Syaikh Sayyid Ahmad Thanthawi, seorang ulama Mesir dan kini menjabat posisi ‘Syaikhul Azhar’ selalu mengundang polemik dan mengeluarkan statement yang kontroversial. Ia adalah termasuk ulama yang memfatwakan bolehnya ‘bunga’ bank beberapa tahun lalu. Kali ini, ia kembali mengeluarkan statement kontroversial yang kini menjadi polemik publik di Mesir.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu sebagian media massa di Denmark melakukan penodaan terhadap sosok Nabi Muhammad SAW yang kemudian serentak di beberapa negara Islam terjadi gelombang protes dan kutukan atas penodaan tersebut.

Di Mesir, Lembaga Penelitian Islam (LPI) tidak ketinggalan mengecam keras tindakan penodaan tersebut. Menyikapi reaksi itu, duta besar (dubes) Denmark untuk Mesir menemui sejumlah tokoh dan ulama di Mesir, di antaranya Syaikhul Azhar dan mufti Mesir. Kepada keduanya di tempat terpisah, dubes Denmark itu menyampaikan permintaan ma’afnya atas statement, tindakan dan ungkapan apa pun yang merusak citra agama.

Ketika pertemuannya dengan Syaikhul Azhar itulah yang kemudian menimbulkan polemik di kalangan ulama dan para cendikiawan di Mesir. Pasalnya, saat beralasan atas sikap al-Azhar menolak penodaan atas Nabi SAW tersebut, Syaikhul Azhar mengatakan kepada dubes Denmark, bahwa penolakan itu semata karena penodaan itu diarahkan kepada Muhammad SAW yang sudah wafat dan tidak dapat membela dirinya sendiri.

Kontan saja, statement ini memunculkan reaksi dan kritik pedas dari berbagai kalangan. Bahkan, Mufti Mesir sendiri menolak alasan yang dikemukakan Syaikhul Azhar tersebut.

Sejumlah ulama mengeritik statement yang dimuat dalam buletin yang dikeluarkan kantor Syaikhul Azhar itu dengan menyebutnya sebagai ‘kurang mengenai sasaran!.’ Penolakan Syaikhul Azhar terhadap tindakan penodaan oleh media massa Denmark dalam buletin itu berisi, “Penodaan terhadap orang-orang mati secara umum, baik itu para nabi, para reformis atau pun orang-orang selain mereka yang telah meninggalkan dunia yang fana ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam… bangsa berakal tentu menghormati orang yang sudah menemui ajal dan telah meninggal dunia itu…”

Sementara itu di tempat terpisah, dalam pertemuannya dengan dubes Denmark, Byarn Sorans mufti Mesir, Ali Jum’ah menolak penyamaan para nabi dengan para politisi, pemimpin dan orang-orang selain mereka.

Ali Jum’ah mengatakan, “Adalah tidak mungkin mengatakan, kami menolak tindakan penodaan terhadap Rasul karena ia telah mati dan pergi meninggalkan dunia ini sebab Rasul masih tetap hidup di dalam setiap sanubari kaum Muslimin dan tidak mati.”

Ia menegaskan, tidak mungkin menyamakan antara para Nabi dan orang-orang shalih dengan manusia selain mereka, apalagi dengan para politisi sebab para nabi terjaga dari kesalahan (ma’shum) sehingga tidak boleh menodai mereka atau pun menyamakan mereka dengan manusia selain mereka dengan alasan bahwa mereka semua adalah orang-orang mati.

Dalam pada itu, terkait dengan tindakan penodaan oleh sebagian media massa Denmark tersebut, LPI bertekad akan mengadukannya kepada lembaga-lembaga terkait di PBB dan beberapa lembaga pemerhati HAM di berbagai tempat di dunia.

Seperti banyak diberitakan media massa, pada tanggal 30 september 2005 lalu, sebuah media massa di Denmark memuat 12 karikatur yang menghina dan menodai sosok Nabi Muhammad SAW. Karena itu, dalam protes keras yang dilayangkannya atas tindakan tersebut –yang juga ditanda-tangani oleh Syaikhul Azhar- para ulama al-Azhar menyatakan tindakan tersebut sebagai “propaganda yang benar-benar telah melampaui batasan kritik yang ditolerir dan etika berdialog yang dibenarkan ketika terjadi perbedaan pendapat karena telah berubah menjadi cacian murni dan penghinaan disengaja terhadap sebuah agama yang dianut lebih dari 1 milyar manusia, termasuk di antaranya warga negara Denmark sendiri. (istod/AH)