Pada lisan terdapat dua penyakit yang besar. Pertama, Penyakit “berbicara dengan kebatilan.” Kedua, Penyakit “Diam dari Berbicara yang Benar”. Orang yang diam dari berbicara yang benar adalah setan yang bisu, bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, apabila tidak takut atas dirinya akan dibunuh dan yang lainnya. Sedangkan orang yang berbicara dengan kebatilan, merupakan setan yang pandai berbicara dan bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kebanyak manusia menyimpang dalam hal berbicara dan diamnya adalah dalam kedua jenis ini.

Penyakit-penyakit lisan termasuk  penyakit yang sangat berhaya, karena orang yang menderita penyakit ini akan mudah sekali baginya untuk meremehkan penjagaan dan pemeliharaan diri dari memakan sesuatu yang haram, melakukan tindak kezhaliman, mencuri, sulit untuk mengekang gerakan lisannya. Sekalipun boleh jadi terkadang pelakunya memperlihatkan diri sebagai orang yang rajin beribadah, namun Anda melihatnya tidak dapat menjaga lisannya, ia berbicara dengan kata-kata yang akan menyebabkan kemurkaan Allah ‘Azza wa Jalla, tidak terlintas sama sekali dalam benaknya bahwa boleh jadi disebabkan satu kata yang dimurkai Allah ‘Azza wa Jalla tersebut ia akan dimasukkan ke dalam Neraka. Kita mohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla keselamatan dan afiyat.

Di antara bentuk penyakit lisan “berbicara dengan kebatilan” adalah :

  1. Ghibah (Menggunjing)

Yaitu, Anda menyebutkan kejelekan saudara anda (di belakangnya), yang dia tidak suka hal itu diketahui orang lain.

Tidak diragukan bahwa menggunjing (ghibah) haram dilakukan sesuai dengan kesepakatan kaum muslimin. Keharaman tindakan ini sedemikian jelas banyak disebutkan dalam kitab dan sunnah, dan ijma’ ummat. Di antaranya, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman ! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. (Qs. al-Hujurat : 12)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ ، لاَ يَخُونُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ ، عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ ، التَّقْوَى هَا هُنَا ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْتَقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمِ

Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidak boleh mengkhianatinya, tidak boleh mendustainya, tidak boleh menghinakannya. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram kehormatannya, hartanya dan darahnya. Takwa itu di sini. Cukuplah seseorang telah melakukan keburukan kala ia menghina atau merendahkan saudaranya sesama muslim. (HR. at-Tirmidzi)

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوْا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتَهُمْ؛ فَإِنَّهُ مَنِ اتّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتّبِعُ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعُ اللهُ عَوْرَتَهُ، يَفْضَحُهُ فِي بَيْتِهِ

Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, namun keimanan itu belum masuk ke dalam hatinya! Janganlah kalian mengghibah (menggunjing) kaum Muslimin. Jangan pula mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, (maka) Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan membeberkan aibnya, meskipun dia di dalam rumahnya. (HR. Abu Daud)

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرْيْكٍ قَالَ شَهِدْتُ الْأَعْرَابَ يَسْأَلُوْنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَعَلَيْنَا حَرَجٌ فِي كَذَا ؟ أَعَلَيْنَا حَرَجٌ فِي كَذَا ؟ فَقَالَ لَهُمْ  : ( عِبَادَ اللهِ وَضَعَ اللهُ الْحَرَجَ إِلَّا مَنْ اقْتَرَضَ مِنْ عِرْضِ أَخِيْهِ شَيْئًا . فَذَاكَ الَّذِي حَرَجَ ) فَقَالُوْا يَا َسُوْلَ اللهِ هَلْ عَلَيْنَا جُنَاحٌ أَنْ لَانَتَدَاوَى ؟ قَالَ ( تَدَاوَوْا عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ مَعَهُ شِفَاءً . إِلَّا الْهَرَمُ ) قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ مَاخَيْرُ مَا أُعْطِيَ الْعَبْدُ ؟ قَالَ ( خُلُقٌ حَسَنٌ )

Dari Usamah bin Syarik, ia berkata,  “Saya menyaksikan beberapa orang Arab badui bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berdosakah kami jika melakukan ini? Berdosakah kami jika melakukan seperti ini?” Beliau lalu bersabda kepada mereka: “Wahai hamba Allah, Allah akan menghapus dosa kecuali orang yang menyebarluaskan (aib) saudaranya, itulah dosa.” Mereka bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, berdosakah kami jika kami tidak berobat?” beliau menjawab: “Wahai hamba Allah, berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah Subhaanahu tidak menurunkan penyakit melainkan Dia juga menurunkan obatnya, kecuali sakit pikun.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kebaikan yang paling baik yang diberikan kepada seorang hamba?” beliau menjawab: “Akhlak yang mulia.”(HR. Ibnu Majah)

عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا اَلْاِسْتِطَالَةَ فِى عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

Dari Sa’id bin Zaed dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya riba yang paling buruk adalah merusak kehormatan seorang muslim tanpa hak. (HR. Abu Dawud)

Sebagaimana menggunjing terhadap orang yang masih hidup terlarang, haram hukumnya, maka demikian pula halnya menggunjing orang yang telah meninggal dunia.

Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ صَاحِبُكُمْ فَدَعُوهُ وَلَا تَقَعُوا فِيهِ

Jika teman kalian meninggal, maka biarkanlah ia dan jangan menjelek-jelekkannya. (HR. Abu Dawud)

  1. Namimah (Adu Domba)

Yaitu, Anda menukilkan perkatan sebagian orang kepada sebagian yang lainnya untuk menimbulkan kerusakan.

Melakukan Namimah haram hukumnya sesuai ijma’ kaum muslimin. Keharaman tindakan ini sedemikian jelas banyak disebutkan dalam kitab dan sunnah, dan ijma’ ummat. Di antaranya, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ، هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ،  مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ

Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, suka mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah, yang merintangi segala yang baik, yang melampoi batas dan banyak dosa. (Qs. al-Qalam : 10-12)

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ

Celakalah bagi setiap humazah, lumazah.(Qs. al-Humazah : 1)

Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “mereka adalah orang-orang yang melakukan namimah, yang memisahkan di antara orang-orang yang pada awalnya menjalin kecintaan, orang-orang yang mencari kebebasan untuk mengumbar aib orang lain. (Tafsir al-Baghawi, 8/526)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ

Tidak akan masuk Surga Qattaat.(HR. al-Bukhari)  Qattaat, yakni, an-Nammaam (tukang adu domba). Dalam riwayat lain,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

Tidak akan masuk Surga Nammaam (tukang adu domba).(HR. Muslim)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati sebuah kebun di Madinah atau Makkah, beliau mendengar suara manusia yang tengah disiksa di dalam kuburnya. Lalu, beliau bersabda,

يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ

“Keduanya tengah disiksa, tidaklah keduanya disiksa karena melakukan dosa besar (menurut anggapan mereka), Kemudian beliau bersabda,

بَلَى كَانَ أَحَدُهُمَا لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَكَانَ الْآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ

“bahkan (sesungguhnya hal itu merupakan perbuatan dosa besar), salah seorang di antara keduanya tidak menutup diri kala kencing, sedangkan yang seorang lagi melakukan adu domba… (HR. al-Bukhari)

Ketika upaya adu domba masuk ke dalam telinga Anda, apa yang hendaknya Anda lakukan ?

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan : setiap orang yang disampaikan kepadanya upaya adu domba, di mana dikatakan kepadanya, ‘si fulan mengatakan tentang diri mu atau melakukan ini dan itu terhadapmu, hendaknya ia melakukan enam  hal;

Pertama, Hendaknya ia tidak membenarkannya, karena pelaku adu domba adalah orang yang fasik.

Kedua, Hendaknya ia melarang orang tersebut dari melakukan adu domba.

Ketiga, Hendaknya murka kepadanya karena Allah ‘Azza wa Jalla, karena tukang adu domba itu dimurkai Allah ‘Azza wa Jalla, maka wajib murka kepada orang yang dimurkai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Keempat, Hendaknya ia tidak berburuk sangka kepada saudaranya yang tidak berada di hadapannya yang tengah diperbincangkan oleh si tukang adu domba tersebut.

Kelima, Apa yang diceritakan kepadanya hendaknya tidak mendorongnya untuk melakukan tindakan memata-matai dan mencari tahu tentang hal tersebut.

Keenam, Hendaknya ia tidak menceritakan kembali adu domba yang disampaikan kepadanya, maka janganlah mengatakan misalnya, si fulan menceritakan demikian dan demikian. Karena, jika demikian, maka dengan tindakannya tersebut ia menjadi tukang adu domba, ia melakukan apa yang telah di larang. (Syarh an-Nawawi ‘Ala Muslim, 2/113)

  1. Al-Kadzib (Berdusta)

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dan ketahuilah bahwa madzhab ahlu Sunnah adalah bahwa al-kadzib (berdusta) adalah penghabaran tentang sesuatu dengan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya, baik dilakukan secara sengaja oleh pelakunya ataupun karena ketidaktahuannya. Namun, jika hal itu dilakukan karena ketidaktahuannya maka ia tidak berdosa. Pelakunya berdosa jika hal itu dilakukannya dengan sengaja (yakni, pelakunya tahu bahwa apa yang disampaikannya tidaklah benar seperti yang sebenarnya). (al-Adzkar an-Nawawiyah, 1/480)

Berdusta –secara umum- adalah haram, syariat telah melarangnya, syariat telah mewanti-wanti agar seorang hamba tidak terjatuh ke dalamnya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولً

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Qs. al-Isra’ : 36)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

…Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada Neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim)

Wallahu A’lam (Redaksi)

Suber :

Banyak mengambil faedah dari “Aafaatu al-Lisan Fii Dhau-i al-Kitab Wa as-Sunnah”, Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy.