Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sikap berlebih-lebihan dalam memuliakan dan memuji beliau. Ini artinya, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih patut, sebab ia menyeret kepada syirik, menyamakan makhluk yang diciptakan dengan Pencipta.

Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berlebih-lebihan dalam memuji beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ؛ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللّٰهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian memujiku berlebih-lebihan seperti orang-orang Nasrani memuji berlebihan terhadap Isa putra Maryam, sesungguhnya aku hanya hamba, maka ucapkanlah hamba Allah dan RasulNya.” [1]

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Yakni, janganlah memujiku dengan berlebih-lebihan, sebagaimana orang-orang Nasrani melakukan hal tersebut terhadap Nabi Isa putra Maryam, hingga mereka memandangnya sebagai tuhan. “Sesungguhnya aku hanya hamba, maka ucapkanlah hamba Allah dan RasulNya.” Yakni, sifatilah aku demikian, tidak lebih dari itu. Katakanlah, Muhammad adalah hamba Allah dan RasulNya, sebagaimana Tuhanku menyifatiku demikian, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (al-Qur`an) kepada hambaNya.” (Al-Kahfi: 1).

Allah Ta’ala juga berfirman,

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ

“Maha banyak berkah Allah Yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur`an) kepada hambaNya (Muhammad).” (Al-Furqan: 1).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ الله يَدْعُوهُ

“Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembahNya (melaksanakan shalat).” (Al-Jin: 19).

Allah Ta’ala juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ

“Wahai Rasul (Muhammad)!” (Al-Ma`idah: 41).

Dan Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ

“Wahai Nabi!” (Al-Ahzab: 1).

Akan tetapi kaum musyrikin itu hanya menentang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan larangan beliau. Mereka mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sesuatu yang beliau larang dan peringatkan. Mereka menentang beliau dengan penentangan total, mereka meniru orang-orang Nasrani dalam sikap mereka yang berlebih-lebihan dan dalam kesyirikan mereka, lalu orang-orang itu bersikap ghuluw terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sesuatu yang merupakan syirik itu sendiri. Semua itu terlihat pada syair-syair dan ucapan-ucapan mereka, seperti ucapan al-Bushiri dalam al-Burdahnya yang dia tujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ             سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمَمِ

Wahai makhluk paling mulia tidak ada bagiku untuk berlindung kepadanya

selain dirimu saat terjadi peristiwa berat yang bertubi-tubi [2]

Dan bait-bait sesudahnya yang kandungannya adalah mengarahkan doa, permohonan pertolongan dan bantuan dalam keadaan suka dan duka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meminta diangkatnya kesulitan kepada beliau dalam keadaan paling sulit dan situasi paling berat, dan dia melupakan Allah. Hal itu karena setan telah menghiasi perbuatan buruk bagi pengucapnya dan orang-orang yang sepertinya; setan menunjukkan sikap berlebih-lebihan dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sekalipun pujian tersebut adalah syirik akbar, dalam bentuk tampilan cinta dan pengagungan kepada beliau; setan menampakkan sikap berpegang kepada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak memuji beliau berlebihan dalam bentuk kebencian dan perendahan terhadap beliau; padahal sejatinya melakukan apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang, berupa memuji beliau secara berlebih-lebihan dan tidak mengikuti beliau dalam sabda dan perbuatan, tidak rela kepada hukum beliau, itulah perendahan sebenarnya kepada beliau; pengagungan dan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak terwujud kecuali dengan mengikuti agama beliau dan membela Sunnah beliau.

Dalam hadits Abdullah bin asy-Syikhkhir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

اِنْطَلَقْتُ مَعَ وَفْدِ بَنِيْ عَامِرٍ إِلَى الرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقُلْنَا: أَنْتَ سَيِّدُنَا وَابْنُ سَيِّدِنَا، فَقَالَ‏:‏ ‏اَلسَّيِّدُ: اَللّٰهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى‏،‏ فَقُلْنَا‏:‏ وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا، فَقَالَ‏:‏ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ -أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ-، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ

“Aku ikut dalam delegasi Bani Amir yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami berkata, ‘Engkau adalah Sayyid kami.’ Maka Rasulullah menjawab, ‘As-Sayyid adalah Allah.’ Kami berkata, ‘Engkau adalah orang terbaik kami dan paling besar jasanya.’ Maka beliau bersabda, ‘Ucapkanlah perkataan kalian atau sebagian dari perkataan kalian, jangan sampai setan menyeret kalian.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad jayyid. [3]

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang orang-orang tersebut berkata kepada beliau, “Engkau adalah Sayyid kami”, dan menegaskan, “As-Sayyid adalah Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka berkata, “Engkau adalah orang terbaik kami dan paling besar jasanya.” Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam khawatir mereka akan bersikap ghuluw (berlebihan), beliau tidak suka disanjung langsung, karena ia bisa menyeret mereka ke dalam sikap ghuluw, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan sampai setan menyeret kalian.” Nabi menjelaskan bahwa memuji langsung, sekalipun dengan pujian yang benar, termasuk perbuatan setan, karena hal ini membuat orang yang dipuji besar kepala, ini bertentangan dengan kesempurnaan tauhid, sebagaimana ia bisa menyeret orang yang memuji untuk bersikap berlebih-lebihan hingga dia mendudukkan orang yang dipujinya pada posisi yang tidak dia duduki.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memuji beliau secara berlebih-lebihan. Hal itu karena ia bisa mengantarkan kepada syirik dan meyakini beliau memiliki sebagian dari sifat-sifat Rububiyah, sebagaimana yang telah terjadi pada banyak pujian kepada beliau yang disusun oleh sebagian orang-orang yang berlebih-lebihan, seperti penulis al-Burdah dan lainnya, yang menyeret mereka ke dalam syirik, seperti ucapannya,

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ             سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمَمِ

Wahai makhluk paling mulia tidak ada bagiku untuk berlindung kepadanya

selain dirimu saat terjadi peristiwa berat  yang bertubi-tubi

Dan ucapannya,

فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا       وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

Sesungguhnya di antara kemurahanmu adalah dunia dan pasangannya (akhirat)

Dan di antara ilmumu adalah ilmu Lauhul Mahfuzh dan pena

Karena Allah telah menyempurnakan tingkatan ubudiyah bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau tidak suka dipuji. Hal ini dalam rangka menjaga derajat ubudiyah, dan melindungi tauhid, maka beliau mengajak umat beliau agar meninggalkannya, karena beliau menginginkan kebaikan bagi umat, dan menjaga kemurnian tauhid agar tidak disusupi apa yang merusak atau melemahkannya berupa syirik dan segala sarana yang mengantarkan kepadanya.

Termasuk dalam hal ini, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka untuk berkata kepada beliau, “Engkau adalah Sayyid kami.”

Ibnul Atsir berkata dalam an-Nihayah, “As-Sayyid bermakna ar-Rabb, pemilik, yang mulia, yang dihormati, yang pemurah, yang penyantun, yang sabar menghadapi gangguan kaumnya, suami, pemimpin dan tokoh.” [4]

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits,

‏اَلسَّيِّدُ: اَللّٰهُ

“As-Sayyid adalah Allah.”

Maksudnya, adalah bahwa Sayyid yang hakiki adalah Allah, dan bahwa semua makhluk adalah hamba-hambaNya. Bila kata ini diberikan kepada Allah maka maknanya adalah Pemilik, Penolong dan ar-Rabb.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang Firman Allah,

الله الصَّمَدُ

“Allah tempat bergantung semua makhluk.” (Al-Ikhlash: 2)

“Yakni, Sayyid yang sempurna dalam segala bentuk kesayyidan.” [5]

Ibnul Atsir berkata, “Mengenai hal ini disebutkan bahwa seorang laki-laki Quraisy datang dan berkata, “Engkau adalah Sayyid Quraisy.” Maka Nabi menjawab, “As-Sayyid adalah Allah.” Yakni, Allah-lah Yang berhak menyandang sayyid; sepertinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka disanjung di depannya, karena beliau suka bersikap tawadhu’.

Mengenai hadits,

‏أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلَا فَخْرَ

“Aku adalah Sayyid anak cucu Adam tanpa berbangga.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya untuk mengabarkan tentang sesuatu yang dengannya Allah memuliakan beliau, berupa keutamaan dan bahwa beliau adalah sayyid, dalam konteks membicarakan nikmat Allah kepada beliau, memberitahu umat beliau, agar iman mereka sesuai dengan tuntutan dan konsekuensinya, dan karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyusulkan, “Tanpa berbangga.” Yakni aku mendapatkan keutamaan ini sebagai karunia dari Allah, aku tidak mendapatkannya dari diriku sendiri, aku tidak mencapainya dengan kekuatanku, maka aku tidak patut membanggakannya…” [6]

Karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sayyid anak cucu Nabi Adam ‘alaihissalam sebagaimana yang beliau kabarkan sendiri, tetapi manakala orang-orang itu mengarahkan kata ini kepada beliau, beliau melarang mereka, karena beliau mengkhawatirkan sikap ghuluw (kultus berlebihan) yang bisa mengantarkan kepada syirik.

Di antara yang menjelaskan hal ini adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ نَاسًا قَالُوْا: يَا خَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا، وَسَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللّٰهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِي اللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ ‏

“Bahwa beberapa orang berkata, ‘Wahai orang terbaik kami dan anak orang terbaik kami; sayyid kami dan putra sayyid kami.’ Maka beliau menjawab, ‘Wahai manusia, ucapkanlah perkataan kalian, jangan sampai setan menyeret kalian memperturutkan hawa nafsu. Aku adalah Muhammad, hamba Allah dan RasulNya. Aku tidak suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang Allah mendudukkanku padanya’.” Diriwayatkan oleh an-Nasa`i dengan sanad jayyid. [7]

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka berkata, “Wahai Sayyid kami”, karena beliau khawatir mereka berlebih-lebihan terhadap beliau, maka beliau menutup pintu secara total, membimbing mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat tertinggi dalam penghambaan, yang dengan keduanya Allah menyifati beliau pada beberapa ayat dalam kitabNya, yaitu “hamba dan Rasul Allah”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka umatnya mengangkat beliau melebihi kedudukan yang Allah mendudukkan beliau padanya.

Hal seperti ini banyak dijumpai dalam as-Sunnah, seperti: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ؛ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللّٰهِ وَرَسُوْلُهُ‏

“Janganlah kalian memujiku berlebih-lebihan seperti orang-orang Nasrani memuji berlebihan Isa putra Maryam, sesungguhnya aku hanya seorang hamba, maka ucapkanlah hamba Allah dan RasulNya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

‏إِنَّهُ لَا يُسْتَغَاثُ بِيْ، وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Istighatsah itu tidak patut kepadaku akan tetapi hanya kepada Allah Ta’ala.” [8]  

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang saling memuji dengan larangan keras, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada seseorang yang memuji seseorang,

وَيْلَكَ،‏ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ

“Celaka kamu, kamu telah memotong leher saudaramu.” [9]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

‏إِذَا لَقِيْتُمُ الْمَدَّاحِيْنَ فَاحْثُوْا فِيْ وُجُوْهِهِمُ التُّرَابَ

“Jika kalian bertemu orang-orang yang gemar memuji, maka lemparkanlah tanah ke wajah mereka.” [10]   

Hal ini karena orang yang memuji dikhawatirkan bersikap berlebih-lebihan dan orang yang dipuji dikhawatirkan terkena sikap ujub, dan keduanya berdampak buruk bagi akidah.

Tinggal pertanyaan, bolehkah mengucapkan sayyid kepada manusia?

Al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia berbeda pendapat tentang penggunaan kata sayyid untuk seseorang. Ada yang melarangnya, pendapat ini dinukil dari Imam Malik rahimahullah. Pendapat ini berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat sebagian orang berkata kepada beliau,

يَا سَيِّدَنَا، فَقَالَ‏:‏ ‏اَلسَّيِّدُ: اَللّٰهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Wahai Sayyid kami.” Maka Nabi menjawab, “As-Sayyid adalah Allah Tabaraka wa Ta’ala.”

Ada juga yang membolehkan, dan mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang Anshar,

‏قُوْمُوْا إِلَى سَيِّدِكُمْ‏

“Bangkitlah kepada Sayyid kalian.”

Dan ini lebih shahih dari hadits pertama.” [11]

Pensyarah[12] berkata, “Tentang pendalilan mereka kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bangkitlah kepada Sayyid kalian”, yang nampak darinya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengarahkan sabda ini kepada Sa’ad, sehingga masalah ini memerlukan perincian.”

Maksud perincian adalah tidak boleh mengarahkan kata ini secara langsung kepada seseorang, “Kamu adalah sayyid”, untuk memujinya; dan boleh bila yang bersangkutan tidak hadir, dan dia memang berhak menyandangnya. Inilah yang menyatukan di antara dalil-dalil. Wallahu a’lam.

 

 Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.

 

Keterangan:

[1]    Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6830 dan Muslim, no. 1691 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

[2]    Lihat ad-Durar as-Saniyah, 11/132 dan sesudahnya; juga 11/222 dan sesudahnya.

[3]    Dalam Sunannya, no. 4806.

[4]    An-Nihayah, 2/418.

[5]    Tafsir Ibnu Katsir, 4/571.

[6]    An-Nihayah, 2/417.

[7]    Dalam as-Sunan al-Kubra, 6/70 No. 10077.

[8]    Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad, 5/317 No. 22706: dari hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu. Lihat Majma’ az-Zawa’id, 10/159.

[9]    Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2662 dan Muslim, no. 3000: dari hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu.

[10] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 3002: dari hadits al-Miqdad radhiyallahu ‘anhu.

[11] Bada’i’ al-Fawa’id, 3/729.

[12] Penulis Taisir al-Aziz al-Hamid hal. 665.