Pada tahun ke-9 H, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengutus Abu Bakar untuk memimpin haji bagi kaum muslimin. Sedangkan orang-orang musyrik tetap berada pada rumah-rumah mereka dan tidak dapat mencegah orang-orang untuk mengunjungi Ka’bah. Namun, ada juga di antara mereka yang terikat dengan perjanjian sampai waktu yang disepakati.

Ketika Abu Bakar keluar bersama kaum Muslimin, Allah menurunkan awal surat at-Taubah,

بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).” (at-Taubah: 1) hingga,

لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“…untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (at-Taubah: 33).

Kemudian Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengutus Ali untuk menyusul Abu Bakar. Ali juga menyampaikan surat At-Taubah tersebut kepada kaum musyrikin sebagai wakil Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- karena ia adalah anak dari paman beliau.

Ketika Ali bertemu Abu Bakar, ia bertanya, “Apakah kamu sebagai pemimpin atau yang dipimpin?” Ali menjawab, “Sebagai yang dipimpin.” Kemudian Abu Bakar pun memimpin kaum Muslimin dalam pelaksanaan haji hingga hari penyembelihan. Kemudian Ali berdiri dan lalu mengumumkan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan memberikan waktu selama empat bulan sejak diumumkan agar orang-orang dapat mencari tempat yang aman dan kembali ke negeri mereka masing-masing. Kemudian tidak berlaku lagi segala perjanjian atau kesepakatan bagi orang musyrik atau kafir dzimmi, kecuali mereka yang masih terikat perjanjian dengan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- hingga berakhir masanya. Setelah tahun ini, tidak boleh lagi orang musyrik melakukan haji dan tawaf dengan telanjang. Setelah itu, kedua sahabat tersebut kembali lagi bergabung bersama Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. [1]

Ini adalah sebagai permulaan untuk pelaksanaan hajinya Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pada tahun ke-10 H, yaitu pada bulan Dzulqa’dah, beliau bersiap-siap untuk melaksanakan haji, maka berdatanganlah orang-orang ke Madinah dalam jumlah yang sangat banyak. Semuanya ingin melaksanakan haji bersamanya dan mengerjakan seperti yang dikerjakan beliau. [2]

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berangkat lima hari menjelang berakhirnya Dzulqa’dah, kemudian beliau melaksanakan ihram untuk haji dan umrah di Dzulhulaifah, lalu melanjutkan perjalanannya hingga mendekati Makkah. Beliau bermalam di Dzi Thuwa setelah melakukan perjalanan selama delapan hari dengan disertai oleh 100.000 kaum Muslimin.

Beliau memasuki Masjidil Haram lalu tawaf dan sa’i, tetapi tidak bertahallul karena beliau melaksanakan haji Qiran. Beliau memerintahkan sahabat yang tidak membawa hadyu (hewan qurban sebagai dam) untuk bertahallul dari ihramnya dan menjadikan manasiknya sebagai umrah saja. Para sahabat ragu-ragu, kemudian Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, “Seandainya aku sudah menghadapi urusanku, aku tidak akan meninggalkannya. Seandainya aku tidak membawa hewan kurban, pasti aku bertahallul.” Maka bertahallullah orang-orang yang tidak membawa hadyu dari kalangan sahabat.

Pada hari kedelapan bulan Dzulhijah, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menuju Mina. Beliau salat Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya, serta bermalam di sana. Pagi harinya, beliau berangkat ke Arafah untuk melaksanakan wukuf lalu berkhotbah di sana.

Di antara isi khotbah beliau adalah, “Sesungguhnya darah dan harta kalian haram (suci, tidak boleh diganggu) atas kalian sebagaimana haramnya (sucinya) hari dan bulan kalian pada saat ini dan seperti (sucinya) negeri kalian ini. Ketahuilah! Bahwasanya semua tradisi jahiliah tidak berlaku lagi, darah-darah (dendam) jahiliah juga tidak berlaku lagi, darah pertama yang aku batalkan dari darah-darah kita adalah darah Ibnu Rabi’ah bin Haris yang dibesarkan di Bani Sa’ad lalu dibunuh kabilah Hudzail. Riba jahiliah juga tidak berlaku lagi. Riba pertama yang aku batalkan adalah riba Al-Abbas bin Abdul Muththalib, semuanya dihapus dan tidak berlaku lagi.

Bertakwalah kalian dalam menghadapi wanita. Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluannya dengan Kalimatullah. Kalian berhak meminta kepada mereka untuk tidak menyentuh tempat tidur kalian, siapa pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melanggar, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Kalian berkewajiban memenuhi makan dan pakaian mereka secara ma’ruf. Sungguh aku tinggalkan untuk kalian yang tidak akan membuat kalian tersesat apabila kalian berpegang teguh dengannya yaitu Kitabullah.” [3]

Beliau juga memerintahkan untuk selalu mendengar dan taat kepada para pemimpin. [4]

Setelah beliau menyampaikan khotbahnya, turunlah firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى -,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku sempurnakan untukmu nikmat-Ku serta Aku rida Islam sebagai agamamu.” (al-Maidah: 3). [5]

Beliau wukuf di Arafah hingga terbenamnya matahari lalu kemudian mabit (bermalam) di Muzdzalifah, lalu melanjutkan manasik hajinya seraya berkata, “Hendaklah kalian mengambil dariku manasik kalian. Sesungguhnya aku tidak mengetahui, bisa jadi aku tidak dapat lagi melaksanakan haji setelah hajiku tahun ini.” [6]

Dari Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, bersabda Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- saat berada di Aqabah pada pagi hari, “Ambilkanlah untukku batu-batu kerikil.” Kemudian aku pun memungut tujuh buah kerikil sebesar kacang tanah untuknya, lalu beliau meniup batu kerikil yang ada di tangannya seraya berkata, “Batu seperti inilah yang kalian gunakan untuk melontar.” Lalu beliau melanjutkan, “Wahai manusia, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam beragama, sesungguhnya kehancuran yang  menimpa umat terdahulu disebabkan sikap berlebihan dalam beragama.” [7]

Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- mendatangi Hajar Aswad dan menciumnya seraya berkata, “Sungguh aku mengetahui kamu adalah batu yang tidak dapat menimbulkan mudarat dan memberikan manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak menciummu.” [8]

Dari Abdullah bin Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-berdiri saat melaksanakan Haji Wada’. Orang-orang pun bertanya kepadanya. Ada seorang yang bertanya, “Aku tidak sadar, mencukur sebelum aku menyembelih.” Beliau menjawab, “Lakukan saja, tidak apa-apa!” Yang lain bertanya, “Aku tidak sadar, menyembelih sebelum melontar.” Beliau menjawab, “Lakukan saja, tidak apa-apa!” Tidak ada pertanyaan pada hari itu tentang sesuatu apakah mendahulukan suatu pekerjaan atau menundanya, beliau selalu menjawab, “Lakukan saja tidak apa-apa! [9]

Dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, bersabda Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, “Ya Allah! Ampunilah orang-orang yang mencukur plontos kepalanya.” Sahabat berkata, “Apakah termasuk orang-orang yang mencukur pendek rambutnya?” Beliau berkata lagi, “Ya Allah! Ampunilah orang-orang yang mencukur plontos kepalanya.” Sahabat berkata lagi. “Apakah termasuk orang-orang yang mencukur pendek rambutnya.” Beliau mengulang perkataannya hingga tiga kali baru kemudian beliau bersabda, “Dan juga bagi orang-orang yang mencukur pendek rambutnya.” [10]

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berkhotbah pada hari kurban (10 Dzulhijjah). Pada akhir khotbahnya, beliau bersabda, “Bukankah telah aku sampaikan? “ Para sahabat menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Ya Allah saksikanlah. Hendaknya yang  menyaksikan menyampaikan kepada orang yang tidak hadir. Sebab, terkadang orang yang dikabarkan lebih mengerti daripada orang yang mendengar. Janganlah kalian kembali menjadi kafir setelah sepeninggalku dengan cara saling bunuh di antara kalian.” [11]

Ketika Aisyah mengadu kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- karena orang-orang kembali dari melaksanakan haji dan umrah, sedangkan ia hanya melaksanakan haji saja karena haid, lalu Rasulullah memerintahkan saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar, untuk mengantarkannya ke Tan’im. Lalu Aisyah melaksanakan umrah, Rasulullah bersabda, “Inilah tempat umrah kamu.” [12]

Setelah selesai melaksanakan melontar jumrah selama hari Tasyrik, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berangkat dari Mina dan tinggal di Khaifa, antara Kinanah dan Abthah, selama sisa waktu siang hingga malamnya. Di sana beliau melaksanakan salat Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya, kemudian beliau tidur sejenak di Mahshab. Kemudian beliau menunggang kendaraannya menuju Baitullah dan melaksanakan tawaf di sana. [13]

Beliau melakukan tawaf Wada’, setelah selesai melaksanakan segenap manasiknya, beliau pun kembali ke Madinah Munawarah. [14]

Dari Zaid bin Arqam, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah menyampaikan khotbah kepada kami di dekat sumur yang bernama Khuma yang terletak antara Mekah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan mengagungkanNya kemudian bersabda, “Amma ba’du. Ketahuilah wahai manusia, aku hanyalah manusia yang diutus oleh Tuhanku, lalu aku pun menyambutnya. Aku pun telah meninggalkan untuk kalian dua pusaka. Pertama adalah Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah dan berpegang teguhlah dengannya.”

Beliau memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk berpegang teguh padanya dan menganjurkan untuk mencintainya. Kemudian beliau menambahkan, “Dan keluargaku, aku ingatkan kalian dengan nama Allah tentang keluargaku (Ahlu Bait). Aku ingatkan kalian dengan nama Allah tentang keluargaku. Aku ingatkan kalian dengan nama Allah tentang keluargaku.“ Husain berkata kepadanya, “Siapakah yang termasuk keluarganya?” Zaid menjawab, “Istri-istrinya termasuk keluarganya, tetapi keluarganya adalah mereka yang diharamkan untuk menerima sedekah (zakat).” Ia bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?” Zaid menjawab, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Jafar, dan keluarga Abbas.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah diharamkan bagi mereka sedekah itu?” Zaid menjawab, “Ya!” [15]

 

Pelajaran

Pelajaran yang dapat dipetik dari Haji Wada’ antara lain, yaitu,

1. Ditunjuknya Abu Bakar sebagai amir haji oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- adalah bukti yang jelas tentang keutamaannya.

2. Begitu juga tentang Ali yang ditugaskan oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- untuk menyusul Abu Bakar agar menyampaikan pesan beliau kepada Abu Bakar adalah sebagai bukti tentang keutamaannya.

3. Hajinya Abu Bakar dan penyampaian pesan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melalui Ali adalah sebagai pengantar bagi hajinya Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Tujuannya adalah membersihkan Mekkah dari kemusyrikan sehingga ketika Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melaksanakan haji, tidak ada lagi kemusyrikan.

4. Penyampaian tentang berlepasnya Allah dan RasulNya dari orang-orang Musyrik yang disampaikan oleh Ali dengan tujuan untuk membersihkan Mekkah dari kaum musyrikin. Sehingga ketika Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melaksanakan haji Wada’, beliau tidak memerintahkan Ali sekali lagi untuk mengulangi perintah tersebut.

5. Penjelasan tentang komitmen perjanjian antara Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dengan kaum musyrikin. Bahwa barang siapa yang terkait dengan perjanjian, maka hal tersebut berlaku sampai batas waktunya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah memerintahkan agar memegang teguh sebuah janji. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا

Dan tunaikanlah janji. Sesungguhnya janji itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 34).

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- adalah sebaik-baik manusia yang melaksanakan perintah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan mengamalkannya. Beliau juga pernah bersabda tentang sifat-sifat orang munafik, di antaranya, “Apabila berjanji, ia khianat.” [16]

6. Menjelaskan tentang mengajar dengan memberikan keteladanan (contoh). Di antara hikmah keluarnya Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dalam melaksanakan ibadah haji adalah mengajarkan manusia tentang manasik haji secara praktis, yang dipraktikkan langsung oleh Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- di hadapan mereka. Sebagaimana sabdanya, “Ambillah tata cara haji dari Kaum Muslimin pun melaksanakan sama seperti apa yang dilaksanakan oleh beliau.

7. Menjelaskan tentang semangat para sahabat untuk meneladani dan mencontoh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Yaitu telah berkumpul seratus ribu orang Muslim dan semuanya ingin mencontoh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dalam melaksanakan manasik haji.

8. Metode bertahap yang dilakukan oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersama para sahabatnya dalam menghapus apa yang dalam hati mereka tentang tradisi jahiliah yang mengharamkan umrah pada bulan-bulan haji. [17] Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerintahkan mereka untuk mengganti haji dengan umrah adalah masalah pilihan. Kemudian beliau menegaskan dengan sabdanya, “Seandainya aku telah menyelesaikan urusanku, aku tidak balik untuk menggiring (mengambil) hadyu” dan perintah beliau tersebut mengikat bagi mereka yang tidak membawa hadyu.

9. Khotbah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- di Arafah menjelaskan betapa besarnya hak seorang muslim. Darah (nyawa), harta, dan kehormatannya terjaga dan dilindungi, serta tidak seorang pun yang boleh mengganggunya sedikit pun.

10. Sabda beliau, “Ketahuilah bahwa semua tradisi jahiliah tidak berlaku lagi.” Hal ini menunjukkan tentang keharusan untuk meninggalkan tradisi orang-orang musyrik dan tradisi jahiliah. Selain itu, datangnya Islam merupakan suatu upaya untuk menghapus tradisi-tradisi tersebut.

11. Menjelaskan tentang pengharaman riba. Seorang dai harus memulai dari diri dan keluarganya dalam meninggalkan segala bentuk kemunkaran.

12. Perintah untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin, sebagaimana sabda beliau, “Taatilah pemimpin kalian, niscaya kalian akan memasuki surga-surga Tuhan kalian.”

13. Penjelasan tentang agar tidak berlebih-lebihan dalam beragama. Karena hal tersebut adalah salah satu penyebab dari kebinasaan umat-umat terdahulu.

14. Memanfaatkan suasana untuk berdakwah. Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerintahkan sahabatnya untuk mengambil kerikil guna melontar jumrah. Kemudian beliau memanfaatkan situasi tersebut untuk melarang sebagian orang yang berlebihan dalam melontar jumrah dengan menggunakan batu besar. Sebab, mereka menyangka bahwa jika lebih besar, maka akan lebih baik. namun beliau melarangnya sebab hal tersebut merupakan sikap berlebih-lebihan dalam agama.

15. Turunnya firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي

“Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku sempurnakan untukmu nikmatKu” (al-Maidah: 3) pada haji Wada’. Kita bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan penyempurnaan nikmat tersebut? Apakah dalam urusan dunia atau dalam urusan akhirat?

Jika dalam urusan dunia, maka Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- hanya mengendarai unta dan tidur beralaskan tikar sehingga memberikan bekas pada tubuhnya. Bulan demi bulan tidak terlihat nyala api dari rumahnya. Beliau hanya memakan kurma dan air putih saja. Begitu pula para sahabat. Berarti yang dimaksud dengan penyempurnaan nikmat adalah dalam urusan akhirat. Sebab, mengikuti agama ini tidak harus melihat kondisi dunianya. Baik ia memakai baju yang bertambal sulam atau yang termahal. Baik berjalan dengan kaki atau kendaraan yang termahal. Oleh karena itu, kita tidak melihat standarisasi kehidupan duniawi, kenikmatannya, dan kesenangannya akan menjamin kebahagiaan di akhirat.

16. Perbuatan Umar yang mencium Hajar Aswad dan perkataannya, “Sungguh aku mengetahui kamu hanyalah batu yang tidak dapat mendatangkan manfaat dan mudarat. Seandainya aku tidak melihat Nabi menciummu, niscaya aku pun tidak menciummu.”

Ibnu Hajar memberikan komentar, “Ath-Thabari berkata, ‘Umar mengatakan hal tersebut karena orang-orang baru saja meninggalkan perbuatan menyembah berhala. Umar khawatir kalau orang-orang bodoh menyangka bahwa mengusap Hajar Aswad adalah bentuk pengagungan terhadap bebatuan yang dahulu dilakukan oleh bangsa Arab pada masa jahiliah. Umar ingin mengajarkan kepada manusia bahwa mengusapnya adalah dalam rangka mengikuti perbuatan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, bukan karena batu itu mendatangkan manfaat atau mudharat sebagaimana keyakinan jahiliah terhadap berhal-berhala’.” [18]

17. Ibnu Hajar berkata, “Pada ucapan Umar tersebut terdapat sikap tunduk kepada sang pembuat syariat dalam masalah-masalah agama dan sikap yang baik dalam mengikuti sesuatu yang belum diketahui hikmahnya. Ini adalah kaidah dasar dalam mengikuti perbuatan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sekalipun belum diketahui apa hikmahnya. [19]

18. Ucapan Rasulullah, “Semoga Allah merahmati orang-orang yang mencukur plontos kepalanya.” Sebanyak tiga kali, kemudian pada keempat kalinya beliau mengatakan “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada orang-orang yang memendekkan rambutnya.” Ini adalah salah satu metode dalam berdakwah, di dalamnya terdapat motivasi untuk mencukur habis rambut kepala, baik dalam ibadah haji maupun dalam ibadah umrah. Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mendoakan bagi yang mencukur plontos sebanyak tiga kali, sedangkan yang sekedar memendekkan hanya sekali.

19. Ucapan Rasulullah kepada para sahabat yang bertanya kepadanya tentang mendahulukan beberapa amalan haji pada hari itu. Kemudian Rasulullah menanggapinya dengan mengatakan ‘tidak apa-apa’. Hal ini menjelaskan tentang suatu prinsip yaitu memudahkan dan menghilangkan kesulitan dari kaum Muslimin. Beliau menjawab dengan, “Lakukan saja, tidak apa-apa.” Beliau juga mewasiatkan hal ini kepada para sahabatnya ketika mengutus mereka untuk melaksanakan tugas dakwah, seraya bersabda, ”Permudahlah dan jangan mempersulit. Berikan kabar yang menyenangkan, bukan kabar yang menakutkan.” [20]

20. Sikap Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepada Aisyah ketika ia mengadukan kepada beliau bahwa karena haid, ia belum melaksanakan umrah sebelum haji. Kemudian Rasulullah ingin menghibur hatinya dengan memerintahkan saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar, agar mengantarkan saudarinya ke Tan’im untuk berihram umrah dan menunggunya hingga keluar dan kembali dalam keadaan ihram.

Semua ini adalah cerminan dari indahnya akhlak Rasulullah – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan sikap lembutnya kepada istrinya serta keramahan beliau kepada mereka dan menjaga perasaan hati serta jiwa mereka. Beliau pernah mengatakan, “Sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” [21].

21. Khotbah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- saat kembali ke Madinah menegaskan tentang kedudukan al-Qur’an Al-Karim dan berpegang teguh dengannya. Karena di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya bagi orang-orang yang berpegang teguh dengannya serta mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya.

22. Menjelaskan tentang hak-hak Ahlul Bait sebagaimana sabdanya, ”Aku ingatkan kalian atas nama Allah tentang keluargaku.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Ahli Bait Nabi adalah keluarga Nabi yang diharamkan atasnya sedekah (zakat) yaitu keluarga Ali, Ja’far, Aqil, Al-Abbas, Bani Harits bin Abdul Muththalib, para istri dan anak-anak perempuannya. [22]

Ahlus Sunnah mencintai dan menghormati mereka semua karena hal ini adalah bentuk dari cinta dan penghormatan kepada Nabi dengan syarat mereka juga mengikuti sunnah dan istiqamah dalam beragama. Jika melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sunnah dan tidak istiqamah dalam beragama, maka tidak boleh loyal kepadanya sekalipun ia termasuk Ahli Bait. [23]

23. Kita lihat betapa banyaknya Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melakukan khotbah pada haji wada’. Beliau selalu memanfaatkan situasi untuk menyampaikan khotbah, menjelaskan masalah agama, mengingatkan, serta memberikan nasehat kepada kaum M Beliau berkhotbah di Arafah, Mina, dan di tengah perjalanan menuju Madinah. Ini adalah salah satu metode beliau dalam berdakwah yang dapat dilakukan seorang dai dalam berbagai situasi dan kondisi. Wallahu A’lam. (Redaksi)

 

Catatan :

[1]  Ibnu Hisyam, As Sirah an-Nabawiyah, Juz.4 hal. 203-204. Fathul Bari, Juz 8, hal.319.

[2] Shahih Muslim dalam Syarah An-Nawawi, juz 8, hal.172.

[3] Shahih Muslim, juz 2 hal.886. nomor hadis: 1218.

[4] HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani. Shahih Sunan Tirmidzi, juz 1, hal 190, nomor hadis: 502.

[5] Tafsir at-Thabari, juz 8, hal.91.

[6] Shahih Muslim, juz 2, hal. 943, nomor hadis 1297.

[7] HR. Ibnu Majah dalam sunannya dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, juz 2 hal.177, nomor hadis 2455.

[8] HR. al-Bukhari, fathul Bari, juz 3, hal.462, nomor hadis 1597.

[9] HR. al-Bukhari, fathul bari juz 3, hal. 569, nomor hadis 1736.

[10] ibid, Juz 3. Hal. 561, nomor hadis 1728.

[11] ibid, Juz 3. Hal. 574, nomor hadis 1741.

[12] ibid, Juz 3. Hal. 415, nomor hadis 1556.

[13] ibid, Juz 3. Hal. 590, nomor hadis 1764.

[14] Al-Qasthalani, Al Mawahib al Laduniyah, juz 4, hal. 462-463.

[15] HR. Muslim. Syarah an-Nawawi Juz 15. Hal.179-180.

[16] HR. al-Bukhari, Fathul Bari, Juz 1, hal. 89.

[17] As Suhaili, Ar Raudh Al Unf, juz 4, hal. 247.

[18] Ibnu Hajar, Fathul bari, juz 3 hal. 462-463.

[19] Ibid, juz 3 hal. 463.

[20] Ucapan ini ditujukan kepada Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy’ari ketika keduanya diutus ke Yaman. Shahih Al-Bukhari, juz 8, hal. 60, nomor hadis 4341-4342.

[21] HR. Tirmidzi. Sunan At-Tirmidzi, Juz 3 hal. 245, nomor hadis 3057. HR. ad-Darimi dalam Sunannya, juz 2 hal. 82, nomor hadis 2265.

[22] Shalih Al-Fauzan, Kitabut Tauhid, hal. 69.

[23] Ibid, 69-70.

 

Sumber:

Fiqhu as-Sirah, Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid -حَفِظَهُ اللهُ.