VI. T A Q D I R

  • 1. Di antara rukun-rukun iman ialah beriman kepada taqdir Allah -baik dan buruknya-. Hal itu meliputi: Beriman kepada setiap nash tentang taqdir beserta urut-urutannya yaitu: (ILMU, PENULISAN, KEHENDAK, PENCIPTAAN).-(1)

    Iman bawasanya tidak ada yang bisa menolak QADLA’ (taqdir) Allah dan yang tidak ada yang bisa membantah hukum-Nya.

  • 2. Iradah (keinginan) dan perintah yang terdapat di dalam Al-Kitab As-Sunnah ada dua macam:

    • a). Iradah Kauniyah Qadariyah artinya: Kehendak dan perintah yang sifatnya KAUNI QADARI (Sunnatullah-pent.).-(2)

    • b). Iradah Syar’iyyah (keinginan yang bersifat syar’i) yakni yang dibarengi mahabbah (cinta) dan merupakan perintah syar’i.-(3)

    Makhluk mempunyai keinginan dan kehendak, namun kehendak dan keinginan mereka mengikut pada kehendak dan keinginan Al-Khaliq.

  • 3. Mendapatkan hidayah atau sesatnya seorang hamba, mutlak di tangan Allah. Maka di antara mereka ada yang ditunjuki oleh Allah atas karunia-Nya, dan di antara mereka ada yang berhak mendapat kesesatan berdasarkan keadilan-Nya.

  • 4. Hamba dengan seluruh pekerjaan mereka termasuk makhluk-makhluk Allah Ta’ala, Dzat yang tiada Pencipta selain Dia.

    Jadi Allah itu Yang mencipta perbuatan-perbuatan hamba, sedangkan para hamba melakukan perbuatan-perbuatan itu betul-betul HAKIKI.

  • 5. Menetapkan adanya hikmah dalam perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala dan menetapkan adanya “sebab” (bagi sesuatu kejadian-pent.) berdasarkan kehendak Allah.

  • 6. Ajal telah tertulis, rizqi telah terbagi dan kebahagiaan serta kesengsaraan juga telah tertulis bagi manusia sebelum mereka diciptakan.

  • 7. Berdalih dengan (alasan bahwa ini) TAQDIR hanyalah ada bagi suatu musibah atau penyakit. Adalah tidak diperbolehkan berdalih (beralasan bahwa ini) TAQDIR bagi suatu perbuatan cela atau perbuatan dosa, akan tetapi hal itu (justeru) wajib untuk di-TAUBATI, dan pelaku perbuatan itu adalah seorang yang tercela.

  • 8. Mengembalikan (suatu kejadian) hanya sampai kepada sebab, hukumnya SYIRIK dalam tauhid. Sedangkan berpaling sama-sekali dari “sebab” merupakan tindakan tercela di dalam syariat. Dan menolak adanya “sebab” berarti bertentangan dengan syara’ dan akal. Tawakal bukanlah berarti menolak untuk memperhatikan “sebab”.

Keterangan

  • (1). Berdasarkan riwayat yang shahih, lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan makhluk-Nya, dia sudah mengetahui taqdir yang harus ditetapkan bagi mereka. Sedangkan ketepan taqdir terjadi setelah diciptakannya Al-Arsy’. (Shahih Muslim 2: 300)

    Mengenai penulisan Taqdir, terjadi ketika pertama kali Allah menciptakan Al-Qalam (pena). Allah berfirman kepada al-Qalam: Tuliskan!. Al-Qalam menjawab: Wahai Rabb, Apa yang harus aku tulis? Allah menjawab: “Tuliskan taqdir segala sesuatu hingga hari kiamat”. (Abu Daud: 4700 dari Ubaidah bin As-Shamit radhiallahu ‘anhu), (Periksa Syarhut-Thawawiyah hal. 217-218)

    Dengan demikian jelaslah bahwa prosesnya: Ilmu Allah Dia mengetahui apa yang bakal ditetapkan bagi makhluk-Nya lima puluh tahun sebelum mereka diciptakan: kemudian penulisan, setelah itu Dia berkehendak untuk mencipatakan (Wallahu A’lamu bis-Shawab).

  • (2). Iradah kauniyah Qadariyah ialah keinginan Allah untuk memberikan ketetapan/taqdir-Nya. Yakni: apa yang diinginkan pasti terjadi, dan apa yang tidak diinginkan-Nya pasti tidak terjadi, misalnya, mati, hidayah, sesat dan seterusnya.

    Hal ini adalah seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 2: 253) yang artinya :“Akan tetapi Allah berbuat sesuai dengan kehendak-Nya”.. (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah hal. 59-60).

  • (3). Iradah Syari’ah ialah keinginan Allah agar manusia melalakukan yang Dia inginkan dan Dia kehendaki, misalnya: manusia dikehendaki untuk menurut perintah-Nya.

    Hal itu karena Allah sayang kepada mereka, Dia ingin memberikan ridla kepada hamba-Nya, tetapi syaratnya mereka harus mengikuti keinginan-Nya.

    Oleh karena itu Allah ingin menetapkan sesuatu yang mudah bagi mereka dan tidak mengendaki kesulitan bagi mereka.

    Firman Allah: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesulitan bagimu”. (Qs Al-Baqarah 2: 185)

    (Perhatikan pula syarhut-Thahawiyah hal. 59-60).