Tanamkan kejujuran pada diri anak-anak sejak dini, karena siapa yang tumbuh di atas sesuatu maka sesuatu itu akan menjadi tabiatnya manakala dia dewasa, anak tumbuh di atas kejujuran akan dewasa memegang kejujuran. Betapa perlunya kita kepada kejujuran pada saat ini, saat di mana segala lini kehidupan kehilangan kejujuran, berganti dengan kebohongan dan kedustaan, akibatnya seperti yang kita rasakan dan alami, buah pahit dari ketidakjujuran.

Ibnu Mas’ud, salah seorang sahabat besar, telah menghiasi dirinya dengan sifat mulia ini sejak dia masih anak-anak, pada saat dia harus bekerja untuk menafkahi dirinya karena bapaknya wafat ketika dia masih kecil, dia telah memegang kejujuran, kisah berikut berbicara tentang itu.

Ibnu Mas’ud berkata, dulu aku adalah seorang anak yang mendekati baligh, saat itu aku sedang mengembala kambing milik Uqbah bin Abu Mu’ith. Datanglah Nabi saw beserta Abu Bakar ash-Shiddiq yang sedang lari dari kejaran kaum musyrikin, keduanya berkata kepadaku, “Wahai anak kecil, apakah kamu memiliki susu untuk kami minum?” Aku menjawab, “Sesungguhnya aku adalah seorang anak yang diberi amanah dan aku sama sekali tidak dapat memberikan minum untuk kalian berdua.”

Lalu Nabi saw berkata, “Apakah kamu punya seekor anak kambing betina yang belum di sentuh pejantan?” “Ya, aku punya. “ Jawabku. Lalu aku membawakannya untuk mereka berdua, kemudian Nabi saw memegangnya, mengusap ambing susunya dan mendo’akannya, akhirnya susunya penuh, setelah itu Abu Bakar mengambil sebuah batu yang berbentuk wadah, kemudian beliau memerahnya dan Abu Bakar pun meminumnya, begitu pula aku.

Lalu Rasulullah saw berkata, “Mengempislah!” Akhirnya susu itu kempis, setelah itu aku mendatangi beliau dan berkata, ‘Ajarkanlah ungkapan itu kepadaku!’ Rasul berkata, “Sesungguhnya kamu adalah anak terpelajar.” Akhirnya aku mengambil (menghafal) dari beliau tujuh puluh surat yang tidak ada seorang pun yang dapat menandingiku padanya.”

Berkat kejujuran sejak kecil maka ketika dewasa Ibnu Mas’ud patut meriwayatkan dan menyampaikan hadits beliau saw kepada umat yang berbunyi, “Peganglah kejujuran karena kejujuran itu mengajak kepada kebaikan dan kebaikan itu mengajak kepada surga, dan seorang laki-laki senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur sehingga ditulis di sisi Allah sebagai as-Shiddiq.”

Kisah mirip terjadi pada Umar bin al-Khatthab manakala dia sebagai Khalifah berkeliling meninjau keadaan rakyat, Umar sampai di pinggiran kota Madinah, dia bertemu dengan seorang anak yang sedang mengembala domba.

Umar berkata kepada anak tersebut, “Wahai anak, berikan seekor domba kecil kepadaku.” Anak itu menjawab, “Domba ini adalah amanat di tanganku. Bukan hakku untuk memberikan seekor darinya kepadamu.” Umar berkata, “Katakan saja kepada majikanmu bahwa seekor serigala telah memangsanya dan tidak ada yang mengetahui.” Maka anak tersebut menjawab, “Kalau tidak ada yang mengetahui, lalu apakah Allah juga tidak mengetahui?”

Kejujuran sekaligus muraqabah (merasa diawasi oleh Allah), karena keyakinan bahwa Allah melihat dan mengetahui dari seorang anak, tanpa ada rasa takut atau gentar sekali pun di hadapan orang dewasa. Benar, kejujuran hanya bisa langgeng jika disertai dengan muraqabah, adapun kejujuran dengan muraqabah manusia maka ia hanya bersifat sesaat dan insidentil, cepat atau lambat akan lenyap dan pupus.

Seorang ibu dari bumi Hejaz mengirim seorang anaknya bersama rombongan yang hendak berangkat ke Syam, ibu menitipkan uang seribu dinar kepada anak dalam sebuah kantong untuk disampaikan kepada salah seorang kerabatnya di Syam. Sebelum berangkat ibu berwasiat kepada anak, “Anakku, bertakwalah kepada Allah dan berjanjilah kepada ibu jangan berdusta.”

Rombongan berangkat, dalam perjalanan kawanan perampok menghadang mereka, perampok menguras seluruh harta rombongan tanpa menyisakan apa pun, yang tersisa adalah seorang anak laki-laki, dia dibawa menghadap kepada kepala perampok.

Kepala perampok berkata, “Hai bocah, apa yang kamu bawa?” Anak menjawab dengan jujur, “Uang.” Kepala perampok terhenyak dengan jawaban anak. Dia kembali bertanya, “Berapa jumlahnya?” Anak menjawab, “Seribu dinar.” Kepala perampok tersentak untuk kali kedua. Kepala perampok berkata, “Mana uang itu?” Maka dengan ringan anak itu mengeluarkan uang dari kantongnya dan memberikannya kepada kepala perampok.

Kepala perampok meminta salah seorang anak buahnya menghitung, ternyata jumlahnya seperti yang dikatakan oleh anak. Kepala perampok berkata, “Hai bocah, mengapa kamu mengatakan yang sebenarnya kepada kami?” Anak menjawab, “Ibuku telah memintaku berjanji supaya aku tidak berkata dusta.”

Seketika itu kepala perampok gemetar, pedangnya lepas dari tangannya, dia memerintahkan anak buahynya mengembalikan uang kepada anak sekaligus seluruh barang yang mereka rampas dari rombongan. Dia dan anak buahnya meninggalkan tempat dan kabarnya setelah itu dia bertaubat dan menjadi ahli ibadah. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)