Kodrat wanita adalah menjadi istri dan ibu sebagaimana kodrat laki-laki adalah menjadi suami dan bapak. Syariat Islam telah menetapkan posisi dan kedudukan masing-masing dalam blantika kehidupan rumah tangga. Sebagai kepala dan pemimpin, suami bertanggung jawab kepada Allah terhadap istri dan anaknya. Sebagai wakil pemimpin, istri juga bertanggung jawab terhadap apa yang ada dalam wewenangnya.

Dalam praktik kehidupan tidak jarang terjadi ketimpangan yang membuat rumah tangga berjalan seolah-olah hanya dengan satu kaki, hal ini secara umum terjadi manakala salah satu pihak melalaikan tanggung jawabnya atau hendak merambah lahan pasangannya dan melebihi koridor kewenangannya. Saat suami misalnya merasa selalu benar sehingga kemauannya harus dituruti, tidak menerima kritik sekalipun dari istri dengan tujuan membangun, bahkan menyikapinya dengan kemarahan. Hal ini tentu membuat bahtera rumah tangga berjalan miring dan memusingkan orang-orang yang mengendarainya dan akhir mereka akan mabuk dan minta turun.

Bahkan bisa lebih dari itu, manakala tindak melewati batas kewenangan ini semakin ditingkatkan, akhirnya muncul kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik maupun non fisik, celakanya kesalahan sebagian suami ini lalu disikapi secara salah pula oleh sebagian orang dengan menuntut persamaan mutlak antara istri dengan suami, peranan istri harus sama dengan suami dalam keluarga, biar tidak ada lagi penindasan dan kezhaliman menimpa istri.

Merespon kesewenangan sebagian suami dengan menuntut emansipasi mutlak sama dengan mengatasi masalah dengan masalah, bahkan dengan masalah yang lebih ruwet, kalah sama pegadaian yang mengatasi masalah tanpa masalah. Lha bagaimana tidak memicu masalah baru, sementara persamaan mutlak antara istri dan suami itu hanyalah omong kosong, khayalan, di alam nyata tidak ada praktiknya. Bisakah satu kendaraan disopiri oleh dua orang, bisakah satu kereta api dimasinisi oleh dua orang? Dan kedua-duanya sama-sama bekerja dengan wewenang dan tanggung jawab yang sama tanpa ada pendistribusian dan pembagian yang baik? Bukannya yang akan terjadi adalah saling berebut? Kalau sudah begini lalu kapan bekerjanya?

Kekeliruan sebagian suami dalam melampaui batas kewenangan sebagai pemimpin tidak harus diatasi dengan mencabut kepemimpinan itu dari tangan lalu diberikan atau tidak diberikan kepada istri, karena bila hal ini dilakukan maka hal tersebut justru menzhalimi istri dengan membebaninya dengan tugas yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Solusinya adalah perbaikan terhadap suami dan mengembalikannya ke rel di mana dia memang harus berjalan di atasnya dalam memimpin. Ilmu syariat tentang tata rumah tangga, hubungan suami istri, wilayah masing-masing, bagaimana menjalin hubungan baik di antara keduanya harus lebih disosialisasikan lebih gencari kepada msyarakat, karena masih banyak orang-orang Islam yang belum tahu, jangankan yang tak tahu, yang sudah tahu pun terkadang tak tahu bagaimana mempraktikkannya.

Bila suami sebagai pemimpin bertindak dalam koridornya dan istri berlaku di atas lingkarannya, lalu keduanya saling mendukung dan mengisi secara berimbang, maka hal ini akan menekan sikap dan keinginan untuk menang sendiri dari suami, sehingga apa yang ditakutkan sebagai akibat dari sikap tersebut tidak terwujud. Bagaimana pun dibutuhkan hubungan dan jalinan berimbang, simbiosis mutualisme, demi terwujudnya tujuan rumah tangga. Bagaimana?