mereka memakai metode hisab tapi dengan menggunakan pendekatan ‘imkanurru’yah.’

Secara organisasi, selama ini MUI menyerahkan masalah penetapan tanggal ke Kemenag (pemerintah), karena memang di Fatwa MUI menyebutkan, untuk saat ini, jalan terbaik untuk menyatukan atau meminimalkan perbedaan adalah dengan mengikuti putusan pemerintah.

Sebelumnya, Ketua Lapan mengunjungi MUI untuk silaturahim dan mengingatkan bahwa dalam Fatwa MUI tahun 2004 soal penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawwal terdapat rekomendasi, diantaranya MUI akan menghimpun ormas-ormas Islam dalam hal mencari kriteria titik temu antara berbagai metode dalam penetapan. Diakuinya, memang dari tahun itu, masih belum ada tindakan nyata.

Dengan dukungan semua pihak untuk mendekatkan metodologi yang berbeda, MUI dan Lapan sepakat membentuk tim kecil baik, MUI, Lapan dan Kemenag. “Jadi tim ini yang menginventarisir dan memfasilitasi sampai dengan munculnya draft yang terkait dengan kriteria itu,” pungkasnya. (mui)

 

Oleh: Saed As-Saedy