kodifikasi sunnahSesudah para sahabat, datang zaman tabi’in, mereka memberi sunnah perhatian yang besar, mereka menghafal dan menjaga dengan akurat, mereka berhati-hati dalam menerima hadits-hadits dengan kaidah-kaidah yang mereka tetapkan, di zaman ini terjadi banyak safar demi hadits, mencari sanad yang tinggi. Abu al-Aliyah berkata, “Kami mendengar hadits dari sahabat Rasulullah sementara kami di Bashrah, kami tidak rela sebelum pergi langsung ke Madinah untuk mendengar dari mulut mereka.”

Dalam menjaga sunnah, mereka menggunakan cara mudzakarah dan penulisan dalam menjaga sunnah, plus ketelitian dan keakuratan yang mereka miliki, ketakwaan dan kebersihan hati yang mereka punyai, hal ini menjadikan mereka orang-orang yang paling jauh dari pembicaraan dalam agama tanpa ilmu dan petunjuk. Dialog dan diskusi terjadi di antara mereka untuk mengetahui jalan-jalan periwayatan hadits, membuka informasi tentang keadaan rawi dan membedakan yang lemah dan yang shahih.

Tadwin Sunnah

Di zaman Umar bin Abdul Aziz, dia memerintahkan para ulama seperti Abu Bakar bin Hazm, Ibnu Syihab az-Zuhri dan lainnya agar mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah karena khawatir ilmu akan tergerus dan pemikulnya akan wafat. Para ulama hadits memadang tadwin sunnah atas instruksi Umar bin Abdul Aziz adalah fase tadwin sunnah yang pertama.

Sesudahnya tiba masa tasfnif, maka hadits-hadits dibukukan dalam kitab-kitab Jawami’ yang mengumpulka hadits-hadits dalam berbagai bab dan bidang, seperti bab ilmu, iman, shalat dan seterusnya seperti Muwattha` Imam Malik, Shahih al-Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan, dan Masanid yang mengumpulkan hadits setiap sahabat secara tersendiri seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.

Menjaga Hadits dari Penyusup

Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan dan menerima hadits, hal itu karena mereka kuatir salah dan lupa sehingga memasukkan apa yang bukan hadits ke dalam hadits, di zaman mereka belum terjadi pemalsuan dalam hadits, hingga datang masa fitnah pasca terbunuhnya Utsman bin Affan, maka pemalsuan hadits mulai muncul, tendensinya berupa sikap fanatik kepada madzhab, mendukungnya dan mendukung bid’ah, atau tendensi dengki dan memusuhi Islam atau tendensi lainnya.

Keadaan seperti ini mendorong para ulama hadits untuk meneliti hadits, menelusuri jalan-jalan periwayatannya, para rawinya dengan merujuk kepada adab-adab luhur dan kaidah-kaidah mulia. At-Tirmidzi berkata, “Tidak ada yang membuat mereka melakukan itu kecuali dorongan nasihat kepada kaum muslimin, mereka tidak bermaksud mencela dan mengghibah manusia, akan tetapi mereka bermaksud menjelaskan bahwa rawi-rawi tersebut adalah dhaif agar diketahui, karena di antara mereka ada pemilik bid’ah, ada yang tertuduh memalsukan hadits, ada yang tidak punya hafalan yang baik, di antara mereka ada yang kesalahannya parah, maka para ulama hadits ingin menjelaskan keadaan mereka dalam rangka menjaga agama.”

Di bidang sanad hadits, para ulama tabi’in dan orang-orang sesudah mereka memperhatikan keadaan para rawi hadits mencakup nama, kun-yah, gelar, negeri, sejarah, guru, murid dan safar mereka, mencakup kehidupan mereka, hafalan dan keakuratan mereka, ‘adalah dan kefasikan mereka. Para ulama mencatat semua itu dalam buku-buku mereka yang kemudian dikenal dengan istilah Kutub ar-Rijal, al-Jarh wat Ta’dil.

Para ulama hadits memperhatikan sanad hadits dengan perhatian besar, karena ia adalah tumpuan keshahihan dan kedhaifan hadits, Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Sanad termasuk agama, kalau bukan karena sanad maka siapa yang ingin akan berkata apa yang dia ingin.” Muhammad bin Sirin berkata, “Dulu mereka tidak bertanya tentang sanad, tetapi saat fitnah terjadi, mereka berkata, ‘Sebutkanlah nama orang-orang kalian.’ Lalu hadits Ahlus Sunnah diterima dan hadits ahli bid’ah tidak diterima.”

Perhatian Terhadap Matan

Di bidang matan hadits, para ulama memperhatikan matan yang diriwayatkan dari sisi keselamatannya dari illat yang menciderai keshahihannya, di mana hanya para ulama besar dan ahli yang sanggup menerjuni lahan ini. Para ulama juga memberi perhatian dalam masalah tashif, yaitu kekeliruan lafazh yang mengakibatkan perubahan makna, karena itu para ulama hadits menyatakan bahwa pada dasarnya hadits diriwayatkan dengan lafazhnya untuk menghindari terjadi tashif, sementara sebagian ulama yang membolehkan meriwayatkan hadits secara redaksional mensyaratkan hendaknya perawi memahami betul apa yang bisa menggeser maknanya, hal ini menuntutnya paham benar bahasa hadits sehingga dia mengetahui perbedaan.

Para ulama juga memperhatikan keselamatan matan dari syudzudz, yaitu matan yang menyelisihi riwayat yang lebih kuat, karena hal ini bisa membuat hadits tidak berlaku. Semua ini para ulama lakukan dalam rangka memilah antara hadits shahih dan hadits yang bukan shahih sehingga sunnah Nabi terjaga dari penyusup yang bukan sunnah.

Intinya adalah bahwa sunnah telah mendapatkan perhatian besar dari para ulama umat, hal ini berdampak besar dalam menjaganya, melindunginya dari penyusup dan pemalsuan. Abdullah bin al-Mubarak ditanya, “Bagaimana dengan hadits-hadits palsu ini?” Maka dia Muhammad, “Biar para ahlinya yang mengurusinya.”

Manhajul Istidlal ala Masa`il al-I’tiqad inda Ahlus Sunnah wal Jamaah, Utsman bin Ali Hasan.