Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdillah bin Ka’ab bin Malik, Abdullah bin Ka’ab bin Malik –salah seorang anak Ka’ab yang menjadi penuntunnya saat Ka’ab telah buta- berkata, “Saya mendengar Ka’ab bin Malik Radhiallaahu ‘anhu menceritakan tentang peristiwa tertinggalnya dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan Tabuk.

Ka’ab berkata, ‘Saya tidak pernah tertinggal dari Rasulullah dalam setiap peperangan yang dipimpin sendiri oleh beliau kecuali dalam peperangan Tabuk. Selain dari itu, aku memang tertinggal pula dalam perang Badar. Tetapi tidak seorang pun dapat disalahkan bila tertinggal (tidak ikut serta) ketika itu, karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pergi dengan maksud hendak menghadang Kafilah Quraisy. Namun Allah Ta’ala telah mempertemukan mereka dengan musuhnya tanpa terduga sebelumnya.

Aku telah baiat bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada malam ‘Aqabah ketika kami bersumpah setia untuk Islam. Dan aku tidak senang kalau malam Aqabah itu dipersamakan dengan perang Badar. Sekalipun perang Badr itu lebih terkenal dari Aqabah di ka-langan orang banyak.

Kemudian cerita mengenai ketertinggalanku dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabuk ialah:

Sesungguhnya aku belum pernah sedikit pun merasa diriku lebih kuat dan lebih mampu dari keadaanku ketika tertinggal (tidak ikut) dalam perang itu. Demi Allah, aku belum pernah menyiapkan dua kendaraan kecuali menjelang peperangan Tabuk itu.

Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila akan berperang menyamarkan dengan tujuan lain. Namun dalam perang Tabuk ini Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyamarkannya. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam meren-canakan penyerangan pada musim panas yang terik dan akan menempuh perjalanan yang sangat jauh serta akan menghadapi musuh yang sangat besar. Oleh karena itu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada kaum Muslimin tugas berat yang bakal mereka hadapi agar mereka bersiap-siap dan bersungguh-sungguh dalam menghadapi peperangan ini. Beliau memberitahukan sasaran yang dituju.

Kaum Muslimin yang mengikuti Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam peperangan itu sangat banyak tetapi tidak ada suatu daftar yang mencatat nama-nama dn jumlah mereka.

Seandainya seseorang berkehendak untuk tidak ikut dalam peperangan itu ia pasti akan mengira bahwa hal itu tidak akan diketahui selama tidak ada wahyu dari Allah Ta’ala yang menjelaskan hal itu.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallammelaksanakan perang Tabuk pada musim buah-buahan dan cuaca berawan. Sebenarnya hatiku lebih cen-derung untuk mengikuti perang itu. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin telah bersiap-siap, sementara aku merencanakan untuk berkemas-kemas bersama mereka besoknya saja. Kemudian saya pulang tetapi saya belum juga mempersiapkan diri sama sekali serta saya berkata dalam hati, ‘Saya mampu untuk ikut berperang kapanpun saya berkehendak.’

Akan tetapi keadaan seperti itu terus berlarut-larut dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta kaum Muslimin telah siap untuk berangkat, tetapi saya belum juga terdorong untuk mengikutinya. Saya pulang tetapi saya belum juga mempersiapkan diri, toh saya bisa mempersiapkannya dalam 1 atau 2 hari, untuk kemudian aku bergabung dengan mereka.

Keesokan harinya, setelah mereka selesai bersiap-siap, aku pulang ke rumah, namun aku tidak berbuat apa-apa. Hal yang demikian ini berlarut-larut terus hingga tiba saatnya keberang-katan pasukan perang ini. Dan saya masih punya pendirian bahwa saya masih bisa mengejar pasukan itu.

Ketika aku mulai berkemas dan keluar hendak menyusul Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun keinginan tinggal keinginan. Aku tetap saja tidak mampu berangkat.

Setelah Rasulullah a berangkat perang saya merasa sedih sekali, kalau keluar tidak mendapatkan seorang pun di antara kaum muslimin, kecuali orang-orang munafik, atau orang-orang lemah yang memang diberi kemurahan (dimaafkan) oleh Allah Ta’ala.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebut-nyebut nama saya sehingga sampai di Tabuk. Sewaktu di Tabuk dan beliau sedang duduk-duduk bersama dengan kaum Muslimin barulah beliau bertanya, ‘Apa yang diperbuat oleh Ka’ab bin Malik?’ Seorang laki-laki dari Bani Salamah menjawab, ‘Wahai Rasulullah dia terhalang karena merasa sayang pada selimutnya itu.’ Kemudian Muadz bin Jabal berkata kepada laki-laki dari Bani Salamah, ‘Alangkah buruknya perkataanmu. Demi Allah, Wahai Rasulullah, kami tidak menge-nal Ka’ab kecuali selalu berbuat baik.’ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam lantas terdiam.

Setelah ada berita bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah datang dari Tabuk maka datanglah kesedihanku dan saya hampir saja berdusta untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku karena saya ingin menghindari kemurkaan beliau dan saya sudah berusaha untuk meminta pendapat seluruh keluargaku dalam mencari alasan.

Setelah ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah benar-benar datang dari Tabuk maka hilanglah dari ingatanku segala pikiran buruk itu. Aku mengerti benar bahwa aku tidak akan lepas sedikitpun dari hukuman, walaupun dengan berbagai alasan. Karena itu aku bertekad hendak mengaku terus terang atas kesalahanku.

Pagi-pagi waktu Shubuh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tiba. Seperti biasa apabila beliau tiba dari suatu perjalanan beliau langsung ke mas-jid lalu shalat dua rekaat kemudian duduk di tengah-tengah orang banyak.

Pada saat itu datanglah orang-orang yang tidak ikut perang untuk mengajukan alasan-alasan mereka kepada beliau dan ber-sumpah kepadanya. Semuanya berjumlah lebih kurang 80 orang. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima alasan dan sumpah-sumpah mereka yang tampak nyata dan memohonkan ampun untuk mereka. Se-dangkan hal-hal yang tersembunyi atau yang mereka rahasiakan, beliau serahkan kepada Allah Ta’ala.

Sewaktu saya menghadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam, beliau tersenyum sinis, senyum kemarahan, lalu beliau bersabda, ‘Mari kesini.’ Saya pun datang mendekati dan duduk di hadapan beliau, beliau lantas bertanya, ‘Apa yang menyebabkan kamu tidak ikut, bukanlah kamu telah membeli kendaraan?’

Saya menjawab, ‘Wahai Rasulullah, Demi Allah, seandainya saya duduk di hadapan orang selain anda dari penduduk dunia ini, niscaya saya akan mencari jalan keluar dari kemarahannya dengan berbagai alasan, karena saya cukup mahir berdebat, tetapi demi Allah saya yakin seandainya saya berdusta kepada anda yang mungkin anda meridhai dan menerima alasan saya namun nanti Allah akan memurkai saya lewat anda. Dan seandainya saya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada diriku niscaya anda akan sangat murka kepadaku, tetapi saya tetap mengharapkan kemaafan dari Allah. Demi Allah, sesungguhnya saya tidak mempunyai alasan apapun juga, dan Demi Allah, sesungguhnya saya belum pernah merasa sesehat dan selapang ini, di mana aku tidak turut berperang bersama-sama anda.’

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang kamu katakan adalah suatu kejujuran; pergilah kamu dan pergilah sampai Allah me-mutuskan perkara untukmu.’

Sewaktu saya pergi, orang-orang Bani Salamah mengikutiku seraya berkata, ‘Demi Allah, kami belum pernah mengetahui kamu berbuat kesalahan sebelum ini, kenapa kamu tidak minta maaf saja kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana orang-orang lain yang tidak ikut berperang juga meminta maaf dengan meng-ajukan alasan. Niscaya dosamu diampuni Allah berkat permohonan ampun dari Rasulullah bagimu.’

Demi Allah mereka selalu menyalahkan sikapku sehingga saya akan bermaksud untuk kembali kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menarik pengakuanku semula. Tetapi kemudian saya bertanya kepada orang-orang Bani Salamah, ‘Apakah ada seseorang yang menerima keputusan seperti saya ini?’
Mereka menjawab, ‘Ya, ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang kamu katakan dan keduanya itu mendapatkan keputusan seperti keputusan yang diberikan kepadamu.’ Saya bertanya, ‘Siapakah kedua orang itu?’.

Mereka menjawab, ‘Murarah bin ar-Rabi’ah al-Amri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi.’

Mereka mengatakan kepadaku bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang shalih yang turut dalam peperangan Badar dan orang-orang yang pantas menjadi teladan. Setelah mereka menerangkan hal kedua orang itu akupun berlalu, dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum muslimin bercakap-cakap dengan kami bertiga yang tidak ikut perang Tabuk.

Maka orang-orang menjauhi (memboikot) kami. Sikap mereka berubah terhadap kami, sehingga saya merasa seperti orang asing di negri yang aku diami, di mana penduduknya aku kenal selama ini. Hukuman seperti itu aku alami selama 50 hari.

Kedua teman saya mereka tetap tinggal di rumah dan mena-ngis terus menerus. Sedangkan saya adalah yang termuda dan terkuat di antara ketiga orang itu. Saya tetap keluar dan ikut shalat bersama-sama kaum Muslimin serta mondar-mandir ke pasar juga, akan tetapi tidak pernah ada seorang pun yang menyapa saya. Bahkan pernah saya mendekat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan memberi salam kepada beliau di mana waktu itu beliau sedang duduk sehabis shalat, dalam hati kecilku timbul pertanyaan apa-kah beliau berkenan menggerakkan bibir beliau untuk membalas salam saya atau tidak. Kemudian saya langsung shalat di depan beliau sambil melirik, ketika saya sedang shalat itu beliau memandang diriku dan bila saya meliriknya beliau membuang muka.

Setelah suasana diboikot kaum muslimin seperti itu berjalan agak lama, pada suatu sore, saya menaiki dinding rumah Abu Qatadah, dia sepupu saya dan dialah orang yang paling saya senangi. Kemudian saya mengucapkan salam kepadanya. Tetapi Demi Allah, dia tidak membalas salam saya itu, lantas saya berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Qatadah, demi Allah saya ingin mendengar jawabanmu, tidak tahukah kamu bahwa saya tetap mencintai Allah Ta’ala dan RasulNya?’ Abu Qatadah diam saja. Saya bertanya lagi, tetapi dia tetap membisu.

Saya bertanya lagi. Akhirnya dia menjawab juga dengan ucapan, ‘Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.’ Maka me-ngucurlah air mataku mendengar jawabannya. Saya segera kembali yaitu dengan naik dinding rumah Abu Qatadah.

Pernah suatu ketika saya berjalan-jalan di pasar, tiba-tiba ada seorang petani dari Syam yang biasa menjual makanan di kota Madinah bertanya, ‘Siapakah yang mau menunjukkan Ka’ab bin Malik kepada saya?’ Maka orang-orang menunjuk diriku, lalu orang itu datang kepadaku dengan memberikan sepucuk surat dari raja Ghassan. ternyata isinya antara lain:
‘Amma ba’du, ingin saya sampaikan bahwa saya mendengar kawan-kawanmu sedang mengucilkan dirimu sedang Allah tidaklah menjadikan dirimu itu seseorang yang hina dan bukanlah orang yang pantas disia-siakan, oleh karena itu datanglah pada kami niscaya kami benar-benar ber-sedia memberi bantuan kepadamu.’

Setelah selesai membaca surat itu saya berkata, ‘Ini adalah ujian yang baru lagi untukku.’ Maka kucari api lalu kubakar surat tersebut.

Setelah sampai pada hari ke 40 di mana saya dikucilkan selama 50 hari, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk datang kepadaku dan dia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kamu supaya berpisah dengan istrimu.’ Saya bertanya, ‘Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang harus saya perbuat?’ Dia berkata, ‘Tidak, jangan kamu menceraikannya tetapi janganlah kamu mendekatinya (menyetubuhinya).’
Bersamaan dengan itu pula beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan untuk mendatangi kedua kawanku dengan menyampaikan perintah yang sama. Kemudian saya berkata kepada istriku, ‘Pulanglah dulu kamu kepada keluargamu dan tinggallah di sana bersama mereka sehingga Allah memberikan keputusan tentang persoalanku ini.’

Kemudian istri Hilal bin Umayyah datang kepada Rasulullah a seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah adalah orang yang sudah sangat tua dan lemah serta tidak mempunyai pelayan maka apakah kiranya tuan keberatan bila saya melayaninya?’
Beliau menjawab, ‘Tidak apa-apa, asal dia tidak mende-katimu.’ Istri Hilal berkata, ‘Demi Allah, sesungguhya Hilal sudah tidak mempunyai nafsu lagi untuk berbuat seperti itu, dan demi Allah ia selalu menangis semenjak ia menerima keputusan itu sampai saat ini.’

Kemudian sebagian keluargaku mengatakan kepadaku agar saya minta izin kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah istriku, karena beliau telah mengizinkan istri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya. Maka saya menjawab, ‘Saya tidak akan minta izin kepada Rasulullah a tentang masalah istriku, aku tidak tahu pasti apakah Rasulullah akan memberi izin atau tidak karena aku masih muda.’

Saya tinggal sendirian selama 10 hari, maka genaplah sudah lima puluh hari semenjak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang orang-orang berkata-kata dengan kami.

Kemudian sesudah saya shalat Shubuh di atas loteng rumah kami pada hari ke 50, ketika saya duduk-duduk untuk mere-nungkan nasib sebagaimana yang diperingatkan oleh Allah Ta’ala, di mana bumi ini terasa amat sempit dengan segala kelapangan yang ada, tiba-tiba saya mendengar suatu teriakan keras yang memanggil, ‘Wahai Ka’ab bin Malik, ada kabar gembira buatmu.’ Maka saya segera sujud karena saya yakin kelapangan telah tiba. Rasululllah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahu orang banyak bahwa Allah q telah menerima taubat kami ketika beliau shalat Shubuh.

Orang-orang pun ingin berdatangan untuk menyampaikan ucapan selamat kepada kami dan juga kepada kedua kawan saya. Ada seorang laki-laki yang datang kepadaku dengan naik kuda dan ada juga yang berjalan kaki bahkan ada juga yang datang dari suku Aslam sengaja menemuiku melewati bukit. Suara-suara yang mengelu-elukanku lebih cepat ke telingaku dari kuda mereka.

Ketika suara ucapan selamat untuk menggembirakanku dari orang yang pertama-tama sampai ke telingaku, dengan spontan aku lepas pakaianku dan aku berikan kepadanya.

Padahal, Demi Allah, saat itu saya tidak mempunyai pakaian selain itu, sehingga saya terpaksa meminjam pakaian untuk bertemu Rasulullah.

Dan saya menghadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang yang bertemu dengan saya mengucapkan selamat karena taubatku telah diterima, mereka berkata, ‘Selamat atas diterimanya taubatmu kepada Allah q.’ Kemudian saya masuk masjid, saya mendapati Rasulullah a sedang duduk-duduk dengan dikelilingi oleh orang banyak kemudian Thalhah Ibnu Ubaidillah bangkit dan berlari untuk menjabat tangan dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada seorang pun dari sahabat Muhajirin yang bangkit selain Thalhah. Saya tidak mungkin lupa terhadap Thalhah dalam peristiwa itu.

Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dengan muka berseri-seri beliau bersabda, ‘Bergembiralah kamu dengan kebaikan yang kamu terima pada hari ini, yang belum pernah kamu terima sejak kamu dilahirkan oleh ibumu.’ Saya bertanya, ‘Apakah kebaikan itu datang dari Rasulullah sendiri atau dari Allah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak. Bahkan ini langsung dari Allah Ta’ala.’ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bila sedang gembira wajahnya bersinar-sinar seakanakan wajahnya itu belahan dari bulan, kami tahu benar akan hal itu.

Kemudian setelah saya duduk di hadapan beliau saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sebagai kesempurnaan taubatku maka saya akan memberikan semua harta kekayaanku sebagai sedekah kepada Allah dan RasulNya.’ Rasulullah bersabda, ‘Jangan, tahanlah sebagian dari harta kekayaanmu itu, karena yang demikian itu lebih baik untukmu.’ Saya berkata, ‘Sesungguhnya saya hanya akan menahan harta yang kuperoleh dari rampasan perang yang saya dapat di Khaibar.’ Saya melanjutkan lagi, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala menyelamatkan saya karena saya jujur, dan sebagai kesempurnaan taubatku saya tidak akan berbicara melainkan dengan jujur seumur hidupku.

Demi Allah, saya tidak mengetahui seorang muslim yang pernah diuji Allah karena berkata jujur semenjak aku berkata demikian kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam hingga sekarang. Itulah cobaan terbaik yang dilakukan Allah Ta’ala kepadaku. Saya berjanji tidak akan pernah berdusta semenjak hari ini. Aku berharap kepada Allah Ta’ala, semoga Dia memelihara diri saya selama hayat masih di kandung badan.
Kemudian turun kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam firman Allah Ta’ala, artinya,
‘Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepadaNya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.’
(At-Taubah: 117-119).

Ka’ab berkata, ‘Demi Allah, belum pernah saya merasakan nikmat pada diriku sejak aku masuk Islam yang lebih besar dari-pada ketika aku berkata benar terhadap Rasulullah a. Sean-dainya aku berdusta kepada beliau, niscaya celakalah aku seperti orang-orang yang pernah berdusta.’

Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang berdusta ketika disampaikan wahyu kepada mereka dengan nada sinis melebihi sinisnya seseorang yang berkata dengan sesa-manya, di mana Allah Ta’ala berfirman,artinya,
“Kelak mereka bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah kepada mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada oang-orang yang fasik itu.’ (At-Taubah: 95-96).

Kami bertiga tertinggal, maksudnya tertinggal bertaubat dari mereka-mereka yang telah diterima taubatnya oleh Rasulullah secara lahir (sedang batinnya terserah kepada Allah Ta’ala) serta dimohonkan ampun kepada Allah Ta’ala. Adapun terhadap kami bertiga, Rasulullah menangguhkan hingga datang keputusan Allah. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah, artinya, ‘Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka.’ (At-Taubah: 118), bukan tertinggal tidak ikut berperang, tetapi penerimaan taubat kami ditangguhkan.”

PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK:

1. Menerangkan tentang keterusterangan seorang muslim, kejujuran dan pengakuan kekurangan dirinya.
2. Diperbolehkan meminta harta orang-orang kafir yang boleh diperangi.
3. Diperbolehkan berperang pada bulan Muharram dan ber-terusterang untuk berperang jika kemaslahatannya sudah jelas.
4. Seorang imam diperbolehkan mengucilkan seorang tentara jika memang telah menyendiri dan dia pantas dicela.
5. Orang yang lemah secara fisik maupun non fisik kemudian tidak ikut berperang maka tidak selayaknya dicela/ diboikot, begitu juga orang yang diberi tanggung jawab terhadap keluarga dan orang-orang lemah.
6. Seseorang dipergauli sesuai dengan zhahirnya, adapun mengenai urusan batinnya diserahkan kepada Allah q.
7. Dilarang membunuh orang-orang munafiq.
8. Maksiat merupakan perkara yang besar.
9. Orang yang teguh berpegang pada agama (jika me-langgar) mendapat hukuman yang lebih berat daripada orang yang tipis agamanya.
10. Diperbolehkan menceritakan tentang kebaikan seseorang jika tidak menyebabkan timbulnya fitnah dan menghibur diri terhadap apa yang menimpa saingannya.
11. Keutamaan para pejuang dalam perang Badar dan Bai’atul Aqabah.
12. Diperbolehkan bersumpah untuk menguatkan penda-patnya.
13. Menolak berghibah
14. Diperbolehkan tidak menggauli istri dalam waktu sementara
15. Penyesalan seorang mukmin dan kegelisahannya dengan sebab melakukan maksiat
16. Diperbolehkan menjauhi dan mengasingkan ahli maksiat.
17. Diperbolehkan menyengaja berusaha untuk memperoleh kucuran rahmat, dan limpahan ampunan serta taubat.
18. Jika seorang muslim diberi kesempatan untuk mela-kukan ketaatan meskipun sekejap hendaknya ia mewujudkannya dan melakukannya dengan segera dan agar tidak menunda-nundanya dikhawatirkan akan terlewatkan begitu saja kesem-patan itu.
19. Diperbolehkan menyesali kebaikan yang tidak sempat dilakukannya.
20. Seorang mukmin hendaknya lebih mengutamakan taat kepada Allah dan RasulNya daripada selain keduanya.
21. Hendaknya seorang pemimpin tidak membiarkan orang yang telat atau lambat dalam berbuat melainkan hendaknya menegur dan mengingatkannya agar bertaubat dari keteledorannya.
22. Diperbolehkan mencela seseorang atas keteledorannya dalam rangka mempertahankan hak Allah dan RasulNya.
23. Boleh menentang atau membantah seseorang yang melemparkan celaan jika hanya berdasarkan zhan (dugaan).
24. Hendaknya orang yang pulang dari bepergian atau menghadap seseorang dalam keadaan bersih (berwudhu’) dan singgah dulu di masjid sebelum masuk rumahnya untuk shalat dua rakaat kemudian duduk sejenak untuk menjawab salam orang-orang yang berjumpa dengannya. Hendaknya salampun diucapkan oleh orang yang pulang dari bepergian tersebut.
25. Diperbolehkan tidak memberi salam (menegur) orang yang berbuat dosa dan diperbolehkan mendiamkannya lebih dari 3 hari.
26. Tersenyum bisa saja dilakukan saat ia marah maupun kagum tidak hanya pada saat berbahagia saja.
27. Orang dewasa boleh mencela sesamanya atau orang yang lebih mulia darinya.
28. Cara meringankan musibah yang berat adalah dengan bercermin (melihat) kepada orang lain.
29. Diperbolehkan seseorang mengajak masuk (memasukkan) temannya ke rumah tetangganya atau kenalannya jika diketahui mereka merestuinya.
30. Mencuri pandang saat shalat tidak mempengaruhi syarat sahnya shalat.
31. Kewajiban seorang istri untuk berkhidmah kepada suaminya dan berwaspada terhadap apa yang akan mem-perdayakannya.
32. Anjuran untuk sujud syukur dan segera menyampaikan berita gembira kepada orang lain oleh pihak yang bersangkutan.
33. Anjuran untuk berkumpul bersama imam atau pemimpin dalam urusan-urusan penting.
34. Diperbolehkan ‘Ariyah (pinjam-meminjam).
35. Diperbolehkan menyambut orang yang baru datang dari bepergian dengan berdiri.
36. Disunnahkan bersedekah ketika bertaubat.
37. Barangsiapa bernadzar dengan seluruh hartanya, diper-bolehkan untuk tidak mengeluarkan keseluruhan yang dimi-likinya.[1]

___________________
[1] HR. Ahmad, 3/455; Muslim, 2769; Abu Dawud, 2202.

[Sumber: Sittuna Qishshah Rawaha an-Nabi wash Shahabah al-Kiram, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, edisi bahasa Indonesia: “61 KISAH PENGANTAR TIDUR Diriwayatkan Secara Shahih dari Rasulullah dan Para Sahabat”, pent. Pustaka Darul Haq, Jakarta]