Meski terlalu senja, tak mengapa jika tetap kuketuk hati ini. Hati seorang suami yang pintunya masih sedikit bebal dan berdecit, sehingga kuselipkan saja sepucuk surat ini. Mudah-mudahan ia mau membacanya:

Seringan kapas yang dihanyutkan angin dari atas pokok randu. Seringan itulah nilai kebaikan istrimu di matamu.

 Padahal jika engkau tulus menyadari, lembayung senja pun kalah elok dengan keindahan perbuatan baik istrimu. Keikhlasan yang diperas dari sanubarinya, terlihat lebih jernih dari mata air, lebih manis dari madu, dan tetesan-tetesannya terasa lebih lembut dari bulu alpaka(1). Ia baru bisa dihayati dengan air mata penyesalan, linangan kehilangan.

 Kebaikan istri terasa lebih menyentuh hati, saat ia telah tiada.

 

HARGA SETETES KEBAIKAN

“Engkau tahu? Red Beryl(2) dibanderol hingga 100 juta rupiah per karatnya, namun harga tersebut tidak sebanding dengan satu tetesan keringat istrimu. Aston Martin V12(3) pun boleh didesain dengan sangat nyaman untuk berkendara, namun kenyamanan tersebut tidak mampu menyaingi satu detik curahan kebaikan istrimu. Terlalu mahal kebaikan tersebut hingga tidak mampu diangkakan. Terlalu rumit kebaikan tersebut untuk diartikulasikan, tak serumit rumus Helmholtz(4) yang telah dipecahkan.

Kebaikan-kebaikan tersebut sejatinya telah kau baca setiap hari, namun sulit dimanifestasikan sebagai kebaikan. Betapa tidak? Sampai kita bingung harus memulai darimana. Bukankah, pekerjaan rumah istri, dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengurus anak, menjemur pakaian, menyetrika, mengepel, dan seterusnya itu merupakan kebaikan? Belum lagi ditambah dengan melayanimu sebagai suami.

Kebaikan-kebaikan tersebut bagai arus deras yang menyeretmu kepada ketidaksadaran, ketidaksadaran yang menjadikan dirimu menilai semua itu biasa saja. Padahal, boleh jadi rasa capeknya melebihi rasa capekmu bekerja seharian. Dan kau tahu, ia hanya ingin semua itu dibayar dengan sedikit “penghargaan”. Itulah harga yang pantas dari setiap tetes kebaikannya.”

 

HANYA PUJIAN DAN PENGHARGAAN

Duhai hati, aku kira hanya aku saja yang mengirimkan surat kepadamu, hingga akhirnya kulihat kotak suratmu penuh dengan surat yang serupa. Ternyata semuanya dari istrimu. Kenapa tidak engkau ambil? Istrimu terlalu malu untuk mengetuk pintumu secara langsung, apalagi sekedar menyelipkan surat ke bawah pintu. Ini kubacakan salah satunya untukmu:

“Suamiku. Jika ini memang relung hatimu.

 Terima kasih sudah memberiku kecukupan selama ini. Segala fasilitas keduniaan yang kau sediakan memang cukup membahagiakan. Tapi sebenarnya bukan itu yang aku inginkan.

 Suamiku. Jika ini memang relung hatimu.

 Aku hanya ingin engkau mengerti perasaanku. Aku hanya ingin dihargai.

Aku hanya ingin engkau memuji sesuatu yang mungkin menurutmu remeh, tapi justru itulah kebahagiaanku.

 Suamiku. Jika ini memang relung hatimu.

 Engkau tentu lebih paham, bagaimana cara mengamalkan sabda Nabi berikut ini.

 “Sesiapa yang diberikan sebuah hadiah, kemudian ia mendapati (sesuatu untuk membalasnya), maka hendaknya ia membalasnya. Jika tidak mendapati, maka sanjunglah orang yang memberinya.

 Barangsiapa yang menyanjungnya maka sungguh ia telah berterima kasih, dan barangsiapa menyembunyikan (sanjungannya), maka sungguh ia telah ingkar.(5)

Memang tidak banyak yang kulakukan untuk melayanimu. Namun, andai engkau tahu bahwa aku pun ingin dihargai sebagaimana engkau dihargai. Aku pun ingin dipuji sebagaimana engkau senang dipuji. Aku hanya ingin engkau mengerti hal ini.

 Duhai hati, alangkah indahnya surat ini jika engkau resapi. Curahan perasaan istrimu yang tidak pernah kau dengarkan selama ini. Mudah-mudahan engkau mulai mengerti untuk saat ini, bahwa penghargaanmu kepadanya bernilai kebahagiaan.

 

BONGKAHAN PERASAAN

Manusia memang dilebihkan dengan yang satu ini, bongkahan perasaan. Ia lebih besar lagi porsinya pada hati seorang wanita, termasuk istri. Bongkahan ini terkadang begitu berat dan menyakitkan seperti batu menghimpit hati, di lain waktu begitu ringan seperti balon helium, membawa terbang hati hingga puncak kebahagiaan.

Maka jika engkau peduli dengan bongkahan perasaan istrimu, janganlah membuatnya keras dengan sikap ketusmu, janganlah membuatnya berat dengan ketidakpedulianmu, hingga ia harus tenggelam ke dasar palung perpisahan.

Namun terbangkanlah ia dengan satu bisikan cinta. Satu ungkapan saja, yang akan menerbangkan bongkahan tersebut, dan akan merekahkannya menjadi serpihan-serpihan cinta.

 

SATU KATA SERIBU CINTA

Duhai hati, pintumu memang sedikit bebal dan berdecit, namun aku tahu, perlahan tapi pasti engkau mulai membukanya sekarang ini. Dan kau harus meyakini bahwa tidak ada kata terlambat.

Lihatlah sekarang, cahaya harapan mulai menyeruak melalui celah-celah pintumu, ternyata dinding-dinding relung hatimu pun berwarna merah jambu, hanya kau malu mengakuinya selama ini. Kau benar-benar penuh cinta. Kenapa tak kau luapkan selama ini kepada orang yang menerimanya dengan lapang dada, istrimu.

Aku tahu, engkau benar-benar sudah siap mengungkapkannya sekarang, satu ungkapan cinta dan penuh kasih kepada istrimu.

“Istriku, aku tidak tahu ada goncangan apa kiranya dalam hatiku. Namun goncangan tersebut membuatku bersemangat. Bersemangat untuk membuat hatimu berbunga-bunga, dengan sepenuh hati pengungkapanku.

Istriku, aku tahu bahwa wanita dilebihkan dengan perasaan, dan laki-laki dilebihkan dengan akal, namun akal ini tidak benar-benar menjadikanku sebagai manusia yang berperasaan. Perasaan yang akan membuatmu tersenyum simpul acapkali engkau mengingatnya. Yang bila disederhanakan itu berarti keromantisan. Yang kuwujudkan sekarang dengan sedikit penghargaan.

 Istriku, hanya satu kata saja yang kan kuungkapkan, namun aku terlalu malu mengatakannya kepada dunia saat ini, sudikah engkau mendekat? Biar kubisikkan saja rahasiaku di telingamu.

 Istriku…

 Sepolos senyum bayi, dan sepenuh cinta kuucapkan, “terima kasih…” begitu lirih dan menyejukkan.

 

KUSADARI KEKELIRUANKU

Suara hati, sekarang aku benarbenar tahu. Harga setimpal dari semua itu. Dengan lebih dekatnya aku dengan istriku. Dengan keutuhan rumah tangga ini. Kepuasan yang begitu aneh, di batin. Bahagia.

Andai ku tahu istriku lebih bahagia dengan sedikit menghargai dirinya. Sedikit meluangkan waktu untuknya. Sedikit memahaminya. Sudah tentu kusiapkan sekuntum terima kasih, senyum sepolos bayi, dan telinga yang siaga, mendengarkan curahan hatinya. Selalu.

Inilah aku, mengaca air raut mukaku, bercengkerama dengan hatiku. Ya, aku menasihati diriku. Dan kusadari kekeliruanku.

Terima kasih…

(Abu Ukasyah Sapto B. Arisandi)

 

 

Footnote:

  1. Hewan sejenis Llama yang bulunya dijadikan wol.

  2. Nama batuan permata.

  3. Salah satu merek mobil ternama.

  4. Rumus persamaan matematika yang cukup rumit.

  5. HR. Abu Dawud. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 617.