Pentingnya Musyawarah dan Kewajiban Taat Kepada Rasul

 

A. TEKS AYAT

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159) إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160) وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (161) أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَ اللَّهِ كَمَنْ بَاءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (162) هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (163) لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (164) [آل عمران: 159 – 164]

 

B. TERJEMAHAN

3:159 Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya.

3:160 Jika Allah menolongmu, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkanmu; jika Allah membiarkanmu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolongmu sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal.

3:161 Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada Hari Kiamat dia akan datang membawa sesuatu yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.

3:162 Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahanam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

3:163 (Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.

3:164 Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

 

C. TAFSIR AYAT

Al-Mukhtashar Fit Tafsir:

  1. Karena rahmat yang besar dari Allah, maka akhlakmu, wahai Nabi, menjadi lembut di depan sahabat-sahabatmu, dan seandainya kamu kasar dalam perkataan dan perbuatanmu serta hatimu keras, niscaya mereka akan menjauh darimu, maka maafkanlah keterbatasan mereka dalam menunaikan hakmu, mohonkanlah ampunan untuk mereka dalam urusan yang terjadi di antara mereka dengan Allah, dan ajaklah mereka untuk bermusyawah dalam urusan yang memerlukan musyawarah, lalu bila kamu telah bertekad melakukan satu urusan sesudah bermusyawarah, maka laksanakanlah urusan itu dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal kepadaNya, lalu Allah memberi mereka taufik dan mendukung mereka.
  2. Jika Allah mendukung kalian dengan bantuan dan pertolonganNya, maka tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkan kalian, sekalipun seluruh penduduk bumi bersatu melawan kalian, sebaliknya jika Allah tidak menolong kalian dan menyandarkan kalian kepada diri kalian, maka tidak ada seorang pun yang bisa menolong kalian sesudahNya, karena kemenangan hanya di TanganNya semata, dan hendaknya orang-orang Mukmin hanya bertawakal kepada Allah saja, bukan kepada selainNya.
  3. Tidak patut bagi seorang nabi dari nabi-nabi Allah untuk berkhianat dengan mengambil sebagian dari harta rampasan perang selain apa yang Allah khususkan baginya. Barangsiapa berkhianat dari kalian dengan mengambil sebagian dari harta rampasan perang, maka dia akan dihukum dengan dipermalukan pada Hari Kiamat, di mana dia datang dengan membawa apa yang digelapkannya di depan manusia, kemudian setiap jiwa diberi balasan atas apa yang dilakukannya secara sempurna tanpa dikurangi, dan mereka tidak dizhalimi dengan ditambah keburukan-keburukan mereka atau dikurangi kebaikan-kebaikan mereka.
  4. Tidak sama di sisi Allah antara siapa yang mengikuti sesuatu yang dengannya dia mendapatkan ridha Allah berupa iman dan amal shalih dengan siapa yang kafir kepada Allah dan beramal buruk, lalu dia pulang dengan memikul murka besar dari Allah, dan tempatnya adalah Neraka Jahanam, dan ia adalah seburuk-buruk tempat kembali dan tempat tinggal.
  5. Mereka berbeda-beda dalam tingkatan derajat dan kedudukan mereka di akhirat. Orang-orang yang mengikuti ridha Allah tinggal di dalam surga menurut derajat-derajat mereka di sana, sedangkan orang-orang yang mengikuti apa yang membuat Allah murka menempati tempat-tempat mereka di dalam neraka menurut kerendahan mereka di dalamnya. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka perbuat, tidak ada sesuatu pun yang samar bagiNya, dan Dia akan membalas setiap orang sesuai dengan amal perbuatannya.
  6. Sungguh Allah telah memberi orang-orang Mukmin nikmat dan berbuat baik kepada mereka manakala Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari jenis mereka, yang membacakan al-Qur’an kepada mereka, menyucikan mereka dari syirik dan akhlak-akhlak tercela, dan mengajari mereka al-Qur’an dan as-Sunnah, dan sebelum diutusnya Rasul tersebut, mereka berada di dalam kesesatan yang nyata dari hidayah dan jalan lurus.

Faidah dari ayat-ayat di atas:

  1. Kemenangan hakiki adalah dari Allah Ta’ala, Dia-lah Yang Mahakuat yang tidak dapat dilawan dan Mahaperkasa yang tidak dapat dikalahkan.
  2. Tidak sama di dunia antara keadaan orang yang mengikuti hidayah Allah dan mengamalkannya dengan keadaan siapa yang berpaling dan mendustakannya, sebagaimana kedudukan mereka di akhirat juga tidak sama.
  3. Di antara karunia dan nikmat Allah kepada orang-orang Mukmin adalah bahwa Dia mengutus di tengah mereka seorang rasul dari jenis mereka yang mereka kenal dan mereka merasa tenteram dengannya, mudah bagi mereka untuk belajar darinya dan meneladaninya.

Tafsir As-Sa’di:

 (159) Maksudnya, disebabkan rahmat Allah kepadamu dan kepada para sahabatmu, maka Allah telah memberikan karuniaNya atasmu agar engkau berlaku lemah lembut dan bersikap sopan santun kepada mereka, mengasihi mereka, berakhlak baik pada mereka, hingga mereka berkumpul di sekelilingmu, mencintaimu, dan menaati perintahmu.

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا “Sekiranya kamu bersikap keras,” maksudnya, berakhlak buruk, غَلِيظَ الْقَلْبِ “lagi berhati keras,” maksudnya, berhati kasar, لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ “tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,” karena sikap seperti ini membuat mereka lari dan benci kepada orang yang memiliki akhlak yang jelek. Akhlak yang baik merupakan ajaran pokok dalam agama yang akan menarik manusia kepada agama Allah dan membuat mereka senang kepadanya, di samping apa yang didapatkan oleh pelakunya berupa pujian dan pahala yang khusus. Dan sebaliknya, akhlak yang buruk merupakan masalah paling pokok dalam agama yang akan menjauhkan manusia dari agama dan membuat mereka benci kepadanya di samping apa yang diperoleh oleh pelakunya berupa celaan dan hukuman yang setimpal.

Rasul yang ma’shum ini telah Allah firmankan kepadanya seperti itu, lalu bagaimanakah dengan selainnya? Bukankah menjadi sesuatu yang paling wajib dan paling penting adalah mencontoh akhlak-akhlak beliau yang mulia, dan bermuamalah dengan manusia sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermuamalah dengan mereka, dengan cara lemah lembut, akhlak yang baik dan penyatuan hati, sebagai suatu sikap taat kepada perintah Allah dan daya tarik bagi hamba-hamba Allah kepada agama Allah?

Kemudian Allah memerintahkan NabiNya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memaafkan mereka dari kelalaian yang terjadi pada mereka terhadap hak-hak beliau dan agar beliau memohonkan ampunan untuk mereka atas kelalaian mereka terhadap hak-hak Allah, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatukan antara pemberian maaf dan berbuat baik.

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu,” yaitu perkara-perkara yang membutuhkan musyawarah, tukar pikiran dan pendapat. Karena di dalam musyawarah itu terdapat faidah yang banyak dalam maslahat agama maupun dunia yang tidak mungkin dibatasi, di antaranya:

(1) Bahwasanya musyawarah itu termasuk ibadah-ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.

(2) Bahwasanya di dalam bermusyawarah itu terdapat pemberian toleransi untuk mencurahkan ide-ide mereka dan menghilangkan ketidakenakan yang ada dalam hati ketika terjadi berbagai peristiwa. Orang yang memiliki kekuasaan atas orang lain apabila mengumpulkan para cendikiawan dan tokoh masyarakat, lalu mengajak mereka bermusyawarah tentang suatu peristiwa, niscaya hati mereka akan tenang dan mereka akan mencintainya dan kemudian mereka mengetahui bahwa dia tidak berbuat sewenang-wenang kepada mereka, akan tetapi dia memandang kepada kemaslahatan umum bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, mereka semua mengerahkan segala usaha dan kemampuan mereka dalam rangka ketaatan kepadanya, karena mereka mengetahui bahwa usahanya itu demi kemaslahatan umum. Berbeda dengan orang yang tidak mengadakan musyawarah, mereka hampir tidak menyukainya dengan kecintaan yang jujur dan tidak pula mereka akan menaatinya, dan kalaupun mereka menaatinya, maka mereka akan melakukan dengan ketaatan yang tidak sempurna.

(3) Dalam bermusyawarah terdapat pencerahan pikiran, disebabkan pengaktifan akal pada obyek peruntukannya hingga menjadi suatu nilai tambah bagi akal.

(4) Apa yang dihasilkan oleh musyawarah adalah dari pikiran yang matang, karena seorang yang bermusyawarah hampir-hampir tidak berbuat salah dalam pelaksanaannya, dan apabila terjadi kesalahan atau tidak sempurna sebagaimana yang diinginkan, maka ia tidak akan dicela.

Apabila Allah berfirman kepada RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam –sementara beliau adalah manusia yang paling sempurna akalnya, paling dalam ilmunya dan paling utama pikirannya–, وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu,” maka bagaimana pula dengan selain beliau?

Kemudian Allah Ta’ala berfirman, فَإِذَا عَزَمْتَ “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,” yaitu atas suatu perkara setelah bermusyawarah padanya, apabila dibutuhkan, فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ “maka bertawakallah kepada Allah,” maksudnya, bersandarlah kepada upaya Allah dan kekuatanNya, dan berlepas dirilah dari kemampuan dan kekuatan dirimu.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya“, yakni yang kembali kepadaNya.

(160) Maksudnya, apabila Allah membantu kalian dengan pembelaan dan pertolonganNya, فَلَا غَالِبَ لَكُمْ “maka tidak ada orang yang dapat mengalahkanmu“, walaupun orang yang berada di setiap penjuru berkumpul untuk mengalahkan kalian dengan segala sesuatu yang mereka miliki berupa jumlah pasukan dan perlengkapan, karena tidaklah ada yang dapat mengalahkanNya. Allah telah menguasai hamba-hambaNya dan telah mengendalikan hidup mereka, dan tidaklah ada seekor hewan melata pun yang bergerak melainkan pasti dengan izinNya dan tidak pula diam melainkan pasti dengan izinNya.

وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ “Jika Allah membiarkanmu (tidak memberi pertolongan)“, (maksudnya) membuat kalian bersandar pada diri kalian sendiri, فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ “maka siapakah gerangan yang dapat menolongmu sesudah itu?” Maka pastilah kalian akan terlantar walaupun seluruh makhluk menolong kalian. Dalam perkara itulah datangnya perintah untuk memohon pertolongan kepada Allah, bersandar kepadaNya dan berlepas diri dari daya dan kekuatan sendiri. Karena itu Allah berfirman, وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ “Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal.” Mendahulukan objek (maf’ul bih) itu memberikan peringatan (akan makna) pembatasan (al-hashr), maksudnya, kepada Allah saja kalian bertawakal dan tidak kepada selainNya, karena telah diketahui bahwa hanya Dia-lah satu-satunya Pembela, maka bersandar kepadaNya adalah sebuah pengesaan yang menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Sedangkan bersandar kepada selainNya adalah sebuah kesyirikan yang tidak berguna bagi pelakunya bahkan akan memudaratkannya. Ayat ini mengandung perintah untuk bertawakal kepada Allah semata, dan bahwasanya sebesar kadar keimanan seorang hamba, maka sebesar itu pulalah kadar tawakalnya.

(161) Al-Ghulul (berkhianat) adalah menyembunyikan harta ghanimah dan berkhianat pada setiap harta yang dipegang oleh seseorang, ghulul ini adalah haram menurut ijma’, bahkan ia termasuk di antara dosa besar, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia tersebut dan ayat-ayat lainnya dari nash-nash yang ada. Allah Ta’ala mengabarkan bahwasanya tidaklah patut dan tidak mungkin seorang nabi itu melakukan khianat, karena berkhianat itu -sebagaimana yang telah Anda ketahui- termasuk dosa-dosa yang besar dan sejahat-jahatnya aib.

Sungguh Allah Ta’ala telah memelihara para nabiNya dari segala hal yang mengotori dan menjatuhkan mereka, dan Dia menjadikan mereka sebagai orang-orang terbaik akhlaknya di seluruh alam dan orang-orang yang paling bersih jiwanya. Allah membersihkan, membaikkan, dan menyucikan mereka dari segala aib dan kekurangan, Dia menjadikan mereka sebagai tempat risalahNya dan kandungan hikmahNya,

اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ

Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia memberikan tugas kerasulan.” (Al-An’am: 124).

Seorang hamba itu cukup hanya dengan mengetahui salah seorang dari mereka (para nabi), niscaya dia akan memastikan keselamatan mereka dari setiap hal yang membuat mereka tercela, dan tidaklah dibutuhkan dalil bantahan atas celaan yang dikatakan tentang mereka dari musuh-musuh mereka. Karena pengetahuannya tentang kenabian mereka menuntut keharusan adanya penolakan akan hal itu. Oleh karena itu, Allah merangkai ayat ini dengan konteks yang dapat menghalangi adanya perbuatan khianat dari mereka. Maka Allah berfirman, وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat,” maksudnya, hal itu adalah terhalang dan mustahil terjadi dari orang-orang yang telah dipilih Allah untuk menerima kenabian. Kemudian Allah menyebutkan ancaman atas orang yang berbuat khianat dalam FirmanNya, وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Barangsiapa berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada Hari Kiamat dia akan datang membawa sesuatu yang dikhianatkannya itu.” Maksudnya, pembawa ghanimah itu membawanya dengan cara memikulnya di atas punggungnya, baik harta itu berupa hewan maupun barang atau selainnya, di mana ia akan disiksa dengannya pada Hari Kiamat.

ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ  “Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal.” Seorang yang berkhianat atau orang lain, masing-masing akan diberikan ganjarannya atas dosanya, seukuran dengan apa yang dikerjakannya, وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ “sedang mereka tidak dianiaya,” maksudnya, tidak ditambah kejelekan mereka dan tidak pula berkurang sedikit pun kebaikan mereka.

Simaklah dengan baik perlindungan (proteksi) yang terkandung dalam ayat yang mulia tersebut, ketika Allah menyebutkan dalam ayat itu hukuman bagi orang yang berkhianat, dan bahwa dia akan datang pada Hari Kiamat dengan membawa harta yang dikhianatinya itu, dan ketika Allah akan menyebutkan tentang balasannya. Tindakan Allah membatasinya pada konteks pelaku ghulul mengisyaratkan pemahaman bahwa selain dari orang tersebut, dari berbagai pelaku kejahatan lainnya, terkadang tidak dipenuhi balasannya, maka Allah menyebutkannya dengan lafazh yang umum yang meliputi semua orang yang berkhianat dan selainnya.

(162163) Allah Ta’ala memberitahukan bahwasanya tidaklah sama orang yang tujuannya adalah keridhaan Rabbnya dan berbuat dengan amalan yang membuat Rabbnya ridha, dengan orang yang tidak seperti itu dari kalangan orang-orang yang senang berbuat kemaksiatan dan hal-hal yang membuat Tuhannya murka. Kedua orang seperti itu tidaklah sama hukumnya di hadapan Allah dan hikmahNya serta pada fitrah hamba-hamba Allah.

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لَا يَسْتَوُونَ

Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama.” (As-Sajdah: 18).

Karena itu Allah berfirman di sini, هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ “(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah,” maksudnya, setiap mereka itu berbeda-beda dalam derajat dan kedudukan mereka, sesuai dengan tingkatan mereka dalam amal perbuatan mereka.

Orang-orang yang mencari keridhaan Allah berusaha memperoleh derajat yang tinggi, kedudukan, dan istana-istana, maka Allah memberikan kepada mereka karuniaNya dan kemuliaanNya menurut kadar perbuatan mereka. Sedangkan orang-orang yang mengikuti hal-hal yang membuat Allah murka berusaha untuk turun ke kerak paling bawah dari neraka, maka setiap orang mendapatkan balasan menurut amal yang diperbuatnya. Dan Allah Maha Melihat amal perbuatan mereka, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di hadapanNya, bahkan Allah telah mengetahuinya dan telah menetapkannya di Lauhul Mahfuzh, dan Dia menugaskan kepada para malaikatNya yang terpercaya lagi mulia untuk menulisnya, menyimpannya, serta memeliharanya.

(164) Karunia ini yang telah Allah berikan kepada hamba-hambaNya, merupakan karunia yang paling besar bahkan karunia yang paling mendasar, yaitu anugerah dengan adanya Rasul yang mulia tersebut kepada mereka, yang dengannya Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan, dan memelihara mereka dengannya dari kehancuran, maka Allah berfirman, لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ  “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus pada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,” yang mereka ketahui garis keturunannya, keadaannya dan bahasanya dari kaum mereka dan suku mereka sebagai seorang pemberi nasihat bagi mereka, bersikap kasih sayang terhadap mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, dan mengajarkan kepada mereka lafazh dan maknanya, وَيُزَكِّيهِمْ  “dan membersihkan (jiwa) mereka” dari syirik dan maksiat, hal-hal yang hina serta seluruh akhlak-akhlak yang buruk, وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ “dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab,” baik jenis al-Kitab (secara umum) yang maksudnya adalah al-Qur’an, sehingga Firman Allah, يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ  “Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,” maksudnya adalah, ciptaan-ciptaan Allah (al-Ayat al-Kauniyah), atau yang dimaksudkan dengan al-Kitab di sini adalah penulisan, sehingga maknanya adalah bahwa Allah telah memberikan karuniaNya atas mereka dengan mengajarkan al-Kitab dan penulisan, di mana dengan tulisan itu ilmu dapat dipahami dan terjaga. وَالْحِكْمَةَ “Dan al-Hikmah,” yaitu, as-Sunnah yang merupakan pendamping al-Qur’an. Atau (juga bermakna) meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengetahui rahasia-rahasia syariat. Maka Allah menyatukan bagi mereka antara pengajaran hukum-hukum dan segala hal yang dengannya hukum-hukum tersebut direalisasikan dan segala hal yang menjadi perangkat didapatkannya faidah dan buahnya. Hingga mereka melampaui seluruh makhluk yang ada dengan perkara-perkara yang agung itu.

Dan mereka menjadi para ulama Rabbani, وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ  “sekalipun sebelum (kedatangan Nabi) itu“, maksudnya, sebelum diutusnya Rasul tersebut, لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ “mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Mereka tidak mengetahui jalan yang menghantarkan mereka kepada Rabb mereka, tidak juga tentang perkara yang membersihkan jiwa mereka dan menyucikannya. Akan tetapi apa yang dihiasi oleh kebodohan mereka, niscaya mereka melakukannya walaupun perbuatan itu bertentangan dengan akal sehat seluruh alam.

REFERENSI:

  1. Tafsir Al-Qur’an (1) Surat: Al-Fatihah – Ali Imran, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Darul Haq, Jakarta, Cet. VII, Sya’ban 1436 H / Juni 2015 M.
  2. Tafsir Al-Qur’an Terjemah al-Mukhtashar fi at-Tafsir, Para Pakar Tafsir, Darul Haq, Jakarta.