Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Akibat yang baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidak ada permusuhan melainkan terhadap orang-orang yang zhalim lagi melampaui batas. Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang hak selain Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, Rabb semesta alam. Dan, saya bersaksi bahwa Muhammad –“al-Amin”, sosok manusia yang tepercaya- adalah hamba dan utusanNya. Semoga shalawat dan salam yang banyak tercurahkan kepada beliau beserta keluarganya dan para sahabatnya, dan juga kepada orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik sampai hari pembalasan.

Berikut ini enam hal terkait dengan bulan Sya’ban.

Pertama : Keutamaan Puasa Bulan Sya’ban

Di dalam shahihain (shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari ‘Aisyah –رضي الله عنها –, ia berkata,

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyempurnakan puasa sebulan penuh selain Ramadhan. Dan aku juga tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada bulan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari, 1969 dan Muslim, 1156).

Dalam shahih al-Bukhari (1970) dalam satu riwayat:

كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Beliau pernah berpuasa Sya’ban seluruh (hari)nya.”

Dalam shahih Muslim dalam satu riwayat:

كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيْلًا

“Beliau berpuasa Sya’ban kecuali sedikit.”

Imam Ahmad (di dalam al-Musnad) (21753), an-Nasai (di dalam sunannya) (2357) meriwayatkan dari hadis Usamah bin Zaed –semoga Allah meridhai keduanya-, ia berkata,

لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ مِنْ السَّنَةِ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ

Tidaklah beliau berpuasa dalam satu bulan dalam setahun yang lebih banyak daripada puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban.”

Dikatakan kepada beliau – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–,

لَمْ أَرَكَ تَصُومُ مِنْ شَهْرٍ مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ

Aku belum pernah melihat Anda berpuasa dalam satu bulan seperti puasa yang Anda lakukan di bulan Sya’ban,” (Mengapa?).

Beliau – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– menjawab,

ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ يُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ia adalah bulan di mana amal-amal diangkat kepada Rabb semesta alam. Maka, aku suka amalku diangkat sedang aku tengah berpuasa.”

Di dalam al-Furu’ (juz 3 hal.120, cet. Alu Tsaniy) dikatakan : Isnadnya jayyid (bagus).

Kedua : Puasa Pertengahan Bulan Sya’ban

Ibnu Rojab –رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى – di dalam kitab al-Latha-if (hal.341, cet.Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah) menyebutkan bahwa di dalam Sunan Ibnu Majah (1388) dengan sanad yang lemah, dari Ali -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Rasulullah               – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda,

إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا، وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا، فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرُ لَهُ، أَلَا مُسْتَرْزِقٍ فَأُرْزِقَهُ، أَلَا مُبْتَلَى فَأُعَافِيْهِ، أَلَا كَذَا، أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Bila tiba malam nisfu sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), maka shalatlah kalian pada malam harinya, dan berpuasalah pada siang harinya, karena sesungguhnya Allah itu turun ke langit dunia sejak tenggelamnya matahari, seraya berfirman, ‘Adakah orang yang memohon ampunan kepadaKu, niscaya Aku bakal memberikan pengampunan kepadanya. Adakah orang yang memohon rizki, niscaya Aku bakal memberikan rizki kepadanya. Adakah orang yang tengah ditimpa derita, niscaya Aku bakal memberikan afiyat kepadanya. Adakah orang yang demikian…adakah orang yang demikian…hingga terbit fajar.”

Saya katakan, “Hadis ini oleh pengarang al-Manar dihukumi sebagai hadis palsu, di mana beliau mengatakan (hal.226, jilid V dari kumpulan fatwanya), ‘Yang benar bahwa hadis ini maudhu’ (palsu), karena di dalam sanadnya ada seorang rawi bernama Abu Bakar bin Abdillah bin Muhammad, yang dikenal dengan ‘Ibnu Abi Saburah’ di mana Imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in berkomentar tentangnya, ‘Sesunggunya dia ini (Ibnu Abu Saburah) seorang pemalsu hadis.”

Atas dasar hal tersebut, maka puasa pada pertengahan bulan Sya’ban secara khusus bukan merupakan sunnah, karena hukum-hukum syariat tidak ditetapkan dengan hadis-hadis yang berkisar (hukumnya) antara “adh-Dha’if “ (lemah) dan “al-Wadh-‘u” (palsu) menurut kesepakatan para ulama hadis, kecuali bilamana kelemahannya dapat tertambal dengan banyaknya jalan periwayatan dan penguat sehingga hadis tersebut naik ke derajat Hasan Lighairihi  karenanya. Sehingga dapat diamalkan jika matan hadis tersebut tidak munkar atau syadz.

Dan, bilamana puasa pada pertengahan bulan Sya’ban tersebut bukan merupakan sunnah, maka hal tersebut merupakan bid’ah, oleh karena puasa itu merupakan ibadah, maka bila tidak ditetapkan akan disyariatkannya, jadilah hal tersebut sebagai bid’ah. Sementara Nabi      – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– telah bersabda,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim 867 dari hadis Jabir –رضي الله عنه – )

 

Ketiga : Tentang Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban

Tentang hal ini, telah datang beberapa hadis, di mana Ibnu Rojab –رَحِمَهُ اللهُ– di dalam al-Latha-if setelah menyebutkan hadis Ali yang lalu, mengatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang hadis-hadis tersebut, kebanyakan melemahkannya, sementara Ibnu Hibban menshahihkan sebagiannya dan beliau mengeluarkannya di dalam shahihnya. Di antara contohnya adalah hadis ‘Aisyah –رضي الله عنها– di mana di dalamnya disebutkan:

أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرِ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ

“Bahwa Allah ta’ala turun pada malam nisfu sya’ban ke langit dunia, lalu Dia memberi ampunan lebih banyak dari jumlah helai bulu kambing Kalb.” (HR. Imam Ahmad 26018, at-Tirmidzi 739, Ibnu Majah 1389).

At-Tirmidzi menyebutkan bahwa imam al-Bukhari melemahkannya. Lantas, Ibnu Rojab –رَحِمَهُ اللهُ– menyebutkan beberapa hadis dengan makna ini dan mengatakan, ’dan dalam bab ini terdapat beberapa hadis yang lainnya, di dalamnya terdapat kelemahan.’ Selesai perkataan beliau – رَحِمَهُ اللهُ–.

Dan, asy-Syaukani menyebutkan bahwa di dalam hadis –رضي الله عنها– yang disebutkan tadi terdapat kelemahan dan keterputusan (pada sanadnya). Dan, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz – رَحِمَهُ اللهُ– menyebutkan bahwasanya ada beberapa hadis yang lemah yang menyebutkan tentang keutamaannya yang tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Sebagian kalangan (ulama) kontemporer berupaya menshahihkannya karena banyaknya jalan periwayatannya namun tidak mendapatkan manfaat. Karena hadis-hadis yang lemah itu andaikata sebagiannya dapat menutupi kelemahan sebagian yang lainnya sesungguhnya derajat tertinggi yang dapat diraih adalah hanya sampai pada derajat Hasan Lighairi dan tidak mungkin mencapai derajat Shahih sebagaimana hal tersebut diketahui dari kaidah mustalahul hadis.

Keempat : Tentang Qiyamullail pada malam Nisfu Sya’ban.

Hal ini memiliki tiga tingkatan.

Tingkatan pertama:

Seseorang mengerjakan shalat pada malam tersebut sebagaimana yang biasa dilakukan di malam lainnya. Misalnya, seseorang mempunyai kebiasan qiyamullail, lalu ia mengerjakan di malam nisfu sya’ban shalat yang biasa dikerjakannya di malam-malam lainnya tanpa mengistimewakannya dengan menambah jumlah rakaatnya dengan keyakianan bahwa pada malam tersebut terdapat keistimewaan daripada malam-malam yang lainnya. Maka, hal ini tidak mengapa. Karena ia tidak membuat-buat hal baru dalam agama Allah yang tidak termasuk bagian darinya.

Tingkatan kedua:

Seseorang shalat pada malam ini, yakni, malam nisfu Sya’ban sementara di malam-malam lainnya tidak melakukannya. Maka, ini adalah bid’ah, karena tidak datang dari –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– perintah mengerjakannya, tidak pula beliau  – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–  melakukannya, dan tidak pula para sahabat beliau melakukannya.

Adapun hadis Ali –رضي الله عنه –  yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,

إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا، وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا

“Bila tiba malam nisfu sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), maka shalatlah kalian pada malam harinya, dan berpuasalah pada siang harinya.”

Telah disebutkan bahwasanya Ibnu Rojab – رَحِمَهُ اللهُ– melemahkannya dan bahwa Muhammad Rosyid Ridha mengatakan bahwa hadis tersebut maudhu’ (palsu), dan semacam ini tidak boleh dipakai untuk menetapkan hukum syari’. Adapun keringanan yang diberikan oleh sebagian kalangan ahli ilmu berupa (bolehnya) beramal berdasarkan hadis dhaif (lemah) dalam hal fadha-il a’mal (keutamaan amal), sesungguhnya di antara persyaratannya (yang pertama) adalah ‘hendaknya kelemahannya tidak parah’, sementara hadis ini kelemahannya parah, karena di dalam (sanad)nya ada rawi yang biasa memalsukan hadis, sebagaimana kami menukilkannya dari Muhammad Rosyid Ridha – رَحِمَهُ اللهُ–. Syarat kedua, memiliki asal yang valid. Hal itu karena, bila pada asalnya terdapat hadis yang valid (dari Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–) kemudian dalam kasus tersebut datang beberapa hadis yang lemah di mana kelemahannya tidak parah, niscaya hal itu akan memberikan semangat kepada jiwa untuk mengamalkannya sebagai harapan untuk mendapatkan pahala yang disebutkan, tanpa memastikannya. Jika ternyata hadis tersebut valid (dari Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–) maka hal tersebut merupakan keuntungan bagi orang yang melakukannya. Namun, jika ternyata hadis tersebut tidak valid (dari Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–) maka hal tersebut tidak membahayakannya sedikitpun karena tetapnya asal yang meminta agar melakukannya. Telah maklum adanya bahwa perintah untuk mengerjakan shalat pada malam nisfu sya’ban tidak terwujud di dalamnya persyaratan ini, karena ternyata tidak memiliki asal yang valid dari Nabi – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–  sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rojab – رَحِمَهُ اللهُ–  dan yang lainnya.

Ibnu Rojab – رَحِمَهُ اللهُ–  di dalam al-Lathaif (hal.541) mengatakan,

فَكَذَلِكَ قِيَامُ لَيْلةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَثْبُتْ فِيْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ شَيٌ

“Demikian pula halnya qiyamullail pada malam nisfu sya’ban, dalam hal tersebut tidak ada satupun riwayat yang valid dari Nabi – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–, tidak pula dari para sahabatnya.”

Syaikh Muhammad Rosyid Ridha –رَحِمَهُ اللهُ– (dalam al-Manar, jilid 5, hal.857) mengatakan,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَمْ يَشْرَعْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ فِي كِتَابِهِ وَلَا عَلَى لِسَانِ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي سُنَّتِهِ عَمَلاً خاصًّا بِهَذِهِ اللَّيْلَةِ

“Sesungguhnya Allah ta’ala di dalam kitabNya tidaklah mensyariatkan kepada orang-orang yang beriman suatu amalan khusus (untuk dilakukan) pada malam ini (malam nisfu sya’ban). Tidak pula (Dia –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– mensyariatkannya) atas lisan RasulNya – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–  dan tidak pula di dalam sunnahnya.” Selesai perkataan beliau – رَحِمَهُ اللهُ–.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz –رَحِمَهُ اللهُ– mengatakan, “Riwayat yang menyebutkan tentang shalat pada malam itu (malam nisfu sya’ban) semuanya palsu.” Selesai perkataan beliau – رَحِمَهُ اللهُ–.

Maksimal riwayat yang datang tentang shalat ini adalah apa yang dilakukan oleh sebagian kalangan tabi’in, sebagaimana kata Ibnu Rojab – رَحِمَهُ اللهُ–  di dalam al-Latho-if (hal.441):

“Perihal malam nisfu Sya’ban, ada tabi’in dari kalangan peduduk Syam yang mengagungkannya dan mereka bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah pada malam tersebut. Dari merekalah orang-orang mengambil keutamaannya dan pengagungan terhadapnya. Dikatakan bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat tentang hal itu. Lalu, ketika hal itu tenar di segenap penjuru negeri, orang-orang berselisih tentang hal tersebut. Di antara mereka ada yang menerimanya dan menyetujui tindakan pengagungan terhadap malam tersebut. Sementara itu, kebanyakan ulama Hijaz mengingkarinya, di mana mereka mengatakan, ‘itu semuanya merupakan bid’ah.’” Selesai perkataan beliau – رَحِمَهُ اللهُ–.

Tidak diragukan bahwa apa yang menjadi pendapat ulama Hijaz itulah pendapat yang benar yang tidak ada keraguan di dalamnya. Hal itu karena Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– telah berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (al-Maidah: 3).

Kalaulah shalat pada malam itu termasuk bagian dari agama Allah ta’ala niscaya Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– jelaskan di dalam kitabNya, atau Rasulullah – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– jelaskan dengan perkataannya atau perbuatannya. Maka, ketika hal itu tidak ada, diketahuilah bahwasanya shalat pada malam nisfu sya’ban tersebut bukan termasuk bagian dari (ajaran) agama Allah, dan apa-apa yang tidak termasuk bagian dari (ajaran) agamaNya maka itu merupakan bid’ah. Dan, telah shahih dari Nabi – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–  bahwa beliau bersabda,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat”

Tingkatan ketiga:

Seseorang melakukan shalat dengan jumlah bilangan rakaat tertentu, ia mengulang-ulangi hal tersebut setiap tahunnya. Tingkatan ini lebih parah kebid’ahannya daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari Sunnah. Hadis-hadis yang datang tentang hal itu merupakan hadis-hadis palsu. Imam asy-Syaukani mengatakan,

“Telah diriwayatkan sebuah shalat pada malam ini, yakni, malam nisfu Sya’ban dalam bentuk yang beragam, semuanya merupakan riwayat yang batil dan palsu.” (al-Fawaid al-Majmu’ah, hal. 15, Cet. Waratsah asy-Syaikh Nashif).

Kelima : bahwa telah masyhur di tengah-tengah banyak orang bahwasanya malam nisfu Sya’ban, ditetapkan didalamnya apa yang bakal terjadi pada tahun tersebut.

Ini adalah batil, karena malam di mana ditetapkan di dalamanya apa-apa yang bakal terjadi dalam tahun tersebut adalah malam lailatul qadar, sebagaimana Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– berfirman,

  حم * وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ * إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ  * فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ * أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ * رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Haa Mim. Demi kitab (al-Qur’an) yang jelas, sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh Kami-lah yang memberi peringatan. Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan dari sisi Kami. Sungguh, Kamilah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sunguh Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (ad-Dukhan: 1-6).

Malam ini (malam yang diberkahi) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an adalah malam Lailatul Qadar, sebagaimana Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ  

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (al-Qur’an) pada malam qadar.” (al-Qadar: 1).

Dan, malam tersebut ada di bulan Ramadhan, karena Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى–menurunkan al-Qur’an di bulan tersebut. Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ  

“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an…” (al-Baqarah: 185.)

Maka, barang siapa beranggapan bahwa malam nisfu Sya’ban ditentukan di dalamnya apa yang bakal terjadi pada tahun tersebut, sungguh ia telah menyelisihi sesuatu yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dalam ayat-ayat ini.

 

Keenam : Bahwa sebagian orang membuat beragam makanan pada hari pertengahan (bulan Sya’ban), mereka membagikannya kepada orang-orang fakir. Dan, mereka menamakannya dengan “Asyayaat al-Walidain

Hal ini juga tidak ada asalnya diri Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– Karena itu, pengkhususan hari ini dengan hal tersebut termasuk bid’ah yang telah diwanti-wanti oleh Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–, di mana beliau –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–  bersabda,

   كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat.”

Dan, hendaknya diketahui bahwasanya siapa yang membuat-buat bid’ah dalam agama Allah yang bukan termasuk darinya, maka ia telah terjatuh ke dalam beberapa bahaya, di antaranya,

Pertama:

Bahwa tindakannya mengandung unsur pendustaan terhadap apa yang ditunjukkan oleh firman Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى–,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu.” (al-Maidah: 3).

Karena hal yang diada-adakannya ini dan diyakininya sebagai (ajaran) agama sejatinya tidaklah termasuk bagian dari agama kala turunnya ayat tersebut, maka sebagai konsekwensi kebid’ahan yang dibuat-buatnya tersebut seakan-akan agama ini belumlah sempurna.

Kedua:

Bahwa tindakannya membuat-buat perkara baru mengandung unsur mendahului Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– dan RasulNya dan melanggar hukum-hukum Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى–, sementara barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim.

Ketiga:

Bahwa tindakannya membuat-buat perkara baru mengharuskan menjadikan dirinya sebagai sekutu beserta Allah ta’ala dalam menetapkan hukum di antara hamba-hambaNya, sebagaimana Allah      –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– berfirman,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah?.” (asy-Syura: 21).

Keempat:

Bahwa tindakannya membuat-buat perkara baru mengharuskan satu dari dua hal, yaitu, bisa jadi menganggap bahwa Nabi –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– tidak tahu amalan ini termasuk bagian dari agama, dan bisa jadi beliau – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– mengetahuinya akan tetapi beliau menyembunyikannya. Kedua anggapan ini merupakan celaan terhadap Nabi  – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–, Yang pertama menuduh beliau – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bodoh tentang hukum-hukum syariat. Adapun kedua, ia telah menuduh beliau meyembunyikan sesuatu yang diketahuinya termasuk bagian dari agama Allah – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– .

Kelima:

Bahwa tindakannya membuat-buat perkara baru mengantarakan orang-orang untuk bertindak serampangan terhadap syariat Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– dan memasukkan ke dalam syariat sesuatu yang bukan termasuk darinya, dalam persoalan aqidah (keyakinan), ucapan, dan tindakan. Ini merupakan pelanggaran terbesar yang dilarang oleh Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى–.

Keenam:

Bahwa tindakannya membuat-buat perkara baru mengantarkan kepada pemecahbelahan ummat dan menceraiberaikannya, di mana masing-masing individu atau kelompok mengambil jalan masing-masing yang ditempuhnya dan menuduh pihak lain lalai, sehingga mengakibatkan ummat ini jatuh ke dalam perkara yang dilarang oleh Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– dalam firmanNya,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (Ali Imran: 105).

Dan, jatuh pula ummat ini ke dalam perkara yang telah diwanti-wanti oleh Allah dalam firmanNya,

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan  kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (al-An’am: 159).

Ketujuh:

Bahwa tindakannya membuat-buat perkara baru akan menjadikannya tersibukkan dengan perbuatan bid’ahnya daripada tersibukkan dengan perkara yang disyariatkan. Karena, tidaklah suatu kaum membuat-buat suatu perkara baru (bid’ah) melainkan mereka telah menghancurkan perkara yang berlawanan dengannya dari syariat.

Sungguh apa-apa yang datang di dalam kitab Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– atau yang shahih dari Rasulullah – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– berupa syariat telah mencukupi bagi orang yang ditunjukkan oleh Allah kepadanya dan mencukupkan diri dengannya. Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ * قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.

Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.’ ” (Yunus: 57-58).

Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– juga berfirman,

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Jika datang kepadamu petunjuk dariKu, maka (ketahuilah) barang siapa mengikuti petunjukKu, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)

Saya memohon kepada Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– semoga menunjukkan kepada  kita dan saudara kita kaum Muslimin jalanNya yang lurus, dan semoga pula Dia –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– menolong kita di dunia dan akhirat, sesungguhnya Dia Maha Dermawan lagi Maha Mulia. Segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam. (Redaksi)

Sumber :

Kalimat Yasiroh Tata’allaqu Bi-Syahri Sya’ban, Syaikh Muhammad bin Shaleh bin Utsaimin- 5-, http://www.saaid.net/mktarat/12/8-10.htm