tawasul1Orang-orang yang terjerumus ke dalam kekeliruan dalam urusan tawasul berusaha membenarkan perbuatan mereka dengan alasan-alasan yang sebenarnya hanyalah syubhat, alasan yang sepintas shahih namun rusak, di antaranya adalah:

Hadits, “Aku memohon kepadaMu dengan hak berjalanku ini dan hak orang-orang yang memohon atasMu.

Jawaban atas terhadap hadits:

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 3/21 diriwayatkan oleh Ibnu Majah Kitab al-Masajid wal Jama’at Bab al-Masyu ila ash-Shalah 1/256 hadits 778. Hadits ini didhaifkan oleh al-Albani dalam adh-Dhaifah hadits 24, hadits ini juga didhaifkan oleh al-Arnauth.

Dari sisi makna hadits ini bukan merupakan hujjah atas tawasul dari dua sisi:

Pertama: Bahwa ia adalah hak yang Allah tetapkan atas diriNya, lain halnya dengan ucapan pendoa, “Dengan hak fulan.”

Kedua: Bahwa maknanya adalah dengan hak janji kepada orang-orang yang meminta dan saya adalah salah satu dari mereka, ini adalah hak yang memiliki hubungan kesesuaian, berbeda dengan ucapan pendoa, “Dengan hak fulan.” Karena ucapan ini tidak memiliki hubungan kesesuaian dengan dijawabnya doa.

Hak orang-orang yang memohon adalah apa yang Allah wajibkan atas diriNya, Dialah yang menetapkan hak bagi para pemohon untuk menjawab permohonan mereka, Dia yang menetapkan hak pahala bagi orang-orang yang beribadah.

Bila seseorang berkata, Apa perbedaan antara ucapan pendoa, “Dengan hak orang-orang yang meminta atasMu.” dengan ucapannya, “Dengan hak NabiMu.” Atau yang semisalnya?

Kami menjawab, makna ucapannya, “Dengan hak orang-orang yang meminta atasMu.” Maksudnya Engkau telah menjanjikan untuk menjawab doa orang-orang yang meminta dan saya adalah salah seorang dari mereka, maka jawablah doaku, berbeda dengan ucapannya, “Dengan hak fulan.” Karena sekalipun fulan memiliki hak atas Allah yang Dia tetapkan melalui janjiNya yang benar, namun tidak ada korelasi antara hal itu dengan dijawabnya doa peminta tersebut. Seolah-olah dia berkata, “Karena fulan termasuk hamba-hambaMu yang shalih, maka jawablah doaku.” Di mana letak keterkaitan dan hubungan di antara keduanya? Justru hal ini termasuk pelanggaran dalam doa yang dilarang oleh Allah dalam firmanNya, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’al-A’raf: 55).

Doa seperti ini dan yang semisalnya termasuk doa-doa bid’ah, tidak dinukil dari Nabi saw, tidak ada para sahabat, tidak dari tabi’in dan tidak dari seorang imam pun, sebaliknya doa seperti ini hanya ada pada buku-buku kumpulan doa yang dibuat oleh orang-orang bodoh dan para ahli tarekat.

Doa termasuk ibadah paling utama, ibadah berpijak kepada sunnah dan ittiba’, bukan kepada hawa nafsu dan kreatifitas akal.

Syubhat aqliyah

Orang-orang yang membolehkan tawasul dengan dzat nabi atau makhluk berkata, Nabi saw adalah pemberi syafaat tanpa ragu, maka menjadikannya sebagai sebab adalah boleh seperti upaya syafaat di sisi manusia.

Syubhat ini sejatinya berpijak kepada qiyas Khalik kepada makhluk dan ia batil dari dua sisi:

1- Bahwa Allah witir, tidak seorang pun yang menggenapkanNya, hanya saja Allah mengizinkan kepada siapa yang Dia kehendaki untuk memberi syafaat dan meridhai penerima syafaat sebagai rahmat kepada makhlukNya.

2- Dalam perkara ini, yang berpengaruh bukanlah syafaat semata, akan tetapi Allah-lah yang menjadikan orang ini berdoa dan memberi syafaat dan Dia pula yang menerima syafaat

Intinya bahwa syafaat di sisi Allah tidak seperti syafaat di sisi manusia, karena pemberi syafaat di sisi manusia, sebagaimana dia adalah pemberi syafaat bagi pemintanya dalam permintaannya, artinya peminta menjadi genap dengannya setelah sebelumnya dia ganjil, dia juga telah memberi syafaat kepada pihak di mana permintaan itu ditujukan kepadanya, dengan syafaat pemberi syafaat, dia melakukan apa yang diminta kepadanya, sehingga dia telah memberi syafaat kepada peminta dan yang diminta, sedangkan Allah adalah ganjil, tidak seorang pun menggenapkanNya, sehingga tidak seorang pun memberi syafaat kecuali dengan izinNya, segala perkara hanya milik Allah, tidak ada sekutu bagiNya dari sisi mana pun.

Bila seorang pendoa berdoa kepadaNya dan seorang pemberi syafaat memberi syafaat di sisiNya, lalu Allah mendengar doa dan menerima syafaat, tidak berarti bahwa doa dan syafaat tersebut telah mempengaruhiNya sebagaimana makhluk mempengaruhi makhluk, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadikan orang tersebut berdoa dan memberi syafaat, Dialah pencipta perbuatan para hamba, Dialah yang membimbing hamba untuk bertaubat kemudian menerima taubtanya, Dialah yang membimbing hamba untuk beramal kemudian memberinya pahala, Dialah yang membimbing hamba untuk berdoa kemudian mengabulkannya. Hal ini adalah sesuatu yang lurus di atas dasar Ahlus Sunnah yang meyakini takdir dan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Wallahu a’lam.