Beberapa hukum berhubungan dengan haid

  • Boleh bagi wanita memakai pacar di tangannya di waktu ia sedang haid.(46)
  • Tanda suci dari haid ialah keluarnya cairan bening, ia dikenal oleh setiap wanita –saat terhentinya haid-. Maka apabila ia melihat cairan bening tersebut sesudah terhentinya darah dan warna kemerah-merahan dan kekuning-kuningan, maka ia wajib segera mandi (bersuci) dari haid.(47)
  • Cairan berwarna keruh (kemerah-merahan) dan kekuning-kuningan yang keluar pada waktu suci adalah suci (bukan haid), dan yang keluar pada waktu haid adalah haid. Maka apabila seorang wanita melihat cairan berwarna keruh atau kekuning-kuningan pada hari-hari haidnya, maka iatu adalah termasuk darah haid. Maka ia tidak boleh segera mandi (bersuci) dari haidnya sebelum melihat cairan bening keputih-putihan. Adapun bila ia melihat cairan keruh atau kelembaban pada hari-hari sucinya, maka itu bukan haid, karena berdasarkan hadits yang bersumber dari Ummi ‘Athiyah Radhiallaahu anha : “Kami tidak menganggap cairan berwarna kekuning-kuningan dan keruh sesudah suci (dari haid) sebagai haid”.(48)
  • Tidak mengapa wanita haid atau nifas membaca do’a-do’a ma’tsurat dan juga tidaklah mengapa ia membaca Al-Qur’an, menurut pendapat yang lebih kuat. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menegaskan: Tidak ada dasar sunnahnya sama sekali yang melarangnya (wanita haid atau nifas) untuk membaca Al-Qur’an(49). Hanya saja ia membacanya diluar kepala tanpa memegang mushaf. Adapun orang yang janabat, ia tidak boleh membaca al-qur’an, diluar kepala (hafalan) ataupun membacanya dari mushaf, sebelum ia mandi bersuci.(50)
  • Bersetubuh diwaktu haid hukumnya haram, karena Allah telah berfirman:
    “Dan mereka bertanya kepadamu tentang masa haidh. Katakanlah: ia adalah penyakit, maka hindarilah wanita di masa haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Dan apabila mereka telah bersuci, datangilah mereka dari arahmana saja Allah memerintahkannya kepada kamu. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang taubat dan cinta kepada orang-orang yang bersuci”. (Al-Baqarah: 222)(51)

    Dan para ulama telah sepakat bahwasanya haram bagi suami bersetubuh dengan istrinya di waktu haid. Maka istri wajib mencegah suaminya dari hal tersebut, dan jangan memenuhi permintaannya; karena hal tersebut diharamkan, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk (siapapun) dalam kemaksiatan terhadap Sang Khaliq. Tetapi suami boleh menikmati istrinya di masa haid selain pada kemaluanya.(52)

  • Barang saipa yang melanggar dan terlanjur mengauli (bersenggama) istrinya dikala haid, maka ia wajib bertobat, kemudian membayar kifarat, yaitu berse-dekah sebanyak satu dianar atau setengahnya. Satu dinar itu sama dengan satu mitsqal emas, yaitu sama dengan 4/7 junaih saudi, karena satu junaih itu sama dengan 2 dinar kurang seper empat (atau dengan gram adalah 4¼ gram. Pent)(53)
  • Apabila wanita yang haid suci sebelum terbit fajar dari bulan suci Ramadan, sekalipun hanya satu menit, sedangkan ia yakin akan kesuciannya, maka ia wajib berpuasa pada hari itu dan tidak wajib menggantinya, sekalipun ia belum bersuci (mandi) kecuali sesudah terbit fajar. Dan Jika wanita datang masa haidnya sesudah terbenam matahari sesaat, maka puasanya tetap sah.(54)
  • Apabila wanita haid suci di tengah hari bulan suci Ramadan, maka ia wajib imsak (menahan diri dari makanan dan minuman)dan wajib baginya mengganti (qadha’) puasa hari itu.(55)
  • Haram hukumnya mencerai istri yang sedang haid; Seharusnya sang suami mencerai istrinya pada waktu ia suci (dari haid) dan belum mencampurinya, sehingga istri menghadapi masa iddah, yaitu tiga kali haid. Allah berfirman:
    “Dan wanita-wanita yang dicerai, hedaklah mena-han diri (menunggu) tiga kali quru’.”
    Dan barang siapa mencerai istrinya disaat ia sedang haid, maka ia wajib bertobat kepada Allah dan kembali kepada istrinya, agar kemudian mencerainya secara syari, karena hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menegaskan:

    “Suruh ia kembali ke istrinya, kemudian tetap ber-samanya hingga istrinya suci, kemudian haid lagi dan suci. Baru setelah itu jika ia ingin tetap bertahan, maka bertahanlah, dan jika memilih bercerai, maka cerailah sebelum mencampurinya. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah, yang karenanya istri boleh dicerai”.(56)

  • Wanita, apabila ia telah mengenal kebiasaan bulanan-nya, lalu berhenti dan ia yakin akan kesuciannya, kemudian ia mandi (bersuci), maka statusnya adalah suci, Dan kalau sesudah itu ia melihat sesuatu seperti (keluar) darah atau cairan kekuning-kuningan, atau cairan keruh, maka itu adalah istihadah (darah penyakit).(57)
  • Bagi wanita yang istihadhah (berpenyakit pendarah-an) hanya wajib mandi satu kali, yaitu sesudah masa haidnya habis, dan sesudah itu tidak wajib lagi baginya mandi, dan ia hanya diwajibkan berwudhu untuk setiap kali akan shalat.(58)
  • Apabila seorang wanita merasa sakit karena mau melahirkan hingga hilang kesadaran akan shalat selama dua hari atau lebih, sedangkan tidak keluar darah dari padanya, maka ia harus meng-qadha’ (mengganti) shalat-shalat yang ia tinggalkan, karena ketidak sadaran yang disebabkan penyakit atau karena nyeri atau lainnya tidak menggugurkan kewajiban shalat, apalagi darah nifas tidak keluar darinya.(59)
  • Jika wanita melihat darah-darah sebelum melahirkan satu hari atau kurang, maka darah itu termasuk darah nifas, maka ia tidak wajib shalat pada saat itu. Adapun jika darah belum keluar, maka ia wajib shalat, sekali-pun telah merasakan sakit akan melahirkan.(60)
  • Jika wanita keguguran kandungan tiga bulan yang sudah terdapat bentuk manusia, seperti kepala atau tangan atau kaki atau lainnya -dimana para ulama menyebutkan bahwa sesungguhnya dimungkinkan bentuk janin itu akan jelas jika sudah mencapai usia 81 hari, yaitu masa kurang dari tiga bulan-, maka berlaku baginya hukum nifas, dan ia tidak boleh shalat, tidak boleh puasa dan tidak halal bagi suaminya mencampurinya (melakukan jima’) sebelum istrinya suci dan sempurna 40 (ampat puluh) hari. Adapun jika janin belum berbentuk manusia, hanya berupa gumpalan daging atau berupa darah, maka berlaku baginya hukum istihadhah hingga bersih, dan boleh melakukan shalat jamak antara shalat zhuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’, dan ia harus mandi pada setiap kali akan melakukan shalat jamak tersebut.(61)