Ath-Thiyarah secara bahasa berarti at-tasya’um yaitu beranggapan akan datangnya kesialan. At-Tasya’um dinamakan thiyarah (merasa sial) karena orang Arab Jahiliyah dahulu apabila salah seorang di antara mereka keluar untuk tujuan tertentu, maka mereka mencari seekor burung dan melepaskannya. Jika burung tersebut terbang ke arah kanan, maka mereka berharap kebaikan darinya dan melanjutkan perjalanannya. Mereka menamakan burung tersebut dengan as-Sanih. Adapun jika ia terbang ke arah kiri, maka dia merasa sial dengannya dan mengurungkan niat yang telah dia tekadkan sebelumnya. Mereka menamakan burung ini dengan al-Barih.

Islam kemudian datang dan membatalkan masalah ini. Ia melarang melakukannya dan sangat mencela pelakunya. Islam mengembalikan segala permasalahan kepada sunnatullah (ketentuan-ketentuan Allah subhaanahu wata’ala) yang pasti dan kepada kekuasaanNya yang mutlak.

Lawan dari tathayyur adalah tafa’ul yaitu merasa optimis dengan mendengar kalimat yang baik. Hal ini mencakup juga semua perkataan atau perbuatan yang menggembirakan. Perbedaannya dengan tathayyur, bahwasanya tafa’ul dipergunakan untuk hal-hal yang disukai, sementara tathayyur untuk sesuatu yang biasanya dibenci.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Adapun syariat mengkhususkan thiyarah dengan sesuatu yang jelek dan tafa’ul untuk sesuatu yang menggembirakan dengan syarat dia tidak bermaksud melakukan itu, sehingga menjadi thiyarah.” (Fathul Bari, 10/215).

Contoh tafa’ul yaitu seorang mendengar kalimat yang baik, nama yang bagus atau melihat sesuatu yang indah ketika sudah bertekad untuk melakukan sesuatu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa merasa optimis dan tidak pernah merasa sial. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga apabila keluar dari rumahnya, beliau senang untuk mendengar kalimat,

يَا رَاشِدُ يَا نَجِيْحُ .

“Wahai orang yang cerdas, wahai orang yang sukses.” (HR. at-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya).