III. TAUHID AL IRADI

  • 1. Simak surat Al-Fatihah, surt Al-Ikhlas dll. Renungkan pula ayat (QS. Al-An’am 6: 162-163)

    “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadah berkurbanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, pengurus seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertam-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.

    Perhatikan Fathul Majid Syarhu Kitabut-Tauhid Bab Maja’a Fidz-dzabhi lighairillah, pada pembahasan QS. Al-An’am 6: 162-163.

    Simak pula “muqaddimah” Taisirul Azizil Hamid-Syarhu Kitabi At-tauhid –Syaikh Sulaiman ibni Abdilah Alis-Syaikh, mengenai bentuk-bentuk syirik Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma ‘Wa-Sifat.

  • 2. Simak Fathul Majid Syarhu Kitabit-Tauhid pada bab-bab:
    (Maja’a fidz-dzabbi lighairillah), (Minasy-syirki An-Nadzru lighairillah), (Minasy-Syirki Al-Isti’adzah bi-ghairillah au yad’u ghairahu), (Bab qaulillahi Ta’ala QS. Al-Baqarah 2: 165), (bab qaulillahi Ta’ala QS. An-Ankabut 29: 100, (bab qaulillahi Ta’ala QS. Al-Maidah 5: 23)

  • 3. Perhatikan Muhammad Bin Abd. Wahab tantang Hubb, Raja’ dan Khauf yang ditafsirkan dari tiga ayat Al-Fatihah, dan tiga masalah itu dikatakan sebagi rukun ibadah (Majmu’atut-tauhid hal. 19)

  • 4. Allah Ta’ala berfirman: “Dan Allahlah yang menetepkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya”. (QS. Ar-Ra’ad 13: 41)

    “Bukanlah hukum itu kecuali milik Allah” (QS. Al-An’am 6: 57)

    Kemudian perhatikan foot note no. (20), dan perhatikan pula nawaqidlul Islam (hal-hal yang membatalkan Islam), Muh. Ibni Abdil Wahab – Kitab: Majmu’atut Tauhid hal 27-28- Al-Maktabah As-Salafiyah.

  • 5. Allah Ta’ala berfiraman: (QS. Al-Maidah 5: 44, 45, 57) “Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir…dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang dhalim ….. maka mereka itulah orang-orang yang fasiq).

    Ibnu Abbas mengatakan: barangsiapa yang mengingkari apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka ia kafir, (tetapi) kalau mengakuinya (namun tidak melaksanakan disebabkan satu dan lain hal-pent.) maka dia adalah DHALIM dan FASIK. Atau diistilahkan oleh ‘Atha: Kufur di bawah Kufur (kufur Ashghar-pent.)

    (Minhaj Al-Firgahatin-Najiyah wat-Thaifah al-Manshurah ‘Ala Diau’il Kitab was-sunnah) Muh. Bin Jamil Zainu-terbitan: Jam’iyyah Ihya’it-Turatsil Islami, Kuwait, bab; kufur Akbar dan Kufur Ashghar, hal. 92-93).

  • 6. Oleh syaikh Islam Ibnu Taimiyah, orang-orang yang membagi agama manjadi hakekat yang hanya di kuasai oleh orang-orang khusus, dan SYARI’AT yang hanya berlaku bagi orang-orang awam tanpa orang khusus, (bahkan) dikatakan: Lebih buruk keadaannya dari pada AHLUL KUFUR DAN AHLUL ILHAD (maksudnya: lebih kufur dari pada orang kafir sendiri-pent).

    (Majmu ‘atul-Tauhid – Ibnu Taimiyah; Qa’idah Jalilah Fil ‘Ibadah)….Hal 391)

  • 7. Allah Ta’ala berfirman: “Dialah (Tuhan) yang mengetahui kepada yang ghaib, maka Dia tidak menyingkapkan atas keghaibannya itu, kecuali kepada yang ridlai di antara rasul-Nya”. (QS. Al-Jin 72: 26-27)

    Ayat ini oleh Muh. Ibnu Abdil Wahhab digunakan sebagai dalil bahwa di samping hanya Allah yang mengetahui perkara ghaib, juga siapa yang mengaku tahu kepada perkara ghaib, maka dia adalah thaghut. Sedangkan Iman kepada Thaghut berarti KUFUR. (simak kembali foot note no. (20)).

  • 8. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

    “Barangsiapa yang datang kepada Kahin (dukun) Lalu mempercayai apa yang dikatakan, maka ia telah KAFIR kepada apa yang dituturkan kepada Muhammmad shallallahu ‘alaihi wasallam: (HR Abu Dawwud)

    Dan diriwayatkan oleh imam empat dan Al-Hakim (Al-Hakim mengatakan: Riwayat ini shahih menurut persyaratan Bukhari Muslim tentang:

    مَنْ أَتَى عُرَّافًا أو كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

    “Barang siapa yang datang kepada tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang dikatakan, berarti ia telah KAFIR dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”.

    Dua hadits di atas seperti diungkapkan oleh pensyarah Kitab Tauhid Muh. Ibni Abdil Wahhab yaitu Fathul Majid Syarhu Kitab At-Tauhid-merupakan dalil bahwa DUKUN dan TUKANG SUHIR adalah KAFIR karena kedua-duanya mengaku tahu tentang perkahara GHAIB, dan orang yang meyakini kebenaranya serta puas dengan perkataan / nasihat keduanya berarti KAFIR juga.

    (Simak sampai tuntas Fathul Majid, bab Maja’a fil Kuhhan wanahwihim hal. 252-258).

  • 9. a). Wasilah yang disyari’atkan: Firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan carilah kepada-Nya WASILAH”. (QS. Al-Maidah 5: 35)

    Menurut Qatadah: (Carilah WASILAH kepada-Nya, artinya mendekatkan dirilah kamu kepada Allah dengan cara menaati perintah-Nya dan melaksanakan amal perbuatan yang diridhai-Nya).

    Jadi tawassul yang disyariatkan ialah tawassul yang diperintahkan oleh Al-Qur’an atau telah diriwayatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diamalkan oleh para shahabatnya.

    Contoh tawassul dengan IMAN: Firman Allah Ta’ala mengisahkan tawassul hamba-Nya dengan keimananya: “Ya Rabb, sesungguhnya kami hanya mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Rabbmu”, maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, wafatkanlah kami beserta orang-orang berbakti”. (QS. Ali Imran 3: 193)

    Tawassul dengan Asma’Allah: “Allah mempunyai Asmaul Husna, maka serulah Allah dengan Asma’ul Husna tersebut”. (QS. Al-A’raf)

    Di antara doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

    أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اِسْمٍ هُوَ لَكَ.

    “Dan aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama yang nama itu milik-Mu…(HR. Attirmizi, dan ia mengatakan Hadits hasan shahih).

    Tawassul dengan sifat-sifat Allah, sabda Rasullulah shallallahu ‘alaihi wasallam:

    يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ.

    “Wahai Yang Maha hidup lagi Maha tegak, dengan (sifat) Rahmat-Mu aku mengadu “. (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Attirmizzi).

    Tawassul dengan amal shalih, seperti shalat, puasa berbakti kepada kedua orang tua, meninggalkan kemaksiatan dsb. Hal itu sebagaimana kisah orang yang terperangkap ke dalam sebuah gua dan kemudian mereka bertawassul dengan menyebutkan amal shalih yang pernah mereka perbuat, akhirnya mereka dapat keluar dari gua tersebut. (HR. Muslim).

    Contoh tawassul yang bid’ah:

    Tawassul dengan jaah (kedudukan luhur)nya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti mengucapkan:

    يَا رَبِّ بِجَاهِ مُحَمَّدٍ اِشْفَعْنِيْ.

    “Ya Rabb-ku dengan jaah (kedudukan luhur)nya Muhammad, berilah aku syafa’at.” Ini adalah bid’ah karena Shahabat tidak pernah melakukannya. Sedangkan apa yang pernah diperbuat Umar bin Kahttab ialah bertawassul dengan Al-Abbas pada waktu masih hidup, yaitu supaya Al-Abbas mendoakannya.

    Adapun Hadits: “Bertawassullah dengan jaahku”, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, maka adalah hadits yang tidak ada sumbernya.

    Contoh tawassul yang syirik:

    Yaitu bertawassul dengan perantaraan orang mati, meminta pertolongan kepada mereka dan meminta agar kebutuhannya mereka terpenuhi. Hal itu disebut sebagai tawassul.

    Padahal arti tawassul ialah memohon kepada Allah dengan perantaraan hal yang disyari’atkan seperti amal shalih, keimanan dan sebagainya sebagaimana dalam contoh tawassul yang disyariatkan.

    Berdoa kepada orang mati berarti berpaling dari Allah, dan hal itu termasuk SYIRIK AKBAR: Firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, apa yang tidak memberimu manfaat dan tidak memberimu madlarat, maka sesungguhnya, jika kamu berbuat itu, maka kamu termasuk orang-orang yang dhalim.” (QS. Yunus 10: 106).

    (Dhalim dalam ayat ini maksudnya MUSYRIK).

    Lihat Muhammad Bin Jamil Zainu, Minhaj Al-Firqatin-Najiyah wat-Tha’ifatil Manshurah Terbitan: Jam’iyyah Ihya’it-Turatsil Islami, hal. 82 – 86 bab At-Tawassul Masyru’ dan At- Tawasssul mamnuk).

  • 10 & 11. Simak dan perhatikan Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri dalam “AQIDATUL MUKMIN”, terbitan Darul Fikri-tanpa tahun, bab TABARRUK hal. 127-130)

  • 12. Ziarah Kubur:

    • Pertama: disyariatkan: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

      إِنِّيْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا لِتُذَكِّرَكُمْ زِيَارَتُهَا خَيْرًا.

      “Sesungguhnya aku pernah melarang kamu menziarahi kuburan. Maka (kini) berziaralah kamu supaya ziarah kubur itu mengingatkan kamu pada kebaikan”. (HR. Muslim).

      Kemudian ketika berziarah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada shahabatnya untuk mengucapkan salam:

      اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.

      “Semoga keselamatan atas kamu wahai penghuni kubur dari kaum mukminin, dan INSYA ALLAH kami akan berjumpa dengan kamu, aku mohon kepada Allah bagi kamu dan bagi kami keselamatan”. (artinya: dari azab). (HR. Muslim).

    • Kedua: Bid’ah: karena terdapat larangan atau tidak pernah dilakukan oleh para shahabatnya radhiallahu ‘anhum.

      Misalnya: membaca Al-Qur’an di Kuburan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

      لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَفِرُّ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ.

      “Janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan maka sesungguhnya syetan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah”. (HR. Muslim)

      Hadits ini memberikan isyarat bahwa kuburan bukanlah tempat membaca Al-Qur’an, berbeda dengan rumah yang seharusnya tidak seperti kuburan (artinya harus ramai dengan bacaan Al-Qur’an)

      Misal lain: Membangun kubah atau membuat bangunan di atas kuburan atau meletakan batu nisan yang besar-besar dan bagus-bagus, sebab ada larangan dari Hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Melarang untuk membangun kubah atau membuat bangunan diatas kuburan.”

      Yang diperbolehkan ialah hanya meletakan batu setinggi satu jengkal sebagai tanda bahwa di situ ada yang dikubur. Hal itu karena rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya ketika beliau meletakan sebuah batu di kuburan UTSMAN BIN MADH’UN, beliau mengatakan:

      أَتَعَلَّمُ عَلَى قَبْرِ أَخِيْ.

      “Supaya aku bisa menandai kuburan saudaraku”. (HR. Abu Dawud dengan Sanad Hasan)

    • Ketiga: Syirik:

      Misalnya Thawaf di kuburan atau meminta bantuan kepada penghuni kubur: Firman Allah Ta’ala: “Maka hendakhlah kamu berthawaf di Baitil ‘ Atiq (Ka’bah)” (QS. 22: 29)

      “Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, apa yang tidak memberi manfaat dan tidak memberimu madlarat, maka melakukannya, maka sesungguhnya kamu jika demikian termasuk orang-orang yang dhalim (musyrik)”. (QS. Yunus 10: 106)

      Simak Muhammad bin Jamil Zainu; Minhaj Al-Firqatin-Najiyah…bab Kaifa nazurul Qubur hal. 136-137, atau Fathul Majid bab Maja’fit Taghlidh fiiman ‘abadallaha ‘inda qabri rajulin shalih…hal. 192-202).

  • 13. Renungkanlah, betapa enggan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ada seseorang memanggilnya: “Anda adalah SAYYID kami”. Beliau menjawab: “Sayyid adalah Allah Tabaraka wata’ala” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang jayyid (Baik). (Fathul Majid bab Himayatul Mushtafa shallallahu ‘alaihi wasallam himat-Tauhid, wasaddihi thuruqas-Syirki).

    Demikianlah pula ketika para shahabat mengadu (istighatsah) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari gangguan orang munafik, lalu beliau menjawab:

    إِنَّهُ لاَ يُسْتَغَاثُ بِيْ وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ.

    Sesungguhnya beristighatsah tidaklah kepadaku, sesungguhnya saja beristighatsah hanyalah kepada Allah”. (HR. At-Thabrani).

    Padahal yang dimaksud istighatsah oleh shahabat adalah pengaduan dan perlindungan yang bersifat manusiawi, namun ternyata belaiu menjawab seperti Hadits di atas.

    Semua itu ( baik kisah pertama maupun kisah kedua) adalah dimaksudkan untuk menutup celah agar setiap jalan menuju kemusyrikan atau kepada sikap keterlaluan, dapat tertutup rapat-rapat.

    Kemudian mengenai masalah bid’ah perhatikan kembali angka I. Dasar-dasar pijak Ahlus-Sunnah (keterangan no. 12 tentang bid’ah).