Kedua: Tauhid Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan berbagai bentuk ibadah. Uluhiyah berarti ibadah. Kata اَلْاِلَهُ adalah اَلْمَأْلُوْهُ (yang disembah), karena itu tauhid ini disebut juga Tauhid Ibadah.

Ibadah dalam bahasa adalah ketundukan. Dikatakan (dalam Bahasa Arab), طَرِيْقٌ مُعَبَّدٌ yang artinya jalan itu mudah, karena sudah ditundukkan (diinjak-injak) oleh kaki-kaki manusia.

Adapun makna ibadah secara Syar’i, para ulama berbeda ungkapan secara redaksional, akan tetapi sepakat secara makna. Di antara mereka ada yang berkata, “Ibadah adalah apa yang diperintahkan secara syar’i tanpa tuntutan kebiasaan dan konsekuensi akal.”

Sebagian dari mereka berkata, “Ibadah adalah kesempurnaan cinta disertai kesempurnaan ketundukan.”(1)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mendefinisikannya dengan berkata, “Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua yang dicintai dan diridhai Allah, berupa perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin.” (Lihat Majmu’ al-Fatawa, 10/149).

Definisi yang dikemukakan Syaikhul Islam ini lebih cermat dan lebih menyeluruh. Seluruh ajaran agama Islam masuk ke dalam ibadah. Sedangkan pihak yang mendefinisikan ibadah dengan “cinta disertai ketundukan”, adalah karena cinta dan ketundukan yang sempurna menuntut ketaatan dan ketundukan kepada yang dicintai. Maka hamba adalah orang yang ditundukkan oleh cinta dan kepasrahan kepada Allah yang dicintainya. Karena itu, kadar ketaatan hamba kepada Allah yang dicintainya, kembali kepada kadar cinta dan kepasrahannya. Cinta hamba dan ketundukannya kepada Tuhannya menuntut beribadah kepadaNya semata, tidak ada sekutu bagiNya.

Ibadah yang diperintahkan mengandung makna tunduk dan makna cinta. Ibadah mencakup tiga pilar, yaitu cinta, berharap dan takut. Ketiganya harus terwujud secara bersamaan. Barangsiapa hanya bergantung kepada salah satu darinya, maka dia bukan penyembah Allah secara sempurna. Ibadah kepada Allah dengan cinta saja adalah cara orang-orang sufi. Ibadah hanya dengan harapan adalah ibadah Murji`ah. Ibadah dengan rasa takut saja adalah ibadah Khawarij.

Cinta yang kosong dari (tidak disertai) ketundukan, bukan merupakan ibadah. Barangsiapa mencintai seseorang namun tidak tunduk kepadanya, maka dia bukan penyembah, seperti seseorang yang mencintai anaknya dan kawannya, sebagaimana ketundukan saja yang tidak disertai cinta, juga bukan merupakan ibadah, seperti orang yang tunduk kepada seorang penguasa atau seorang yang zhalim demi menghindari keburukannya. Karena itu, satu saja dari keduanya belum cukup dalam beribadah kepada Allah, sebaliknya wajib atas hamba mencintai Allah melebihi segala sesuatu, mengagungkan Allah lebih dari yang lain.

Ibadah adalah tujuan yang Allah cintai dan ridhai, dan karenanyalah Allah menciptakan makhluk, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu.” (Adz-Dzariyat: 56).

Dengan misi inilah Allah mengutus semua قasul, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut’.” (An-Nahl: 36).

Ibadah memiliki banyak bentuk, seperti shalat, zakat, puasa, haji, berkata jujur, menunaikan amanat, berbuat baik kepada kedua orangtua, silaturahim, memenuhi janji, amar ma’ruf, nahi mungkar, jihad melawan orang-orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada orang-orang yang hidup, anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil, budak, hewan, berdoa, berdzikir, membaca al-Qur`an… semua itu merupakan ibadah.

Demikian juga cinta kepada Allah, cinta kepada Rasulullah, takut kepada Allah, kembali kepada Allah… semuanya adalah ibadah. Begitu pula menyembelih, memenuhi nadzar, memohon perlindungan, memohon pertolongan dan memohon pertolongan dari kesusahan.

Karena itu, wajib memperuntukkan ibadah dengan segala bentuknya hanya kepada Allah Semata, tidak ada sekutu bagiNya. Barangsiapa memperuntukkan sebagian darinya kepada selain Allah, seperti orang yang berdoa kepada selain Allah, atau menyembelih, atau bernadzar untuk selain Allah, atau meminta pertolongan atau bantuan dari kesulitan kepada orang mati atau orang yang tidak hadir atau orang hidup tetapi dalam urusan yang dia tidak sanggup melakukannya, karena yang sanggup hanya Allah, maka dia telah berbuat syirik akbar, melakukan dosa yang tidak diampuni, kecuali bila dia bertaubat, baik dia memperuntukkan ibadah tersebut kepada berhala, atau pohon, atau batu, atau nabi, atau wali, yang hidup ataupun yang mati, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang di sekitar bangunan yang didirikan di atas makam seseorang.

Sesungguhnya Allah tidak ridha bila Dia dipersekutukan dengan siapa pun dalam beribadah, tidak malaikat yang didekatkan (kepadaNya), tidak pula nabi yang diutus, apalagi wali atau bukan wali. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa dipersekutukanNya Dia (dengan sesuatu).” (An-Nisa’: 116).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Maka janganlah kalian menyembah seorang pun (di dalamnya) selain Allah.” (Al-Jin: 18).

Dan Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan sesuatu pun denganNya.” (An-Nisa`: 36).

Sangat memprihatinkan, di zaman ini, di sebagian negeri kaum Muslimin, kuburan telah diangkat sebagai berhala yang disembah selain Allah oleh orang-orang yang mengaku kaum Muslimin. Sebagian dari mereka bahkan berdoa kepada selain Allah di mana pun, sekalipun bukan di atas kubur, dia berkata, “Wahai Rasulullah.” Saat dia mengalami sesuatu yang aneh. Atau dia berkata, “Wahai Rasulullah, pertolonganmu.” Atau, “Wahai fulan, tolonglah kami.” Bila Anda melarangnya, maka dia berkata, Kami tahu mereka memang tidak memiliki kuasa apa pun, tetapi mereka adalah orang-orang shalih, mereka memiliki kedudukan di sisi Allah, kami berdoa dengan bertawasul dengan kedudukan dan syafa’at mereka. Mereka lupa atau pura-pura lupa, padahal mereka membaca al-Qur’an, bahwa inilah ucapan kaum musyrikin yang Allah sebutkan dalam FirmanNya Ta’ala,

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan mudarat kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kami di hadapan Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kalian akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketahuiNya apa yang di langit dan tidak (pula) yang di bumi?’ Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan itu.” (Yunus: 18).

Dan juga dalam FirmanNya,

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat kafir.” (Az-Zumar: 3).

Allah Ta’ala menamakan mereka orang-orang kafir pendusta, padahal mereka meyakini bahwa wali-wali tersebut hanyalah perantara antara mereka dengan Allah dalam menunaikan hajat-hajat mereka. Inilah yang diucapkan oleh para pemuja kubur di zaman ini,

تَشَابَهَتْ قُلُوبُهُمْ

“Hati mereka serupa.” (Al-Baqarah: 118).

Para ulama Islam wajib mengingkari syirik yang buruk ini dan memperingatkan masyarakat darinya. Para pemimpin kaum Muslimin wajib membersihkan berhala-berhala tersebut dan menyucikan masjid-masjid darinya.

Banyak ulama dakwah telah mengingkari syirik ini, melarangnya, memperingatkan dan menjelaskan bahayanya. Di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, murid beliau Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, Syaikh Muhammad bin Ali asy-Syaukani… dan lain-lainnya rahimahumullah, dulu dan sekarang, dan kitab-kitab karya tulis mereka tersebar luas di tengah-tengah kita.

Tentang hal ini Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Berapa banyak kerusakan yang lahir dari pendirian bangunan yang indah di atas kuburan, kerusakan-kerusakan yang membuat Islam menangis, di mana orang-orang awam yang bodoh menyakininya seperti keyakinan orang-orang kafir terhadap berhala, dan itu kemudian menjadi semakin besar. Orang-orang bodoh itu meyakini bahwa penghuni-penghuni kubur mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, maka mereka menjadikannya tujuan dalam rangka mewujudkan hajat-hajat mereka, sandaran demi tercapainya harapan, mereka meminta kepada penghuninya apa yang hanya layak diminta oleh hamba kepada Tuhannya, mereka rela melakukan perjalanan kepadanya, mengusapnya, beristighatsah kepadanya. Secara umum, mereka tidak membiarkan sesuatu yang dulu dilakukan oleh orang-orang jahiliyah terhadap berhala mereka kecuali mereka melakukannya. Maka inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Sekalipun kemungkaran buruk dan kekafiran berat ini mewabah, tetapi yang memprihatinkan adalah tidak adanya orang-orang yang marah karena Allah dan cemburu demi agama yang mulia ini, tidak ulama, tidak penuntut ilmu, tidak gubernur, tidak menteri dan tidak pula raja.

Kami telah mendengar kabar-kabar yang tidak diragukan, bahwa banyak orang dari kalangan para penyembah kubur atau bahkan kebanyakan dari mereka, bila berseteru dalam satu urusan, lalu seterunya menuntutnya bersumpah dengan nama Allah, maka dia berani bersumpah dengan nama Allah walaupun dusta, tetapi bila dikatakan kepadanya, “Bersumpahlah dengan nama syaikhmu atau wali fulan yang kamu yakini.” Maka dia mundur, terbata-bata dan menolak untuk bersumpah, mengakui kebenaran. Ini adalah bukti paling nyata bahwa syirik mereka mengalahkan syirik orang-orang yang berkata, “Allah adalah salah satu dari dua unsur atau yang ketiga dari tiga unsur.”

Wahai ulama Islam, wahai raja-raja kaum Muslimin. Adakah kerendahan bagi Islam yang lebih rendah dari kekafiran? Bencana apa yang lebih berbahaya terhadap agama daripada penyembahan kepada selain Allah? Musibah apa yang lebih berat atas kaum Muslimin daripada musibah ini? Kemungkaran apa yang wajib diingkari bila mengingkari syirik yang buruk lagi jelas ini bukan merupakan kewajiban?” (Nail al-Authar, 4/131).

لَقَدْ أَسْمَعْتَ لَوْ نَادَيْتَ حَيًّا   #   وَلَكِنْ لَا حَيَاةَ لِمَنْ تُنَادِي

وَلَوْ نَارًا نَفَخْتَ بِهَا أَضَاءَتْ   #   وَلَكِنْ أَنْتَ تَنْفُخُ فِيْ رَمَادِ

Sungguh engkau telah memperdengarkan

Kalau yang engkau seru itu adalah hidup

Tetapi yang engkau seru itu tidak memiliki hidup

Kalau api yang engkau tiup

Niscaya ia akan dapat menerangi

Tetapi engkau hanya meniup abu gosong

Demikian perkataan asy-Syaukani. Dan musibah telah menjadi lebih berat sesudahnya, lebih dari apa yang beliau uraikan ini. La haula wa la quwwata illa billah al-Aliy al-Azhim.

 

Catatan Kaki:

(1). Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَعِبَادَةُ الرَّحْمٰنِ غَايَةُ حُبِّهِ   #  مَعَ ذُلِّ عَابِـدِهِ هُـمَا قُطْـبَانِ

وَعَلَيْهِمَا فَلَكُ الْعِبَادَةِ دَائِرٌ  #   مَا دَارَ حَتَّى قَامَتِ الْقُطْبَانِ

     Ibadah kepada ar-Rahman adalah puncak cinta kepadaNya

     Disertai ketundukan penyembahNya, keduanya adalah dua poros

     Di atas keduanya roda ibadah berputar

     Ia tidak berputar sehingga kedua poros berputar.

 

Dari al-Kafiyah asy-Syafiyah dengan syarah Syaikh Ibnu Isa, 1/352.

 

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.