“Sesungguhnya bimbingan dan pertolongan dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى terhadap hamba-Nya untuk berpuasa Ramadhan dan menyelesaikannya merupakan nikmat yang sangat agung. Hal tersebut selayaknya mendorong seorang hamba bersyukur kepada Rabb-nya dan menyanjung-Nya. Makna ini terisyaratkan dalam firman-Nya,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (al-Baqarah: 185)

Dan termasuk kesyukuran kepada-Nya adalah seorang hamba berpuasa setelahnya dan melakukan amal-amal shaleh. Adapun menyambut dan menghadapi nikmat taufik berpuasa Ramadhan dengan melakukan berbagai kemaksiatan setelahnya, bermalas-malasan mengerjakan shalat berjama’ah, maka hal ini termasuk bentuk dari menukar nikmat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan keingkaran, dan siapa yang melakukan hal tersebut maka ia berada dalam bahaya yang besar.”

(Abdullah bin Shaleh al-Fauzan, ‘ Al-Istiqamah ba’da Ramadhan’)