uangAda saatnya seseorang itu berada dalam kesulitan yang menghimpit ekonominya. Entah karena tuntutan kebutuhan hidup dalam kesehariannya, atau karena adanya musibah yang menimpa pada diri atau keluarganya yang mengharuskan ia meminjam uang atau barang kepada orang lain untuk meringankan kebutuhan atau musibah yang sedang menimpanya. Bagaimanakah islam memandang perkara hutang yang tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat kita, khususnya di antara umat islam itu sendiri?

Makna hutang

Hutang dalam bahasa arab lebih dikenal dengan nama Ad-Dain. Secara terminologi definisi hutang (Ad-Dain) telah dijelaskan oleh para ulama ahli fikih, namun definisi yang paling gamblang ialah apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Nujaim yang mengatakan, “Utang adalah hak yang menjadi sebuah kewajiban/tanggungan (yang harus dipenuhi).”

Hutang (ad-dain) itu mencangkup sesuatu yang bersifat fisik (harta benda) ataupun non fisik berupa hak-hak yang menjadi sebuah kewajiban, seperti sholat yang tertinggal, zakat yang belum terbayarkan, atau puasa yang belum ditunaikan. Hutang (ad-dain) juga mencakup perkara yang terjadi yang disebabkan oleh adanya jual beli, sewa menyewa, pinjaman, kehilangan, tindakan kriminal ataupun yang lainnnya.

Sebagai contoh, Ahmad menjual buku kepada Amir. Akan tetapi, Amir tidak langsung membayar harga buku tersebut kepada Ahmad saat terjadi transaksi. Ia meminta penangguhan pembayaran selama dua hari. Dzimmah (kewajiban/tanggungan) yang berada di tangan Amir untuk membayar harga buku tersebut masuk dalam ruang lingkup hutang, dimana perkara tersebut terjadi karena adanya transaksi jual beli yang mereka lakukan.

Dalam bahasa arab, hutang juga dikenal dengan nama Al-Qardh. Sejatinya kedua kalimat tersebut memiliki substansi yang sama, yaitu sama-sama dimaknai dengan hutang atau pinjaman. Hanya saja yang membedakan kedua istilah tersebut dalam disiplin ilmu fikih ialah ruang lingkupnya. Dimana Ad-Dain memiliki cakupan yang lebih luas daripada Al-Qardh, ia mencakup utang yang bersifat fisik (harta benda) maupun yang bersifat non fisik berupa kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungannya yang harus dipenuhi. Adapun Al-Qardh, istilah ini hanya dikhususkan untuk hutang-hutang yang berbentuk fisik saja.

Pada asalnya seseorang itu terlepas dari tanggungan-tanggungan, entah itu berupa utang, kewajiban, ataupun bentuk tanggungan yang lainnya selama belum ada sebab-sebab yang menjadikan dirinya terbebani oleh tanggungan tersebut. Adapun salah satu sebab yang menjadikan seseorang memiliki tanggungan ialah adanya akad jual beli, sewa menyewa, pinjaman dan lain-lain.

Nabi pernah berhutang

Nabi juga manusia yang berlaku baginya tabiat-tabiat kemanusiaan yang biasanya terjadi. Seperti dalam memenuhi kebutuhannya, dimana beliau terkadang memiliki kebutuhan yang mengharuskan dirinya berhutang atau meminjam kepada orang lain yang sedang memiliki kelapangan. Semua peristiwa itu tidak lain adalah sebagai pelajaran bagi umatnya tentang bagaimana etika beliau dalam bermuamalah dengan perkara tersebut. Di antara hadits yang menunjukkan bahwa beliau juga pernah berhutang ialah:

1. Hadits dalam riwayat Bukhari dari sahabat Abu Hurairah yang menceritakan:

أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah untuk menagih utang kepada beliau, namun orang tersebut memintanya dengan nada keras yang membuat para sahabat beliau marah. Lantas Nabi berkata, “Biarkan saja, sesungguhnya si empunya hak memiliki hak untuk mengatakan apa saja, belikan unta untuknya dan berikan kepadanya.” Para sahabat berkata, “Kami tidak mendapatkan unta yang sepandan, melainkan yang lebih baik dari untanya.” Nabi berkata, “Beli saja unta itu dan berikan kepadanya, sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam pengembalian (utang).” (HR. Bukhari: 2390)

2. Hadits riwayat Bukhari dari sahabat Jabir bin Abdillah yang mengatakan:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

“Aku mendatangi Nabi yang waktu itu sedang berada di Masjid, dimana beliau memiliki hutang kepadaku. Kemudian beliau melunasi hutang itu dan menambahkannya.” (HR. Bukhari: 2394)

Dari dua hadits di atas kita bisa mengetahui bahwa Nabi pernah berhutang kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan beliau memberikan petunjuk bahwa orang yang paling baik saat melunasi hutangnya ialah orang yang melebihkan dari jumlah pinjamannya, selama kelebihan itu murni atas insiatif dari dirinya dan bukan syarat yang diberikan oleh orang yang meminjamkannya. Karena jika kelebihan itu berupa syarat yang diberikan oleh pihak yang meminjamkan, tambahan tersebut masuk dalam kategori riba.

Hukum berhutang

Pada dasarnya meminjam atau berhutang itu mubah (boleh) hukumnya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi. Ini adalah hukum asal muamalah berhutang atau meminjam. Akan tetapi hukum tersebut bisa berubah-rubah sesuai dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya.

1. Haram

Berhutang akan menjadi haram hukumnya jika dirinya meniatkan untuk tidak mengembalikan utang/pinjaman tersebut. Karena perkara itu termasuk jalan memakan harta orang lain dengan cara batil. Hal ini sebagaimana Firman Allah:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْباطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar).” (QS. An-Nisa: 29)

Perkara ini juga merupakan bentuk kedzaliman terhadap orang lain, karena apa yang menjadi haknya telah diambil dengan cara yang batil, hanya saja cara tersebut dimanipulasi dengan cara yang pada asalnya boleh, yaitu berhutang. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah telah bersabda,

مطل الغني ظلم، وإذا أتبع أحدكم على ملئ فليتبع

“Menunda pembayaran (utang) bagi orang yang mampu adalah kezaliman, jika salah seorang dari kalian memindahkan hutang itu pada orang yang kaya, maka terimalah ia (pemindahan hutangnya).” (HR. Bukhari: 2400, Abu Dawud: 3345)

Jika menunda pembayaran hutang di saat dirinya sudah mampu termasuk dalam bentuk kezaliman, maka bagaimana jika ia berhutang dengan niatan untuk tidak mengembalikannya? Tentu ini adalah bentuk kezaliman yang nyata.

2. Makruh

Berhutang juga bisa menjadi makruh hukumnya jika dirinya memiliki kecukupan dan kelapangan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari serta tidak adanya kebutuhan yang mendesak yang menuntutnya untuk berhutang. Dimana pada asalnya dirinya tidaklah membutuhkan bantuan orang lain karena berada dalam kelapangan. Sehingga tatkala ia berhutang berarti ia telah mendatangkan pada dirinya kewajiban/tanggungan baru yang sebenarnya ia tidaklah membutuhkannya. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:

لَا تُخِيفُوا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا ” قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: ” الدَّيْنُ ”

“Janganlah kalian berikan rasa takut ke dalam diri kalian setelah diri itu tengan.” Para sahabat bertanya, “Apa hal tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Hutang.” (HR. Ahmad: 17320)

Umar bin Khattab juga pernah berkata, “Hindarilah berhutang, karena orang yang berhutang mengawali hidupnya dengan kegelisahan dan mengakhirinya dengan kebinasaan.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwattha’)

3. Wajib

Di lain kesempatan, berhutang itu akan menjadi wajib hukumnya, yaitu tatkala dirinya dililit oleh sebuah kebutuhan yang sangat mendesak yang menuntutnya untuk berhutang, dan apabila berhutang itu tidak dilakukannya, maka yang akan terjadi adalah kemudharatan yang jauh lebih besar. Oleh karena itu, dalam kondisi semacam ini ia wajib untuk berhutang.

Sebagai contoh, seorang penculik yang meminta tebusan uang puluhan juta rupiah kepada orang tua anak yang diculiknya, apabila tidak dipenuhi maka anak tersebut akan dibunuhnya. Sementara orang tua anak tersebut tidaklah memiliki uang sebanyak itu. Dalam kondisi semacam ini, orang tua anak tersebut wajib dan bersegera untuk berhutang demi menebus permintaan penculik anaknya. Karena jika tidak dipenuhi, hal itu akan mendatangkan kemudharatan yang lebih besar, yaitu hilangnya nyawa anaknya.

Dalam kasus di atas, ada dua kemudharatan yang ada di tangan orang tua anak tersebut. Pertama, hilangnya nyawa anaknya jika tuntutan penculik tersebut tidak dipenuhi. Kedua, ia harus menanggung hutang puluhan juta rupiah. Dari dua kemudharatan itu, kemudharatan pertama jauh lebih besar dari pada yang kedua. Sehingga, ia wajib memilih kemudharatan yang lebih ringan demi menolak kemudharatan yang jauh lebih besar. Hal ini sebagaimana sebuah kaidah fiqih yang mengatakan, “Jika ada dua kemudharatan yang tergabung dalam satu waktu, maka pilihlah kemudharatan yang jauh lebih ringan dari keduanya.”

4. Sunnah

Berhutang juga bisa menjadi sunnah hukumnya, seperti tatkala dirinya sangat membutuhkan pinjaman (hutang) tersebut untuk mendamaikan dua orang yang sedang berselisih. Di samping itu, dirinya juga memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutang tersebut dalam jangka waktu yang jelas. Dalam kasus ini, berhutang hukumnya sunnah karena demi kebaikan orang lain yang mendesak, yaitu mendamaikan orang lain yang sedang berselisih. Dimana Allah berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Maidah: 2)

Jangan biasakan berhutang

Memang pada asalnya berhutang hukumnya mubah (boleh). Akan tetapi hukum tersebut bukan berarti memberikan ruang agar kita bermudah-mudahan dalam perkara berhutang. Apabila tidak ada kebutuhan yang mendesak sekali, meninggalkan berhutang adalah jalan yang terbaik. Karena berhutang itu sama saja mendatangkan kesulitan atau kesusahan lain ke dalam tanggung jawabnya. Dimana kewajiban mengembalikan pinjaman adalah beban tersendiri yang sangat dirasakan oleh si peminjam. Inilah yang bisa menjadikan hidup seseorang berada dalam kesusahan, rasa takut, dan kegelisahan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits dan atsar sebelumnya.

Meskipun berhutang itu boleh, namun ia tidak dianjurkan dalam syariat islam, kecuali bagi mereka yang sangat membutuhkannya dan ia merasa mampu untuk mengembalikannya.

Banyak hadits Nabi yang menunjukkan bahwa berhutang bukanlah sesuatu yang dianjurkan dalam islam. Bahkan hadits-hadits tersebut merupakan peringatan agar seorang muslim untuk tidak menggampangkan dirinya dalam berhutang. Di antaranya ialah:

1. Nabi sering berdo’a kepada Allah meminta perlindungan dari lilitan hutang.

Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang menceritakan bahwa Nabi sering berlindung kepada Allah dari lilitan hutang dengan mengucapkan:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keluh kesah dan rasa sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan penakut, dari lilitan utang dan laki-laki yang menindas.” (HR. Bukhari: 5425, Abu Dawud: 1541, An-Nasa’i: 5476, Ahmad: 12616)

Dan tatkala beliau ditanya mengapa sering berlindung dari lilitan hutang, beliau bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ، حَدَّثَ فَكَذَبَ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ

“Sesungguhnya, ketika seseorang dililit hutang, jika berbicara ia akan berdusta, dan jika berjanji ia akan mengingkari.” (HR. Bukhari: 2397, Muslim: 1353, Abu Dawud: 880, An-Nasa’i: 1309, Ahmad: 24578)

Oleh karena itu, Rasulullah kerap kali berdoa kepada Allah meminta perlindungan dari lilitan hutang. Karena lilitan hutang itu akan mendatangkan kemudharatan yang lain, bisa berupa kata-kata dusta dan khianat saat dirinya berkilah belum bisa melunasi hutangnya. Inilah yang kemudian akan mendatangkan rasa takut, tidak tenang, susah, gelisah bahkan bisa mengakibatkan kebinasaan bagi dirinya sendiri.

2. Orang mati yang masih memiliki tanggungan hutang tidak berhak untuk disholati oleh Rasulullah

Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah:

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يصلي على رجل مات وعليه دين فأتى بميت فقال: أعليه دين ؟. قالوا: نعم ديناران. قال: صلوا على صاحبكم. فقال أبو قتادة الأنصاري: هما علي يارسول الله. قال: فصلى عليه رسول الله صلى الله عليه و سلم. فلما فتح الله على رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: أنا أولى بكل مؤمن من نفسه فمن ترك دينا فعلي قضاؤه ومن ترك مالا فلورثته

“Rasulullah tidaklah mensholati orang mati yang masih memiliki tanggungan hutang. Kemudian didatangkanlah jenazah kepada beliau, beliau pun bertanya, “Apakah ia masih memiliki hutang?” Orang-orang menjawab, “Iya, ia meninggalkan hutang dua dinar.” Nabi bersabda, “Shalatilah saudara kalian ini.” Kemudian Abu Qatadah berkata, “Wahai Rasulullah, aku yang akan menanggung hutannya.” Lantas Rasulullah pun menshalatinya. Dan tatkala penaklukan kota Makkah, beliau bersabda, “Aku lebih utama dari tiap diri orang mukmin, maka barangsiapa yang meninggalkan hutang, akulah yang akan melunasinya. Dan barangsiapa meninggalkan harta, maka ia menjadi hak ahli warisnya.” (HR. Bukhari: 2295, Muslim: 4242, Abu Dawud: 3343)

3. Utang akan menunda seseorang dari masuk surga

Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah bersabda:

والذي نفسي بيده لو أن رجلا قتل في سبيل الله ثم أحيى ثم قتل ثم أحيى ثم قتل وعليه دين ما دخل الجنة حتى يقضي عنه دينه

“Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, seandainya ada seseorang yang mati di jalan Allah kemudian hidup lagi, kemudian mati lagi di jalan Allah dan hidup lagi, kemudian ia mati lagi di jalan Allah, maka orang tersebut tidak akan masuk surga sampai ia lunasi hutangnya.” (HR. An-Nasa’i: 4684, Ahmad: 22493)

4. Orang yang berhutang dengan niatan tidak ingin mengembalikannya, maka ia akan dibinasakan oleh Allah

Ini adalah peringatan keras dari Allah bahwa perkara hutang bukanlah perkara yang sepele. Terlebih jika ia berniat untuk tidak melunasinya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa meminjam harta orang lain dengan niatan untuk mengembalikannya, maka Allah akan membantu proses pelunasannya. Dan barangsiapa ia berniat untuk merusaknya, maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari: 2380, Ibnu Majah: 2411)

Adab-abab bagi yang berhutang

Agar berhutang membawa berkah bagi yang meminjam dan juga yang meminjaminya, hendaknya orang yang berhutang untuk mengindahkan beberapa adab berhutang berikut ini:

1. Mencatat (membukukan) hutang

Hendaknya orang yang berhutang untuk mencatat/membukukan nominal pinjaman sekecil apa pun jumlahnya. Meskipun pihak yang meminjamkan (debitor) sudah memberikan kepercayaan kepada yang meminjamnya. Hal ini bertujuan agar hutang tersebut tidak terlupakan, terlebih jika nominalnya kecil. Karena muamalah dengan akad utang (pinjaman) sekecil apa pun nominalnya, ia tetap sebagai akad hutang. Dan jika pihak yang meminjamkan belum menghalalkan pinjaman itu, maka ia akan tetap menjadi haknya sampai hari kiamat.

Mencatat hutang juga sebagai pengamalan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu melakukan hutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Adapun hikmah pembukuan tersebut, yaitu agar hutang-hutang yang menjadi kewajibannya tidak terlupakan. Karena sifat manusia itu gampang lupa, terlebih dalam perkara-perkara yang dianggapnya kecil. Atau kematian yang bisa saja merenggutnya sebelum ia melunasi hutang-hutangnya, dan keberadaan pembukuan itu sebagai bukti agar para ahli warisnya untuk bisa segera melunasi hutang itu setelah meninggalnya. Hal ini sangat penting, karena hutang itu dibawa mati, maksudnya kewajiban melunasi hutang tidaklah terputus dengan adanya kematian, akan tetapi ia akan terus berlanjut sampai hari penghisaban.

2. Berhutang di waktu mendesak saja

Hendaklah seseorang tidak berhutang melainkan karena kebutuhannya yang sangat mendesak sekali dan dirinya merasa mampu untuk melunasinya. Karena hutang itu hanya akan mendatangkan tambahan beban hidup yang akhirnya bisa membuatnya gelisah, tidak tenang, dan susah. Oleh karena itu, Rasulullah sering berdoa meminta perlindungan kepada Allah dari lilitan hutang.

3. Menghindari hutang yang mengandung unsur riba

Hutang yang terbebas dari unsur riba sudah bisa dikatakan sebagai tambahan beban hidup. Karena orang yang berhutang berarti telah membebankan atas dirinya pelunasan hutang yang wajib untuk ditunaikan. Dan Rasulullah pun telah berlindung dari yang namanya lilitan hutang. Maka, bagaimana kondisinya jika hutang masih diembel-embeli unsur riba? Tentu hal ini akan semakin membebankan diri si peminjam untuk bisa melunasinya. Oleh karena itu, hindarilah hutang yang disyaratkan adanya tambahan oleh orang yang meminjamkan.
Dalam sebuah kaidah fikih dikatakan,

كل قرض جر نفعا فهو ربا

“Setiap transaksi peminjaman yang menghasilkan keuntungan, maka ia adalah riba.”

Dalam kasus semacam ini, bukannya pihak debitor (yang meminjamkan) telah memberikan keringanan pada kreditor (peminjam), akan tetapi ia justru telah membuat kreditor semakin susah karena terbebani oleh pelunasan hutang dan tambahan yang disyaratkan. Perkara ini jelas bertentangan dengan konsep islam untuk saling membantu di antara kaum muslimin dalam kebaikan dan takwa, salah satunya ialah lewat transaksi utang piutang.

4. Bertekad segera melunasinya

Ketika seorang muslim berhutang kepada saudaranya sesama muslim, maka hendaklah ia bertekad semenjak awal untuk segera melunasi hutangnya saat dirinya sudah mampu. Ini adalah sebuah kebaikan yang harus tertanam dalam diri seorang muslim saat berhutang, dimana dirinya telah mendapatkan kebaikan orang lain dengan memberikan pinjaman terhadapa dirinya. Oleh karena itu, ia harus membalas kebaikan dengan kebaikan, salah satunya ialah dengan segera melunasi hutangnya jika sudah ada kelapangan dalam dirinya.

Dengan tekad dan niatan yang baik semacam ini, maka Allah akan membantunya dengan memberikan kemudahan proses pelunasan hutang yang menjadi tanggung jawabnya. Ini adalah janji Allah, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah, “Barangsiapa meminjam harta orang lain dengan niatan untuk mengembalikannya, maka Allah akan membantu proses pelunasannya.” (HR. Bukhari: 2380, Ibnu Majah: 2411)

Adapun menunda-nunda pelunasan hutang padahal dirinya sudah mampu, sikap ini merupakan bentuk kezaliman terhadap orang yang selama ini telah berbuat baik kepadanya. Orang yang bersikap seperti ini, maka ia akan berdosa karena telah menzalimi saudaranya dengan tidak segera melunasi hutangnya padahal ia telah mampu.

5. Mendoakan kebaikan bagi yang meminjami kala membayar hutangnya

Apabila orang yang berhutang telah mampu untuk melunasi hutangnya, maka segeralah tunaikan hutang itu agar tidak menjadi beban bagi dirinya. Dan tatkala ia melunasi hutangnya, janganlah lupa untuk mendo’akan kebaikan baginya. Ia harus ingat bahwa selama ini saudaranya tersebut telah banyak berbuat baik terhadap dirinya dengan memberikan pinjaman tersebut, maka sudah selayaknya ia membalas kebaikan itu dengan mendo’akan kebaikan untuknya.
Adapun bacaan do’a yang disunnahkan ialah sebagaimana hadits yang terdapat dalam riwayat An-Nasa’i yang menceritakan bahwa Rasulullah pernah meminjam uang kepada salah seorang sahabat sejumlah empat puluh ribu. Dan tatkala melunasi hutang tersebut beliau berdo’a:

بارك الله لك في أهلك ومالك إنما جزاء السلف الحمد والأداء

“Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu dalam keluarga dan hartamu. Sesungguhnya balasan meminjami adalah pujian dan pembayaran (pelunasan).” (HR. An-Nasa’i: 4683, Ibnu Majah: 2424)

6. Memberikan tambahan lebih kala melunasi hutangnya

Balasan terbaik dari perbuatan meminjamkan sesuatu kepada orang lain ialah berupa pujian dan pelunasan dari pinjaman itu sendiri. Apabila seseorang hendak memberikan tambahan dari nominal pinjaman saat melunasinya sebagai bentuk terima kasih, maka hal itu baik dan merupakan sebuah kebaikan selama tambahan itu bukanlah sesuatu yang disyaratkan oleh pihak yang meminjamkan. Karena jika ia adalah syarat yang tentukan oleh yang meminjamkan, maka hukumnya adalah riba yang jelas sekali diharamkan. Dimana setiap transaksi peminjaman yang menghasilkan keuntungan, ia dihukumi sebagai riba.

Jika ia adalah murni sebagai bentuk ucapan terima kasih atas kebaikan yang selama ini didapatkannya, hal itu tidaklah mengapa. Justru merupakan sebuah kebaikan yang besar sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah tatkala mengembalikan unta pinjamannya dengan unta yang lebih baik, kemudian beliau pun bersabda:

خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam pengembalian (hutangnya).” (HR. Bukhari: 2390, Muslim: 4194, At-Tirmidzi: 1317, Ahmad: 9390)

Wallohu a’lam bishowab

Oleh: Saed As-Saedy

Referensi:

1. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, Wizarotul Auqaf Wa Asy-Syu’un Al-Islamiyah, Kuwait.
2. Fiqh As-Sunnah, As-Sayyid As-Sabiq
3. Harta Haram Muamalat Kontemporer, DR. Erwandi Tarmizi, MA, PT. Berkat Mulia Insani, Bogor. Cet. Ke-4, April 2013
4. Kumpulan Do’a Dalam Al-Qur’an dan Hadits, Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Yayasan Ibnu Sina, Bekasi.
5. Dan referensi yang lainnya