Hari-hari ini manusia disibukan oleh berita-berita tentang wabah yang tengah menyebar di penjuru dunia, yang penyebarannya kian hari kian bertambah luas. Wabah yang tengah menyebar tersebut adalah virus Corona. Wabah ini telah menyebabkan kematian orang dalam jumlah yang cukup banyak, khususnya di negeri yang pengaruh wabah tersebut semakin mengganas.

Oleh karena jenis wabah ini merupakan bagian dari ketentuan dan takdir Allah  ta’ala, maka kita, sebagaimana seorang yang beriman diminta untuk melakukan tindakan pencegahan dari wabah ini dan menolak sebab-sebab terjangkiti olehnya dan penyebarannya. Hal itu kita lakukan setelah kita bertawakkal kepada Allah ta’ala dan menerima ketentuan dan takdir-Nya.

Dan, di dalam perjalanan hidup Umar bin Khaththab terdapat pelajaran tentang bagaimana strategi beliau dalam menghadapi persoalan seperti ini.

Pada tahun 18 H terjadi peristiwa buruk yang membingungkan akal lagi menakutkan, yaitu apa yang disebutkan oleh beberapa sumber, apa yang dinamakan dengan “Tha’un ‘Amwas“. Di namakan dengan “Tha’un ‘Amwas” dinisbatkan kepada suatu daerah kecil yang disebut ‘amwas, daerah tersebut berada di antara al-Quds dan Ramalah. Hal itu karena di daerah tersebutlah awal mula kemunculan wabah tersebut, kemudian wabah tersebut menyebar ke sebagian daerah Syam, sehingga dinisbatkan kepada daerah tersebut. Dan, orang yang paling baik dalam menyebutkan sifat penyakit ini –sepanjang pengetahuan saya- adalah al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah merahmatinya- di mana beliau mengatakan –setelah menyebutkan beberapa pendapat tentang Tha’un – ‘inilah yang sampai kepada kami dari perkataan para ahli bahasa, ahli fikih, dan para dokter tentang definisinya (penyakit ini). Walhasil, bahwa hakikat penyakit ini adalah benjolan yang muncul pada saat darah bergejolak atau pada saat darah mengucur ke bagian-bagian anggota tubuh lalu merusaknya. Dan, selain itu, penyakit-penyakit yang muncul karena kerusakan udara disebut juga sebagai tha’un secara kiasan, karena adanya kesamaan antara kedua hal tersebut dalam hal keumuman  (sifat) penyakit tersebut atau karena banyaknya orang yang meninggal dunia karenanya.

Terjadinya Tha’un kala itu setelah terjadi peperangan yang cukup dahsyat antara kaum Muslimin dan Romawi, banyak orang yang terbunuh, dan terjadi perubahan cuaca. Dan, kerusakan tersebut oleh karena bangkai mayat yang bergelimpangan merupakan perkara  wajar, Allah ta’ala mentakdirkannya untuk suatu hikmah yang dikehendaki-Nya.

Kembalinya Umar dari Sargh Perbatasan Hijaz dan Syam

Pada tahun 17 H, Umar ingin mengunjungi Syam untuk kedua kalinya, ia pun bergegas pergi ke sana. Beliau berangkat bersama sekelompok orang Muhajirin dan Anshar hingga beliau sampai di daerah Sargh yang berada di perbatasan Hijaz dan Syam, beliau ditemui oleh para pemimpin pasukan. Mereka mengabarkan kepadanya bahwa bumi (yang akan didatanginya) tengah didera wabah penyakit, tha’un tengah mewabah di Syam, lalu Umar mengajak mereka bermusyawarah tentang hal tersebut, yang akhirnya Umar menetapkan pendapatnya untuk pulang saja (ke Madinah, tidak memasuki Syam).

Sekembali Umar terjadilah tha’un yang menelan banyak korban yang dikenal dengan tha’unamwas. Hal itu sedemikian dahsyat terjadi di Syam. Disebabkan Tha’un tersebut banyak orang meninggal, di antara mereka adalah Abu Ubaidah bin Jarrah- dia adalah pemimpin mereka-, Mu’adz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan, al-Harits bin Hisyam, Suhail bin ‘Amru, Utbah bin Suhail, dan orang-orang yang mulia lainnya.

Dan, Wabah tersebut belum saja terangkat dari mereka melainkan setelah ‘Amr bin al-Ash diangkat sebagai pemimpin mereka. Beliau berpidato di hadapan manusia, seraya mengatakan kepada mereka :

“Wahai segenap manusia ! sesungguhnya penyakit ini, bila ia menimpa (manusia) ia akan menyala sebagaimana nyala api. Maka, jauhkanlah diri kalian darinya di gunung-gunung.

Lalu, ia beranjak keluar dan diikuti oleh banyak orang, mereka berpencar-pencar di tempat-tempat yang berbeda-beda, hingga akhirnya Allah ta’ala mengangkat wabah tersebut dari mereka.

Sampailah berita tentang apa yang dilakukan ‘Amr bin al-‘Ash tersebut ke telinga Umar bin Khaththab, dan Umar pun tidak membenci hal tersebut.

Keluarnya Umar ke Syam dan Pengaturan Urusan

Al-faruq, Umar pun terpengaruh dan sedih dengan kesedihan yang  mendalam karena kematian panglima besarnya dan beberapa personel pasukannya karena tha’un yang terjadi di Syam. Beberapa surat dari beberapa pemimpin Syam pun berdatangan kepada Umar, mereka bertanya tentang warisan yang ditinggalkan oleh para pendahulu mereka, dan beberapa masalah yang lainnya. Maka, Umar pun segera mengumpulkan beberapa orang untuk bermusayarah dengan mereka tentang berbagai persoalan baru yang tengah dihadapi oleh kaum Muslimin di segenap penjuru kekuasaannya. Dia pun bertekad untuk berkeliling mengunjungi daerah-daerah kaum Muslimin yang berada di bawah kekuasaannya untuk mengatur segala urusan mereka. Setelah bertukar pendapat dengan majlis syuro, Umar menetapkan bahwa ia akan memulai kunjungannya dari Syam, ia mangatakan : sesungguhnya harta-harta warisan penduduk Syam telah tersia-siakan. Maka dari itu, aku akan memulai kunjungan ke Syam untuk membagi harta-harta warisan dan aku akan mengatur beberapa hal yang perlu diatur yang terbesit di dalam diriku perihal urusan mereka. Kemudian, aku akan kembali (ke Madinah), dan menengok keadaan daerah-daerah yang lainnya, menyampaikan kepada mereka pendapat-pendapatku.

Beliau pun bertolak dari Madinah dan sebelumnya beliau mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pemegang kekuasaan sementara di Madinah. Ketika beliau datang ke Syam, beliau mebagi-bagikan bantuan dan beliau berusaha menutupi celah-celah kota Syam dan tempat-tempat yang dijadikan sebagai gantungan senjata, mengangkat beberapa orang yang akan mengurusi dan bertanggung jawab tentang urusan kaum Muslimin di beberapa daerah. Umar menunjuk Abdullah bin Qais sebagai penanggung jawab sebuah distrik yang terdiri atas beberapa perkampungan. Beliau mengangkat Mu’awiyah sebagai pemimpin di Damaskus. Dan, beliau juga mengatur urusan tentara, komandan dan orang-orang, dan membagi harta-harta waris peninggalan orang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup.

Kala waktu shalat telah tiba, orang-orang mengatakan kepada beliau, ‘Tidakkah sebaiknya Anda perintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan ! Maka, beliau pun segera memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan. Bilal pun segera mengumandangkan adzan. Ketika Bilal mengumandangkan adzan, tak seorang pun yang masih tersisa yang pernah hidup di masa Nabi-shallallahu ‘alaihi wasallam– melainkan ia menangis hingga basah jenggotnya. Sementara, Umar adalah orang yang paling keras tangisannya. Begitu pun halnya orang-orang yang tidak menjumpai kehidupan Rasulullah, mereka pun menangis karena tangisan mereka dan oleh karena mereka teringat dengan Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sebelum Umar kembali ke Madinah beliau berkhutbah di hadapan manusia :

“Ketahuilah bahwa aku telah mengangkat beberapa pemimpin untuk mengurusi dan bertanggung jawab atas urusan kalian, dan aku pun telah melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada ku terkait dengan urusan kalain, insya Allah. Kami telah melapangkan kepada kalian harta, dan tempat-tempat kalian, dan kami pun telah sampaikan kepada kalian apa yang ada pada kami, kami telah menyiapkan tentara untuk kalian, kami telah menyumbat celah-celah kalian dan kami telah menempatkan kalian di tempat-tempat yang layak, dan kami telah memberikan kelapangan kepada kalian, dan kami pun telah menyimak dengan baik apa yang kalian katakan tentang apa yang tengah terjadi di Syam, kami memperbaiki kualitas apa yang kalian konsumsi, kami perintahkan orang-orang untuk mengirimkan bantuan kepada kalian, memberikan sebagian harta rampasan perang kepada kalian. Barang siapa yang mengetahui sesuatu hendaknya ia mengamalkannya, lalu ia mengajarkan hal itu kepada kami, niscaya kami akan mengamalkannya, insya Allah. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan atas pertolongan Allah.

Khotbah ini, beliau sampaikan sebelum melakukan shalat tersebut.

Tha’un ‘Amwas yang terjadi ketika itu sangat besar bahayanya terhadap kaum Muslimin, lebih dari 20.000 orang di antara mereka meninggal dunia, jumlah tersebut menyamai separuh jumlah mereka yang berada di Syam, dan boleh jadi hal itu menimbulkan rasa takut kaum Muslimin kala itu. Andai kata saat itu, (Para tentara) Romawi membaca kelemahan yang tengah mendera pasukan kaum Muslimin di Syam pada hari-hari itu, lalu mengambil kesempatan untuk menyerang negeri-negeri kaum Muslimin, niscaya pasukan kaum Muslimin yang berada di perbatasan negeri yang tengah menjaga keamanan akan sulit dan kerepotan menghadapi mereka. Akan tetapi, boleh jadi rasa putus asa telah menghinggapi jiwa mereka dan menguasainya, sehingga menyebabkan mereka tetap duduk di negeri mereka tidak melakukan serangan terhadap kaum Muslimin, terlebih ketika para penduduk negeri kaum Muslimin telah ridha terhadap para pengusa kaum Muslimin yang telah membuat hati-hati mereka nyaman terhadap kekuasaan mereka yang adil dan perjalanan hidup mereka yang bagus. Tanpa meminta bantuan mereka niscaya tidak akan mudah bagi tentara Romawi untuk menyerang Syam, terlebih lagi bila kita tambahkan pada hal ini, bahwa mereka telah merasa bosan untuk berperang, lebih memilih untuk hidup berleha-leha daripada kepenatan untuk menghadapi suatu kaum yang mana ‘pertolongan terhadap sesama orang yang beriman’ telah menjadi sumpah setia mereka di setiap tempat, dan rasa gentar di dalam hati setiap insan (yang menjadi musuhnya) telah merambah karena pengaruh mereka.

Hukum Masuk dan Keluar di Daerah yang Tengah Tertimpa Tha’un

Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wasallam-bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تُقْدِمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ. يَعْنِى الطَّاعُوْن                               

“Jika kalian mendengarnya tengah mendera suatu daerah, maka janganlah kalian mendatangi daerah tersebut, dan apabila tengah mendera suatu daerah sementara kalian tengah berada di sana janganlah kalian keluar melarikan diri darinya. Yakni, Tha’un.” (HR. Abu Dawud)

Para sahabat berbeda pendapat tentang mafhum larangan keluar dan masuk tersebut. Di antara mereka ada yang mengamalkannya berdasarkan zhahirnya dan ada pula di antara mereka yang mantakwilnya. Kalangan yang mentakwil larangan tersebut memperbolehkan untuk keluar bagi orang-orang yang di daerahnya tengah tertimpa tha’un. Telah kita sebutkan bagaimana keseriusan al-Faruq Umar untuk mengeluarkan Abu Ubaidah dari daerah yang tengah didera tha’un, hanya saja Abu Ubaidah menyampaikan uzurnya, (tidak seperti ketika) al-Faruq meminta kepada Abu Ubaidah untuk mengevakuasi kaum Muslimin dari daerah yang banyak air dan rawa-rawa ke dataran tinggi, Abu Ubaidah segera saja melaksanakannya. Pesan tertulis Umar kepada Abu Ubaidah disampaikannya setelah keduanya berjumpa di daerah Sargh dan keduanya telah mendengar hadis Abdurrahman bin Auf tentang larangan (Nabi) keluar dan masuk ke daerah yang tengah tersebar wabah penyakit dan Umar telah kembali ke Madinah. Dan, tampaknya bahwa wabah yang terjadi baru pada tahap permulaannya, belum menjadi besar dan menyalakan apinya. Lalu, ketika Umar telah kembali ke Madinah, sampailah berita kepada beliau tentang banyaknya orang yang meninggal dunia akibat tha’un ini.

Dan, mafhum tentang bolehnya keluar dari daerah yang tengah dijangkiti wabah tha’un dinukil juga dari sebagian kalangan Sahabat yang sezaman hidupnya dengan Abu Ubaidah di Syam dan hidup diliputi oleh ujian penyakit ini, seperti ‘Amr bin al-‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Dan, perbedaan pendapat terjadi dalam masalah ‘keluar dari daerah yang tengah terjangkiti tha’un‘, bukan dalam hal masuk ke daerah yang tengah terjangkiti tha’un. Maka, sebagian mereka (para sahabat) membolehkan keluar dari daerah tersebut, namun tidak untuk lari dari takdir Allah, dan berkeyakinan bahwa larinya tersebut itulah yang menyelamatkannya dari kematian. Adapun barang siapa keluar untuk kebutuhan khusus, maka itu boleh. Dan, begitu pula barang siapa yang keluar untuk berobat, hal itu boleh. Karena meninggalkan daerah yang tengah terjangkiti wabah, pergi ke tempat yang tidak terjangkiti merupakan perkara yang dianjurkan dan diminta.

Adapun alasan Abu Ubaidah tetap tinggal (di Syam) dan uzurnya tidak keluar (dari Syam) yang dikemukakannya kepada al-Faruq Umar bin Khaththab hal itu kembali kepada faktor-faktor kesehatan, kondisi sosial dan politik dan kepemimpinan yang diatur oleh agama di dalam aturan-aturannya. Boleh jadi misalnya karena beliau pemegang kepemimpinan tertinggi dalam hal keamanan, Abu Ubaidah adalah ‘amin’ umat ini, (sebagaimana disabdakan Nabi),

وَإِنَّ أَمِيْنُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ

Abu Ubaidah berkata, memberikan alasan sebab tetap tinggal dirinya (di Syam) :

إِنِّي فِي جُنْدِ الْمُسْلِمِيْنَ, وَلَا أَجِدُ بِنَفْسِي رَغْبَةً عَنْهُمْ

“Sesungguhnya aku tengah berada di dalam pasukan kaum Muslimin dan aku tidak mendapatkan dalam diriku rasa tidak suka kepada mereka.”

Boleh jadi benar apa yang dikatakan sebagian ulama yang merinci ketika mereka menyebutkan hikmah di balik larangan keluar untuk lari dari tha’aun, mereka mengatakan :

Sesungguhnya orang-orang bila mana mereka keluar daerah satu per satu, niscaya orang-orang lemah (yang tidak mampu keluar) karena terjangkiti th’aun atau yang lainnya, akan kehilangan maslahat karena kehilangan orang yang bakal merawatnya, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Dan andai kata disyariatkan untuk keluar, niscaya orang-orang yang kuatlah yang bakal keluar, niscaya hal tersebut bakal memecahkan hati-hati orang yang lemah.  Mereka mengatakan : Sesungguhnya, hikmah ancaman lari dari medan perang adalah karena tindakan tersebut berpotensi memecahkan hati orang yang tidak dapat lari, dan hal tersebut juga akan memasukkan rasa takut padanya dengan merasa terhinakan.

Ringkasnya, bahwa tetap tinggal (di daerah yang tengah terjangkiti wabah) merupakan rukhshah dan demikian pula keluar dari daerah tersebut juga merupakan rukhshah. Barang siapa yang berada di daerah yang tengah terjangkiti wabah penyakit dan ia terkena, maka tidak ada faedahnya ia keluar. Bahkan, dengan tindakannya keluar darinya justru berpotensi memindahkan penyakit yang tengah dideritanya kepada orang-orang yang sehat. Dan, orang-orang yang tidak tertimpa, maka ia diberikan keringanan untuk keluar dari daerah tersebut sebagai bentuk pengobatan. Namun, agar tidak semua orang keluar darinya, maka harus ada yang tetap tinggal di daerah tersebut orang-orang yang memberikan pelayanan terhadap orang-orang yang tengah sakit. Wallahu A’lam

Sungguh, persoalan wabah penyakit yang buruk ini banyak memberikan dampak negatif banyak orang, dan sebagian besar mereka adalah kaum Muslimin. Sikap Umar terhadap wabah ini sangat berhati-hati sekali, di mana beliau beserta orang-orang yang bersamanya tidak masuk ke Syam, dan beliau juga berupaya untuk mengeluarkan orang-orang yang selamat dari terjangkiti wabah tersebut dari daerah yang tengah terjangkiti olehnya, beliau tegak berdiri memikul tanggung jawab secara sempurna setelah wabah ini terangkat. Beliau kembali pergi ke Syam dan memberikan arahan serta bimbingan untuk mengatasi problem-problem, dan membenahi banyak hal akibat dari wabah ini, sebagaimana yang menjadi rujukannya dan dalilnya pada setiap tidakannya adalah syariat Islam dan pemahaman beliau terhadapnya, maka beliau berijtihad dan merealisasikannya, beliau memerintahkan dan mengarahkan para penguasa selaras dengan ketentuan syariat tersebut. Sehingga dengan itu, jadilah ia sebagai sosok teladan bagi para penguasa dan pemimpin setelahnya dalam hal bagaimana menghadapi krisis dan memenejnya. Beliau, dalam hal itu, menjadi suri teladan bagi siapa yang ingin berinteraksi dengan beragam penyakit dan wabah yang membahayakan. Maka, menjauhkan diri dari tempat-tempat yang tersebar wabah,  dan upaya meminimalisirnya merupakan bagian dari fikih seorang khalifah yang terbimbing Umar bin Khaththab- di dalam berinteraksi dengan wabah dan beragam penyakit. (Redaksi)

Referensi :

  1. Abu Ubaidah ‘Amir al-Jarrah, Muhammad Syarab
  2. Al-Faruq Umar bin al-Khaththab, Muhammad Rosyid Ridha
  3. Al-Khulafa ar-Rosyidun, ‘Abdul Wahhab an-Najjar
  4. Dirosaat Fii al-Hadhaaroh al-Islamiyah, Ahmad Ibrahim asy-Syarif.
  5. Majmu’ah al-Watsa-iq as-Siyaasiyah Lil ‘Ahdi an-Nabawi Wa al-Khilafah ar-Rosyidah, Muhammad Hamidullah
  6. Siroh Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab Syakhshiyyatuhu Wa ‘Ash-ruhu, Ali Muhammad ash-Shalabiy

Sumber :

Fairus Kurunaa Wa Siyasatu Amiri al-Mukminin Umar bin al-Khaththab Fii at-Ta’amuli Ma’a al-Wabaa-i, Dr. Ali ash-Shalabiy