Imam Muslim meriwayatkan di dalam shahihnya dari Uqbah bin ‘Amir رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , ia berkata, Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

(أَلَمْ تَرَ آيَاتٍ أُنْزِلَتِ اللَّيْلَةَ لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ قَطُّ  (قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ) وَ (قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

“Tidakkah kamu perhatikan beberapa ayat yang diturunkan malam ini di mana tidak ada ayat yang semisal dengan ayat-ayat tersebut (untuk memohon perlindungan kepada Allah) (قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ)  dan (قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ) (Surat al-Falaq dan an-Naas).”

Kata imam an-Nawawi, ‘Di dalamnya (dalam hadis ini) terdapat penjelasan yang agung akan keutamaan dua surat ini.’ [1]

Jika demikian, maka apa rahasia yang terkandung dalam dua surat nan utama ini?

Untuk itu, marilah kita menyibak rahasia-rahasianya satu demi satu. Semoga hal ini akan semakin memberikan tambahan keberkahan dan  kemanfaatnya.

Di antara rahasia-rahasia kandungan surat ini adalah sebagai berikut,

1-Bahwa di antara tujuan dari dua surat nan utama ini adalah penanaman secara mendalam prinsip ‘mengesakan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-‘ di dalam jiwa dan menjadikannya sebagai benteng yang selalu melindungi dan menjaga jiwa seseorang. Hal demikian itu oleh karena kebutuhan jiwa terhadap Dzat yang dapat memberikan perlindungan kepadanya dan membentenginya dari segala bentuk keburukan dan hal-hal yang menyakitkan.

2- Bahwa di dalam dua surat ini terdapat sebuah kesaksian atas tindakan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– menyampaikan risalah yang diembannya dengan penuh amanah dan kejujuran. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ubai bin Ka’ab -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, Ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– tentang al-Mu’awidzatain (surat al-Falaq dan surat an-Naas). Maka, beliau bersabda, “( قِيْلَ لِي فَقُلْتُ ) (Kedua surat tersebut dikatakan kepadaku, maka aku pun mengatakannya).” Maka, kami mengatakan sebagaimana Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengatakan. [2]

3- Bahwa keburukan yang menimpa seorang hamba tidak lepas dari dua macam.

  1. Boleh jadi berupa dosa-dosa yang dilakukannya, di mana ia akan dihukum karena Jadi, terjadinya hal tersebut karena tindakannya, kesengajaannya dan upayanya. Keburukan ini merupakan satu dari dua keburukan yang terbesar, paling sering dilakukan, dan paling parah hubungannya dengan pelakunya, dan ini sebabnya adalah was-wasah (bisikan-bisikan buruk) setan dari golongan manusia dan jin. Dan, inilah yang terkandung di dalam surat an-Naas.
  2. Boleh jadi pula keburukan yang menimpa dirinya karena ulah pihak dan pihak lain tersebut boleh jadi mukallaf (telah terkena beban syariat dan menanggung beban konsekwensinya jika meninggalkannya) ataupun bukan mukallaf. Yang mukallaf tersebut bisa jadi sebangsa dengan dirinya, yaitu bangsa manusia, boleh jadi pula tidak sebangsa dengannya, yaitu dari kalangan bangsa jin. Adapun yang tidak mukallaf, misalnya, binatang buas, binatang-binatang berbisa, dan yang lainnya. Dan, inilah yang terkandung di dalam surat al-Falaq.

Maka, kedua surat ini mengandung permohonan perlindungan dari keburukan-keburukan ini semuanya dengan ungkapan yang ringkas dan padat dan paling menunjukan kepada hal yang diinginkan dan paling umum dalam permohonan perlindungan.

4-Bahwa di dalam dua surat ini terdapat kelembutan, yaitu, bahwa Dzat yang dimintai perlindungan di dalam surat yang pertama (surat al-Falaq) disebutkan dengan satu sifat, yaitu, bahwa Dia itu adalah ‘Rabb al-Falaq’ (Tuhan yang menguasai Subuh), sedangkan sesuatu yang seseorang berlindung darinya ada tiga macam, yaitu, al-Ghasiq, an-Naffaatsaat dan al-Hasid. Adapun di dalam surat an-Naas, Dzat yang dimintai perlindungan disebutkan dengan tiga sifat; yaitu, ar-Rabb, al-Malik, dan al-Ilah, sedang sesuatu yang seseorang meminta agar dirinya dilindungi darinya hanya satu, yaitu, was-wasah (bisikan buruk).

5-Konsekwensi atas hal yang telah disebutkan di atas adalah bahwa sanjungan (dengan menyebutkan sifat-sifat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang tinggi) wajib diselaraskan dengan kadar nilai sesuatu yang diminta oleh seorang hamba. Sesuatu yang diminta oleh seorang hamba di dalam surat al-Falaq adalah keselamatan jiwa dan badan, sedangkan sesuatu yang diminta oleh seorang hamba di dalam surat yang kedua (yakni, surat an-Naas) adalah keselamatan agama. Ini merupakan peringatan akan bahwa bahaya yang menimpa agama, meskipun sedikit, adalah lebih besar daripada bahaya yang menimpa urusan dunia, meskipun besar.

6-Pendengki dan tukang sihir digabungkan penyebutannya dalam satu surat (yaitu, dalam surat al-Falaq) karena maksud keduanya adalah menimbulkan keburukan terhadap manusia, sementara setan itu membersamai tukang sihir dan pendengki. Ia mengajak bicara kedua orang ini dan menemani keduanya. Akan tetapi, pendengki itu dibantu oleh setan tanpa ia meminta bantuan darinya. Adapun tukang sihir, ia meminta kepada setan agar membantunya. Oleh karena ini, Wallahu A’lam, di surat ini (surat al-Falaq) disandingkan antara keburukan pendengki dan keburukan tukang sihir. Karena, permohonan perlindungan dari keburukan dua model orang ini mencakup segala keburukan yang datang dari setan dari bangsa manusia dan setan dari bangsa jin. Tersisa satu macam keburukan di mana setan bangsa jin menyendiri dalam menimbulkan keburukan di dalam hati dalam bentuk was-wasah (bisikan buruk), maka Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyebutkannya di dalam surat an-Naas.

7-Sebagian ulama tafsir mengatakan, ‘Ketika pembaca al-Qur’an diperintahkan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- untuk membuka bacaannya dengan ta’awudz (memohon perlindungan kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) dari godaan setan yang terkutuk [3], maka al-Qur’an ditutup dengan al-Mu’awidzatain (surat al-Falaq dan surat an-Naas) agar permohonan perlindungan kepada Allah itu terjadi di awal membaca (al-Qur’an) dan pada akhir yang dibacanya dari al-Qur’an. Jadi, isti’adzah (permohonan perlindungan) itu meliputi awal dan akhirnya, sehingga si pembaca terjaga dengan penjagaan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Dzat yang dimintanya agar melindungi dirinya sedari awal urusannya sampai akhir urusannya.

8-Ketika isti’adzah (permohonan perlindungan) di dalam surat al-Falaq dari keburukan segala sesuatu, maka kata Rabb disandarkan kepada segala sesuatu (yakni, di bangun di atas keumuman kata ‘al-Falaq’). Dan, ketika isti’adzah (permohonan perlindungan) di dalam surat an-Naas hanya dari keburukan was-wasah (bisikan jahat), maka kata Rabb tidak disandarkan kepada segala sesuatu.

9-Renungkanlah (di dalam surat al-Falaq) Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengikat ‘keburukan orang yang dengki’ dengan firman-Nya,  إِذَا حَسَدَ   (apabila ia mendengki). Karena, seseorang itu, boleh jadi ia memiliki sifat hasad (dengki), akan tetapi ia menyembunyikannya dan tidak mengantarkannya kepada tindak menyakiti orang lain, tidak dengan hatinya, tidak dengan lisan, tidak juga dengan tangannya. Tetapi, ia hanya mendapatkan sesuatu dari hal tersebut di dalam hatinya. Ia tidak bersegera bersikap terhadap saudaranya kecuali  dengan hal yang dicintai Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Boleh jadi, hal ini ada pada diri setiap orang kecuali orang-orang yang dilindungi dan dijaga oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. ia tidak menuruti ajakan untuk mendengki dan menimbulkan bahaya terhadap orang lain. Bahkan, ia menentang ajakannya sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya, takut dan malu kepada-Nya, serta pengagungan terhadap-Nya, jangan sampai ia membenci nikmat-nikmat-Nya yang dikaruniakan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.

10- Bila kita perhatikan penyandaran keburukan kepada ‘ghasiq’ dan kepada ‘hasid’ (orang yang dengki), (dalam surat al-Falaq) ternyata kata ‘ghasiq’ dan kata ‘hasid disebutkan dalam bentuk ‘nakirah’ (tanpa ال (  (وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ) (وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ) , sedangkan dalam penyandaran keburukan kepada ‘perempuan-perempuan peyihir yang meniup’  disebutkan dalam bentuk makrifat(وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ). Hal demikian itu karena setiap perempuan penyihir itu buruk, dan setiap ‘ghasiq’ (malam) belum tentu seluruhnya ada keburukan di dalamnya, keburukan itu ada pada sebagiannya, sedangkan pada sebagian lainya tidak ada. Demikian pula setiap orang yang dengki itu, belum tentu semuanya membahayakan, karena ada sifat hasad yang terpuji, yaitu, hasad dalam kebaikan-kebaikan. Di antaranya, apa yang disebutkan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– dalam sabdanya,

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ

“Tidak ada hasad (yang dibolehkan) (terhadap sesuatu) melainkan pada dua perkara; (pertama) seorang yang diajari al-Qur’an oleh Allah, ia membacanya sepanjang malam dan sepanjang siang. Lalu, tetangganya mendengarnya. Maka, ia (tetangganya tersebut) mengatakan, ’Andaikan aku diberi seperti yang diberikan kepada fulan, niscaya aku akan melakukan seperti yang dilakukannya. (kedua) seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia mendayagunakannya dalam kebenaran (ketaatan). Lalu seseorang (yang mengetahui hal tersebut) mengatakan, ‘Andaikan aku diberi sesuatu seperti yang diberikan kepada fulan, niscaya aku akan melakukan seperti yang ia lakukan.” [4]

11-Surat al-Falaq terkategorikan sebagai obat terbesar bagi orang yang didengki oleh orang lain, karena surat ini mengandung sikap tawakal kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, kembali kepada-Nya dan permohonan perlindungan kepada-Nya dari keburukan orang yang hasad terhadap nikmat. Karena seseorang memohon perlindungan kepada sang pemberi dan pengatur kenikmatan-kenikmatan tersebut. Seolah-olah ia mengatakan, “Wahai Dzat yang telah mengaruniakan kenikmatan-kenikmatan itu kepadaku, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan orang yang ingin mencabut dan menghilangkan kenikmatan-kenikmatan itu dariku.’ Sesungguhnya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- adalah Dzat yang akan mencukupi orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, dan melindungi orang-orang yang bersandar kepada-Nya.

12-Renungkanlah hikmat al-Qur’an dan keagungannya, bagaimana menempatkan isti’adzah (permohonan perlindungan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) dari keburukan setan itu dengan menyebutkan sifat bahwa ia merupakan bisikan yang bersembunyi, yang membisikan kejahatan ke dalam dada manusia. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak berfirman, ’مِنْ شَرِّ وَسْوَسَتِهِ‘ (dari keburukan was-wasahnya). Hal tersebut untuk menjadikan sifat permohonan perlindungan ini bersifat umum, yakni, berlindung dari keburukan setan seluruhnya.

Karena sesungguhnya firman-Nya, {مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ} (dari kejahatan bisikan) mencakup secara umum segala bentuk keburukannya dan sifatnya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyebutkan sifat setan yang paling besar, sifatnya yang paling buruk, sifatnya yang paling kuat pengaruhnya, sifatnya yang paling menyeluruh kerusakannya, yaitu, al-Waswasah (bisikan kejahatan) yang merupakan permulaan keinginan. Karena hati itu, pada asalnya berada dalam kekosongan dari keburukan dan kemaksiatan, lalu setan membisikan keburukan ke dalam hati itu dan melintaskan perbuatan dosa pada pikirannya, setan menggambarkan dosa itu pada dirinya, dan membangkitkan angan-angan kosong, serta membangkitkan keinginan untuk melakukan dosa itu pada dirinya. sehingga menjadi sebuah syahwat dan setan pun menghiasinya, memperindahnya dan membayangkannya pada sebuah hayalan sehingga nafsunya condong kepada perbuatan dosa, hingga menjadi sebuah keinginan. Kemudian, terus saja setan membayangkan dan membangkitkan angan-angan kosong dan mendorong nafsu untuk menginginkannya, melupakan pengetahuannya tentang bahaya dosa itu dan melipat dari jiwa orang itu buruknya akibat perbuatan dosa itu. Lalu, setan membatasi antara diri orang tersebut dan ilmunya, sehingga orang tersebut tidak melihat kecuali gambar kemaksiatan itu dan kenikmatannya saja, dan melupakan sesuatu di belakang hal itu. Kemudian, sekedar keinginan untuk berbuat dosa itu berubah menjadi tekad yang kuat, lalu kesungguhan dan ketamakan untuk melakukan hal itu muncul dan menguasai hati. Lalu, hati itu mengutus tentara-tentaranya untuk mencari kemaksiatan yang tergambar dalam pikirannya. Setan pun segera mengirim bantuannya. Lalu, jika ternyata orang tersebut surut tekadnya, setan pun menggerakkannya. Dan jika ternyata menjadi lemah, maka setan mendorongnya dengan sungguh-sungguh, seperti kata Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

أَلَمْ تَرَ أَنَّا أَرْسَلْنَا الشَّيَاطِينَ عَلَى الْكَافِرِينَ تَؤُزُّهُمْ أَزًّا

Tidakkah engkau melihat, bahwa sesungguhnya Kami telah mengutus setan-setan itu kepada orang-orang kafir untuk mendorong mereka (berbuat maksiat) dengan sungguh-sungguh. (Maryam: 83).

13-Maka, asal setiap bentuk kemaksiatan dan bala adalah was-wasah (bisikan buruk), oleh karena itu Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mensifati setan dengannya, agar isti’adzah (permohonan perlindungan) dari keburukan was-wasah menjadi hal terpenting dari segala hal yang manusia berlindung darinya. Meskipun sejatinya, keburukan setan yang dilakukannya tanpa menimbulkan was-wasah bisa saja terjadi juga. Karena, termasuk keburukan setan itu adalah bahwa ia pencuri, ia mencuri harta manusia. Setiap makanan atau minuman yang tidak disebutkan nama Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- sebelum mengonsumsinya, maka setan memiliki bagian darinya yang dicurinya dan disambarnya. Termasuk pula keburukan setan itu adalah bahwa ketika seorang hamba tidur, setan membuat ikatan pada kepalanya tiga ikatan untuk mencegahnya dari bangun. Termasuk pula keburukan setan adalah bahwa ia kencing pada telinga seorang hamba sehingga seorang hamba tidur sampai pagi, sebagaimana telah valid keterangannya dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

14-Di dalam dua surat ini (surat al-Falaq dan surat an-Naas) terdapat pembatalan dan bantahan terhadap tuduhan-tuduhan yang dilontarkan orang-orang musyrik terhadap Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, semisal bahwa beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- itu penyihir yang banyak berdusta, dan tuduhan-tuduhan lainnya.

15-Di dalam surat an-Naas terdapat peringatan akan bahaya setan dari bangsa manusia, meski demikian sedikit orang yang waspada terhadap perkara ini. Andaikan salah seorang di antara kita berkunjung ke penjara-penjara misalnya, niscaya ia akan tahu bahaya was-wasah (bisikan-bisikan buruk) ini yang berasal dari setan-setan bangsa manusia, sampai-sampai peringatan tentang hal tersebut terdapat di akhir mushaf (al-Qur’an). [5]

 

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Catatan:

[1] al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mar’y an-Nawawi, 6/96

[2] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, 4976 dan 4977

[3] Sebagaimana firman-Nya,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Maka apabila kamu hendak membaca al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (an-Nahl: 98)

[4] Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari, 5026

[5] Min Asrari al-Mu’awidzatain, Farhan al-Aththar, 1/1-9