Satu hakikat dan fakta, tidak diperdebatkan oleh dua orang, bahwa masa yang dibutuhkan oleh seorang anak untuk bisa mandiri atau masa kekanak-kanakan anak manusia lebih panjang daripada makhluk hidup yang lain, dalam masa itu yang ada di samping seorang bocah adalah ibunya, diawali dengan kehamilan, melahirkan, menyusui dan mengasuh, selama itu terjalin ikatan emosional antara ibu dengan anak yang tidak ada taksirannya, artinya interaksi anak dengan ibu dalam fase-fase tersebut relatif lebih intensif dan lebih erat, karenanya anak banyak mengambil dan belajar dari ibu dalam masa-masa tersebut khususnya masa-masa balita dan sekolah dasar, lebih-lebih masa pra sekolah, hanya ibu yang melatihnya duduk, berdiri dan berjalan, hanya ibu yang mendekap dan menggendongnya jika dia jatuh ketika berlatih berjalan, hanya ibu yang melatihnya berbicara, memanggil ayah, ibu, mama, papa, aba, umi dan seterusnya, hanya ibu yang menyuapinya sekaligus melatihnya cara-cara makan, hanya ibu yang rela melekan, tidak tidur saat sang anak rewel karena sakit, hanya ibu yang membersihkan pipis dan BAB-nya… dan seterusnya.

Hakikat ini mengisyaratkan bahwa ibu adalah guru pertama bagi seorang anak. Benar, karena orang terdekat kepada seorang anak adalah ibunya, karena hanya ibu yang paling dekat kepada anak maka dialah yang lebih besar dampaknya terhadap anak, dan mempertimbangkan betapa besar pengaruh pengaruh ibu terhadap anak-anaknya, maka Islam menganjurkan para suami agar memilih guru pertama yang baik dan menganjurkan bahkan melarang memilih guru pertama yang tidak baik.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan empat perkara yang menjadi alasan seorang wanita dinikahi, beliau menganjurkan memilih wanita dengan kriteria keempat yaitu pemilik agama.

تُنْكَحُ المَرْأةُ لأربَعٍ : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلدِينِهَا ، فاَظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ .

“Wanita dinikahi karena empat perkara: hartanya, kedudukannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah pemilik agama niscaya kamu beruntung.” (Muttafaq alaihi).

Salah satu tujuan pernikahan adalah lahirnya anak keturunan yang shalih, dan peluang keshalihan anak keturunan akan tetap terbuka jika ibu sebagai guru pertama bagi anak adalah seorang wanita shalihah. Anda tidak akan memanen anggur dari duri, jangan berharap air dari api dan orang yang tidak memiliki tidak mungkin memberi.

Dari sini bisa dipahami bahwa di antara hikmah mengapa menikahi wanita musyrikah tidak diizinkan dan juga menikah dengan wanita pezina selama dia belum bertaubat juga tidak diizinkan.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221). Allah juga berfirman-yang artinya, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (An-Nur: 3).

Menurut Anda apa yang diberikan ibu sebagai guru pertama kepada anaknya jika dia wanita musyrik atau pezina? Anda pasti tahu, karena bejana memberi rembesan sesuai dengan isinya. Hikmah ini dikatakan secara nyata oleh al-Qur`an ketika ia melarang menikahi wanita musyrikah, “Mereka mengajak ke neraka.” (Al-Baqarah: 221). Jika orang-orang musyrik termasuk wanitanya menyeru ke neraka maka para pezina termasuk wanitanya menyeru kepada zina, lalu apa harapan Anda darinya?

Mempertimbangkan hanya ibu sebagai guru pertama maka dia dituntut memiliki kemampuan-kemampuan dasar agar mampu memerankan fungsinya secara efektif dan berarti kepada anaknya. Ibu harus memiliki kemampuan dasar agama khususnya yang berkaitan dengan ibadah-ibadah praktis sehari-hari, kemampuan dasar calistung (membaca, menulis dan berhitung) disertai pengetahuan tentang metode pengajarannya kepada anak, kemampuan dasar bermain yang edukatif karena dunia anak adalah dunia bermain dan tidak semua permainan memiliki nilai positif, pengetahuan dasar-dasar akhlak yang baik dan metode penamaannya pada anak, pengetahuan tentang kisah-kisah Islami untuk mengimbangi kisah-kisah asing yang tidak sejalan dengan ajaran Islam, pengetahuan dasar tumbuh kembang anak dan faktor penunjanganya. Hal ini untuk mengoptimalkan pertumbuhan anak sehingga dia menjadi anak yang sehat karena kesehatan fisik menunjang perkembangan sisi-sisi anak yang lain.

Apapun ibu sebagai sekolah pertama dengan nilai-nilai positifnya tidak terwujud dengan baik tanpa kesediaan dari ibu itu sendiri, di mana ibu menomorduakan urusan anak dengan lebih mementingkan urusannya yang lain. Indikasi dari hal ini tercium manakala ibu lebih cenderung bersibuk diri di luar rumah dan menyerahkan anaknya kepada orang lain, pembantu atau nenek. Alasan karir atau pekerjaan adalah faktor pemicu utama, padahal jika para ibu mau jujur dalam membandingkan maka dia akan melihat bahwa keuntungan yang diperoleh dari karirnya lebih rendah dibanding dengan kerugian akibat dia meninggalkan anaknya bersama orang lain. Bagaimana pun ibu tidak tergantikan, tidak oleh nenek lebih-lebih pembantu. Dari sini maka agama Islam menyerukan kepada wanita muslimah agar tidak meninggalkan pos yang sangat membutuhkannya ini. Wallahu a’lam.