Sesudah seorang Muslim mengetahui kebenaran, dia wajib mengetahui kebatilan yang menjadi lawannya agar bisa menjauhinya, sebagaimana yang dikatakan seorang penyair,

عَرَفْتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّرِّ  *    وَلَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ

Aku mengetahui keburukan bukan untuk keburukan

Akan tetapi untuk menghindarinya.

Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ أَقَعَ فِيْهِ‏

“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir terjatuh ke dalamnya.”             

Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,

يُوْشِكُ أَنْ تَنْقُضَ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً إِذَا نَشَأَ فِي الْإِسْلَامِ مَنْ لَا يَعْرِفُ الْجَاهِلِيَّةَ

“Tali simpul Islam bisa terurai satu simpul demi satu simpul bila tumbuh dalam Islam orang-orang yang tidak mengenal jahiliyah.”

Dan sebelum itu, Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam telah berkata,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ . رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ

“Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala-berhala. Wahai Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak dari manusia.” (Ibrahim: 35-36).

Ini termasuk di antara dalil-dalil yang mewajibkan seorang Muslim mengetahui syirik, takut kepadanya dan menghindarinya.

Syirik adalah memperuntukkan sebagian dari ibadah kepada selain Allah, seperti doa, menyembelih, nadzar, istighatsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya Allah saja yang kuasa atasnya.

Tauhid adalah mengesakan Allah dengan ibadah. Tauhid adalah sesuatu yang telah ada secara asli pada manusia, sedangkan syirik adalah sesuatu yang insidentil (terjadi kemudian). Allah Ta’ala berfirman,

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ

“Manusia itu pada mulanya adalah umat yang satu, (kemudian mereka berselisih, di mana sebagian dari mereka berbuat syirik), lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkanNya bersama mereka Kitab yang membawa kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Al-Baqarah: 213).

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

‏كَانَ بَيْنَ آدَمَ وَنُوْحٍ عَشَرَةَ قُرُوْنٍ؛ كُلُّهُمْ عَىَة الْإِسْلَامِ‏

“Antara Adam dan Nuh adalah 1000 tahun, semuanya di atas Islam.”  

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Inilah pendapat yang shahih tentang makna ayat ini.”  Dan pendapat ini juga dishahihkan oleh Imam Ibnu Katsir.

Syirik pertama yang terjadi di bumi terjadi pada kaum Nuh saat mereka bersikap berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih.

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr’.” (Nuh: 23).

Al-Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahihnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Semua ini adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam, dan ketika mereka telah wafat (satu demi satu), setan membisikkan kepada kaum mereka agar menegakkan arca-arca di majelis-majelis mereka dan menamainya dengan nama-nama mereka. Mereka pun melakukannya dan belum disembah, hingga setelah mereka meninggal dan ilmu dilupakan, maka arca-arca itu pun disembah.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Banyak dari as-Salaf yang berkata, ‘Mereka adalah orang-orang shalih di kalangan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam, manakala mereka mati, orang-orang beri’tikaf di atas kubur mereka, kemudian mereka membuat arca-arca, manakala zaman berganti, maka mereka menyembahnya’.”

Dari atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh al-Bukhari ini, tentang sikap kaum Nuh yang berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih di antara mereka, membuat arca-arca yang mereka pasang di majelis-majelis mereka, menunjukkan kepada kita bahaya arca atau gambar makhluk hidup, bahaya memasangnya di dinding, bahaya memasang patung-patung di jalan-jalan dan lapangan-lapangan, dan bahwa hal itu bisa menyeret kepada perbuatan syirik, pengagungan kepada arca dan patung meningkat, lalu menyeret kepada penyembahannya sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam tersebut.

Dari sini, Islam mengharamkan gambar makhluk hidup dan melaknat pembuatnya, mengancamnya dengan ancaman paling berat, bahwa mereka adalah orang-orang yang paling berat siksanya di Hari Kiamat. Hal ini dalam rangka menutup jalan (sarana) kepada syirik dan menjauhi sikap menyaingi Allah dalam menciptakan.

Kisah di atas menunjukkan kepada kita kesungguhan setan untuk menyesatkan anak cucu Nabi Adam ‘alaihissalam dan makarnya kepada mereka. Setan datang kepada mereka dengan menggugah emosi mereka dan alasan ingin berbuat baik, manakala setan melihat kegandrungan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam kepada orang-orang shalih dan kecintaan mereka kepada orang-orang shalih tersebut, maka dia mengajak mereka mencintainya secara berlebih-lebihan, memerintahkan mereka agar memasang arca atau gambar sebagai kenangan tentang mereka, tujuannya adalah menyeret mereka selangkah demi selangkah dari kebenaran kepada kesesatan. Setan tidak hanya memandang kepada orang-orang yang hadir, akan tetapi dia melongok kepada generasi-generasi sesudahnya yang minim ilmu dan dikuasai kebodohan, maka dia menghiasi penyembahan kepada arca-arca tersebut, setan berhasil menjerumuskan mereka ke dalam syirik besar, hingga mereka pun menentang Nuh ‘alaihissalam, Nabi mereka, dengan berkata,

لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ

“Jangan sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian.” (Nuh: 23).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setan mempermainkan orang-orang musyrik sehingga mereka menyembah berhala, dengan berbagai macam sebab. Setan mempermainkan setiap kaum sesuai dengan kadar akal mereka. Suatu kaum, setan ajak untuk menyembah berhala melalui sikap mengagungkan orang-orang mati, yang mana kaum tersebut membuat arca orang-orang shalih yang sudah meninggal dunia, sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam.

Sebab ini merupakan sebab paling dominan pada kaum musyrikin yang awam. Adapun kaum musyrikin khusus, maka mereka membuat berhala, menurut anggapan yang terpelajar, berupa arca bintang-bintang yang punya pengaruh terhadap alam menurut mereka, lalu mereka membuatkan bangunan untuknya, menunjuk para pelayan dan juru kunci, lalu mereka melakukan perjalanan kepadanya dan menyembelih kurban padanya. Perbuatan seperti ini sudah ada di dunia ini, dulu dan sekarang…

Asal akidah ini adalah kaum musyrikin Shabi`in, mereka adalah kaum Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, yang mana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendebat mereka dan menetapkan kebatilan syirik mereka, menghancurkan hujjah mereka dengan ilmunya, menghancurkan tuhan-tuhan mereka dengan tangan beliau, maka mereka pun menangkap Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan membakarnya…

Kelompok lain membuat berhala untuk rembulan, mereka memandangnya berhak diagungkan dan disembah, pengaturan alam bawah ada di tangannya. Kelompok lain menyembah api, mereka adalah kaum Majusi. Kelompok lain menyembah air. Kelompok lain menyembah hewan-hewan, kuda, sapi, manusia yang hidup dan yang mati. Kelompok lain menyembah jin. Kelompok lain menyembah pohon. Dan kelompok lain menyembah malaikat.”

Dengan penjelasan ini dapat diketahui makna Firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ

“Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka seakan-akan dia jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (Al-Haj: 31).

Juga Firman Allah Ta’ala,

أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ . مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa? Apa yang kalian sembah selain Dia, hanyalah nama-nama yang kalian buat-buat baik oleh kalian sendiri maupun oleh nenek moyang kalian. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang hal (nama-nama) itu. Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 39-40).

Firman Allah Ta’ala,

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا

“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (hamba sahaya) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang hamba sahaya yang menjadi milik penuh dari seorang (saja). Adakah kedua hamba sahaya itu sama keadaannya?” (Az-Zumar: 29).

Manakala kaum musyrikin menolak menyembah kepada Allah Ta’ala Semata tidak ada sekutu bagiNya, yang untuk tujuan inilah mereka diciptakan, dan ia merupakan kebahagiaan mereka, maka mereka pun dikuasai oleh setan, hawa nafsu dan syahwat menceraiberaikan mereka. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

هَرَبُوْا مِنَ الرِّقِّ الَّذِيْ خُلِقَ لَهُ  *  فَبُلُوْا بِرِقِّ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ

Mereka berlari dari penghambaan yang untuk itu mereka diciptakan

Maka mereka dilimpahkan malapetaka dengan penghambaan kepada nafsu dan setan

Tidak ada ketenangan bagi hati, tidak ada kebaikan bagi alam semesta, kecuali dengan tauhid, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

أَمِ اتَّخَذُوا آلِهَةً مِنَ الْأَرْضِ هُمْ يُنْشِرُونَ . لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang yang mati)? Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki Arasy, dari apa yang mereka sifatkan.” (Al-Anbiya`: 21-22).

Dari sini, bila bumi sudah sepi dari tauhid, maka Hari Kiamat pun tiba, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

‏لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لَا يُقَالَ فِي الْأَرْضِ‏:‏ اَللّٰهُ اَللّٰهُ‏

“Hari Kiamat tidak akan terjadi sehingga di bumi tidak dikatakan lagi, ‘Allah, Allah’.” 

Para pemuja kubur di zaman ini bercerai berai dalam menyembah kubur seperti bercerai berainya kaum musyrikin zaman dulu dalam menyembah berhala-berhala mereka. Masing-masing dari pemuja kubur memiliki tempat pemujaan di atas kubur, di sana mereka mendekatkan diri kepada penghuninya dengan berbagai bentuk ibadah, setiap tarekat sufi memiliki syaikh yang diangkat oleh para muridnya sebagai tuhan selain Allah, syaikh tersebut mensyariatkan agama bagi mereka yang tidak diizinkan Allah.

Begitulah setan mempermainkan manusia. Tidak ada benteng dari makar dan kejahatannya kecuali dengan tauhid, berpegang teguh kepada kitab Allah Ta’ala dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.