Dari al-Bara bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ} فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ وَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنْ النَّاسِ وَهُمْ الْيَهُودُ {مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمْ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ} فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ هُوَ يَشْهَدُ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ فَتَحَرَّفَ الْقَوْمُ حَتَّى تَوَجَّهُوا نَحْوَ الْكَعْبَةِ

“Dulu, Rusulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah mengerjakan shalat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan (ketika di Madinah). Sementara beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- senang agar dihadapkan ke arah Ka’bah. Maka Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – menurunkan (firman-Nya),

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ 

‘Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit...’ [al-Baqarah: 144]. Maka, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  pun kemudian menghadap ke arah Ka’bah (ketika shalat). Berkatalah orang-orang yang kurang akal, mereka adalah orang-orang Yahudi,

مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا

Apakah yang memalingkan mereka (kaum Muslimin, Muhammad beserta pengikutnya) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat) kepadanya?’ [al-Baqarah: 142].

(Kemudian turun ayat sebagai tanggapan atas ucapan mereka itu),

 قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Katakanlah (Muhammad), Milik Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.’ [al-Baqarah: 142].

Shalatlah seorang lelaki bersama Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Kemudian, seusai shalat lelaki tersebut beranjak pergi, lalu ia melewati sekelompok orang Anshar yang tengah mengerjakan shalat Ashar dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis. Lalu, lelaki itu mengatakan, ia bersaksi bahwa dirinya telah mengerjakan shalat bersama Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan bahwasanya beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menghadap ke arah Ka’bah. (Mendengar penuturannya tersebut) maka berbalik arahlah mereka sehingga menghadap ke arah Ka’bah.” (Shahihul Bukhari, Kitab Shalat, Bab at-Tawajjuh Nahwa al-Qiblat Haitsu Kaana, no. 399).

 

Kapan pemindahan arah kiblat ini terjadi ?

Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al-Jauzi –رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat kapankah waktu arah kiblat dipindahkan. Ada tiga pendapat.

Pertama, bahwa arah kiblat itu dipindahkan ketika shalat Zhuhur, hari Senin pertengahan bulan Rajab setelah 17 bulan semenjak kedatangan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- di Madinah. Ini dikatakan oleh al-Bara’ bin ‘Azib dan Ma’qil bin Yasar.

Kedua, bahwa arah kiblat dipindahkan pada hari Selasa Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), setelah 18 bulan semenjak kedatangan Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- di Madinah. Ini dikatakan oleh Qatadah.

Ketiga,  bahwa arah kiblat dipindahkan pada bulan Jumadil Akhir. Dihikayatkan oleh Ibnu Salamah al-Mufassir dari Ibrahim al-Harbi.” (Zadul Masir Fii ‘ilmi at-Tafsir, 1/157).

Pendapat yang masyhur adalah bahwa pemindahan arah kiblat ini terjadi pada Nisfu Sya’ban tahun ke-2 Hijriyah….(Tahwilu al-Qiblah Min al-Quds Ila al-Ka’bah, 1/3).

 

Di mana tempat terjadinya peristiwa pemindahan arah kiblat ini?

Adapun tempat di mana peristiwa pemindahan arah kiblat ini terjadi adalah di Masjid Bani Salimah di Madinah an-Nabawiyah.  Masjid ini, dinamakan dengan Masjid Qiblatain karena -sebagaimana disebutkan oleh tidak hanya seorang dari kalangan para ahli tafsir- bahwa perintah agar berpindah arah kiblat itu turun setelah mereka mengerjakan shalat Zhuhur dua rakaat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis. Lalu, mereka berputar arah dan melanjutkan shalat dua rakaat berikutnya dengan menghadap ke arah Masjidil Haram. (Lihat, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibnu Katsir, 1/237, Aisir at-Tafasir, al-Jazairi, 1/128).

Mengapa Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَsenang agar kiblat dihadapkan ke arah Ka’bah?

Muhammad bin Jarir ath-Thabari -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Tentang sebab mengapa beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sedemikian senang agar kiblatnya (dalam beribadah) dihadapkan ke arah Ka’bah, diperselisihkan.

Sebagian mereka mengatakan, ’Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak menyukai kiblat Baitul Maqdis karena orang-orang Yahudi mengatakan, ‘Ia (Muhammad) mengikuti kiblat kita, sementara ia menyelisihi kita dalam (ajaran) agama kita !’”

Kemudian, Ibnu Jarir -رَحِمَهُ اللهُ- menukilkan dua atsar yang menunjukkan kepada orang yang berpendapat demikian, seraya mengatakan,

“(Atsar pertama) Al-Qasim telah menceritakan kepada kami, ia berkata, al-Husain telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Hajjaj telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid, ia berkata, ‘Orang-orang Yahudi mengatakan, ‘Muhammad menyelisihi kita sementara ia mengikuti kiblat kita!’ Karenanya, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berdoa memohon kepada Allah agar dipindahkan arah kiblatnya. Maka, turunlah (firmanNya),

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. [al-Baqarah: 144].

Dan terpatahkanlah perkataan orang-orang Yahudi itu “Ia (Muhammad) menyelisihi kita, sementara ia mengikuti kiblat kita” dalam shalat Zhuhur, di mana kaum lelaki menempati tempat kaum wanita, dan kaum wanita menempati tempat kaum lelaki’.”

“(Atsar kedua) Yunus telah menceritakan kepadaku, ia mengatakan, Ibnu Wahb telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Aku mendengarnya -yakni, Ibnu Zaid- berkata, ‘Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman kepada NabiNya,

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. [al-Baqarah: 115].

Ia berkata, ‘Maka Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, ’Mereka kaum Yahudi menghadap ke sebuah rumah di antara rumah-rumah Allah -yakni, menghadap ke arah Baitul Maqdis, andai saja kami menghadap ke arahnya!’ Maka beliau menghadap ke arahnya selama 16 bulan. Lalu, sampai (kabar) kepada beliau bahwa orang-orang Yahudi mengatakan, ‘Muhammad dan para sahabatnya tidaklah tahu di mana kiblat mereka hingga kami menunjukkan mereka!’ (Mendangar hal itu) Maka Nabiصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–  membenci hal itu dan beliau menengadahkan wajahnya ke arah langit. Maka, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

‘Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kibat yang engkau senangi. Maka hadapkalah wajahmu ke arah Masjidil Haram…’ [al-Baqarah: 144].

Sebagian yang lainnya mengatakan, ‘Bahkan beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menyukai hal itu (menghadap ke arah Ka’bah saat beribadah) karena Ka’bah dulu merupakan Kiblat ayahnya Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلُامُ-’.”

Lantas, ath-Thabari -رَحِمَهُ اللهُ- menukilkan atsar yang menunjukkan kepada orang yang berpendapat dengan pendapat ini, seraya mengatakan,

“Al-Mutsanna telah menceritakan kepada saya, ia berkata, Abdullah bin Shaleh telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Mu’awiyah bin Shaleh telah menceritakan kepada kami, dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ‘Bahwa Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ketika hijrah ke Madinah, di mana (saat itu) kebanyakan jumlah penduduknya adalah orang-orang Yahudi, Allah –عَزَّوَجَلَّ- memerintahkan kepada beliau untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis. Maka, orang-orang Yahudi pun senang karenanya. Maka, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menghadap ke arah Baitul Maqdis selama 16 bulan. Namun, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-mencintai Kiblat Ibrahim (yakni, Ka’bah). Beliau berdoa dan melihat ke arah langit. Maka, Allah –عَزَّوَجَلَّ- turunkan (ayatNya),

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ

‘Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit..dan seterusnya’.” (Jami’ al-Bayan Fii Ta’wili al-Qur’an, ath-Thabariy, 3/174).

 

Pelajaran apa yang dapat kita petik dari peristiwa ini?

Di antara pelajaran yang dapat kita dipetik dari peristiwa pemindahan arah kiblat ini adalah sebagai berikut:

(1) Ujian dan Cobaan.

Dijadikannya arah kiblat kaum Muslimin ke Baitul Maqdis oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kemudian dipindahkan arahnya ke Ka’bah terdapat hikmah yang agung dan ujian bagi orang-orang Islam, orang-orang musyrik, orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik.

Adapun orang-orang musyrik, mereka mengatakan, “Sebagaimana ia (Muhammad beserta orang-orang yang beriman kepadanya dan mengikuti ajaran yang dibawanya) kembali menghadap ke arah kiblat kita, maka ia nyaris akan kembali kepada ajaran agama kita.”

Padahal tidaklah Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kembali mengharap ke arah Ka’bah kala beribadah melainkan karena hal itu merupakan kebenaran yang diperintahkan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepadanya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu…” (al-Baqarah: 144).

Adapun orang-orang Yahudi,  maka mereka mengatakan, “Ia (Muhammad) telah menyelisihi kiblat para nabi sebelumnya, kalaulah benar ia seorang nabi niscaya ia shalat dengan tetap menghadap ke kiblat para nabi (yakni, Baitul Maqdis).”

Adapun orang-orang munafik, maka mereka mengatakan, “Muhammad tidak tahu kemana menghadapkan diri ketika beribadah. Jika ternyata arah kiblat yang pertama (yakni, Baitul Maqdis) adalah yang benar, maka ia telah meninggalkannya. Namun jika kiblat yang kedua (Ka’bah) itulah yang benar, berarti dulu ia berada di atas kebatilan.”

Dan, masih banyak lagi bualan-bualan orang-orang yang kurang akal di antara mereka, orang-orang Yahudi, orang-orang musyrik dan orang-orang munafik itu yang kesemuanya adalah bualan batil dan mereka memaksudkan hal itu untuk memalingkan kaum Muslimin dari Islam dan agar orang-orang lari dari mengikuti Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Maka, bualan-bualan mereka yang batil tersebut, sejatinya merupakan olok-olokan dan celaan terhadap Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan orang-orang yang beriman yang mengikuti beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Dan, sekaligus merupakan ujian dan cobaan bagi orang-orang Islam.

Ketika menghadapi ujian ini, orang-orang Islam yang sejati, mereka tetap teguh dalam pendiriannya, seraya  mengatakan, “Kami mendengar perintah itu dan kami mentaatinya”, “Kami beriman kepadanya dan semuanya dari sisi Tuhan kami.” Merekalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, sehingga pemindahan arah kiblat itu tidak terasa berat dirasakan oleh hati mereka. Sebagaimana firman Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- ,

وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ

“Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah.” (al-Baqarah: 143).

(2) Pengijabahan Doa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Al-Hafizh Ibnu Katsir –رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- banyak berdoa dan memohon dengan sepenuh hati agar diarahkan ke Ka’bah yang merupakan kiblat Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ-. Maka, diijabahlah hal itu oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- diperintahkan agar menghadap ke al-Bait al-‘Atiq. Lantas, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berkhutbah di hadapan manusia dan memberitahukan hal tersebut kepada mereka.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/453).

(3) Hiburan untuk Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

Al-Hafizh Ibnu Katsir –رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Dalam peristiwa pemindahan arah Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah al-Musyarrafah, Wallahu A’lam– di dalamnya terdapat unsur hiburan untuk Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan para sahabatnya yang diusir dari Mekkah (oleh orang-orang kafir Quraisy), dan mereka meninggalkan masjid mereka dan tempat-tempat shalat mereka. Sementara ketika di Mekkah, Rasulullah   -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis dan Ka’bah berada di hadapannya. Lalu, ketika beliau datang di Madinah, beliau menghadap ke arah Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan, kemudian Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memalingkannya ke arah Ka’bah setelah itu. Oleh karena ini, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 115). (Tahwil al-Qiblah, 1/15).

(4) Kesabaran Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  dan para sahabatnya terhadap gangguan orang-orang Yahudi.

Sesungguhnya mereka, orang-orang Yahudi itu merasa senang ketika Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  menghadap ke arah kiblat mereka. Namun ketika kiblat itu dipindahkan arahnya ke Ka’bah mereka mengatakan apa yang telah mereka katakan, di antaranya apa yang telah dihikayatkan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengan firmanNya,

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا

“Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata, ‘Apakah yang memalingkan mereka (Muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat) kepadanya’.” (al-Baqarah: 142).

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah mensifati mereka (orang-orang Yahudi) itu dengan “orang-orang yang kurang akal”, cukuplah ini untuk membantah ucapan mereka tersebut. (Ithafu al-Kiram bi Syarhi Umdati al-Ahkam, 6/22).

(5) Orang Mukmin yang benar adalah orang yang membenarkan dan menerima ketentuan hukum Allah      -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, tunduk dan patuh terhadap perintah-perintahNya serta segera mengerjakannya. Merekalah para sahabat Nabi sebagai contohnya. Kala datang perintah untuk menghadapkan diri ke arah Masjidil Haram, mereka pun segera melaksanakan perintah tersebut.

(6) Para sahabat Nabi telah memberikan keteladanan kepada kita tentang  bagaimana cara kita bersegera menyambut dan menghadapi perintah-perintah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan pengajaran-pengajaran syariat Islam yang mulia. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman tentang mereka,

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

“Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (al-Mukminun: 61).

(7) Wajibnya shalat dengan menghadap ke arah Kiblat dan ijma’ menunjukkan bahwa kiblat yang dimaksud adalah Ka’bah (‘Umdatu al-Qari, 6/361). Karena, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memerintahkan hal itu, sebagaimana firmanNya,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu.” (al-Baqarah: 144).

Dan, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- melaksanakan perintah tersebut -sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis al-Bara bin ‘Azib -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- di atas- dan beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga memerintahkan orang yang hendak shalat untuk menghadap ke arah kiblat, sebagaimana hadis,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ فَقَالَ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ فَارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَقَالَ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الَّتِي بَعْدَهَا عَلِّمْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ

Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- meriwayatkan bahwa seorang lelaki masuk masjid sementara Rasulullah – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – tengah duduk di salah satu pojok masjid. Lalu, lelaki tersebut melakukan shalat. Kemudian (selesai shalat) ia datang (kepada Nabi), ia beruluk salam kepada beliau, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pun mengatakan kepadanya,

 وَعَلَيْكَ السَّلَامُ فَارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

“Wa’alaikassalam. Kembalilah engkau, ulangilah shalatmu. Sesungguhnya engkau belum shalat.”

Lelaki itu pun kembali dan mengulangi shalatnya. Lantas, ia datang lagi (kepada Nabi) dan mengucapkan salam (kepada beliau). Lalu, beliau mengatakan kepadanya,

وَعَلَيْكَ السَّلَامُ فَارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

“Wa’alaikassalam. Kembalilah engkau, ulangilah shalatmu. Sesungguhnya engkau belum shalat.”

Maka, ia mengatakan pada kali kedua tersebut atau pada yang setelahnya, “Ajarilah aku, wahai Rasulullah!” Maka, beliau pun mengatakan,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ

“Apabila engkau telah berdiri untuk mengerjakan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah….” (HR. al-Bukhari, no. 6251).

Dan, para Fuqaha (ahli fikih) mengatakan bahwa menghadap kiblat saat shalat merupakan syarat sah shalat. Kecuali dalam dua kondisi, yaitu, dalam kondisi ketakutan yang luar biasa dan dalam shalat sunnah ketika dalam perjalanan di atas kendaraan.

Maka, tidak sah shalat orang yang tidak menghadap ke arah kiblat, menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama.

Ibnu Abdil Bar –رَحِمَهُ اللهُ– mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa kiblat yang Allah perintahkan kepada NabiNya dan para hambaNya agar menghadap ke arahnya di dalam shalat mereka adalah Ka’bah al-Baitu al-Haram di Mekkah, bahwasanya wajib (hukumnya) atas setiap orang yang dapat menyaksikannya dan melihatnya secara langsung untuk menghadap ke arahnya, dan bahwasanya jika meninggalkan menghadap ke arahnya padahal ia dapat melihatnya secara langsung atau tahu tentang arah kiblat tersebut, maka tidak ada shalat baginya (tidak sah shalatnya), dan ia pun harus mengulangi setiap shalat yang telah dilakukannya).” (at-Tamhid, 17/54).

(8) Tindakan menghadap ke arah selain kiblat yang diperintahkan untuk menghadap ke arahnya ketika shalat merupakan kesalahan dan harus diluruskan. Karena itu, siapa yang melihat orang yang tengah shalat dengan menghadap ke arah kiblat yang salah, hendaknya ia menegurnya, seperti yang dilakukan oleh lelaki dalam hadis al-Bara bin ‘Azib -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- di atas.

(9) Diterimanya berita yang disampaikan oleh seorang yang terpercaya. Para sahabat رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ–mempraktekkan hal ini tidak hanya dalam satu kasus masalah, semisal dalam kasus perpindahan arah kiblat mereka (dari Baitul Maqdis) ke arah Ka’bah. (Ithaf al-Kiram Bi-Syarhi ‘Umdati al-Ahkam, 2/22).

(10) Termasuk petunjuk yang sangat agung terkait dengan pemindahan arah kiblat ini adalah agar setiap orang mengarahkan pandangannya kepada kedudukan kedua masjid ini; Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) dan Masjidil Haram. Dan, bahwasanya kedua masjid ini memiliki keutamaan yang lebih istimewa dibandingkan dengan seluruh masjid-masjid lainnya yang ada di segenap penjuru dunia. (Tahwil al-Qiblah, 1/47).

Di antara keutamaan tersebut, yaitu,

A. Keutamaan Masjidil Haram

  1. Masjidil Haram merupakan bumi Allah yang terbaik dan yang paling dicintaiNya.
  2. Masjidil Haram dijadikan sebagai ‘matsabah’ (tempat berkumpul) bagi manusia. Sebagai tempat kembali bagi manusia, mereka mendatanginya kemudian pulang ke negeri mereka, kemudian mereka kembali lagi kepadanya. Dijadikan sebagai tempat berkumpul bagi mereka dalam haji, umrah, thawaf dan shalat.
  3. Masjidil Haram, Allah jadikan hati sebagian orang, yakni, orang yang mengesakanNya cenderung kepadanya, di setiap zaman dan tempat.
  4. Masjidil Haram adalah “Baitullah”, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- sandarkan pada diriNya yang menunjukkan akan kemuliaannya.
  5. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikannya sebagai Tanah Haram (tanah suci) yang aman.
  6. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, sebagai sumber kebaikan bagi kehidupan mereka dan tempat aman bagi kehidupan mereka.
  7. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan di dalamnya dilipatgandakan balasannya. Bermaksud melakukan kejahatan di dalamnya meskipun belum melakukannya, tercatat sebagai keburukan dan teracam siksa.
  8. Surga adalah ganjaran bagi orang yang berhaji dengan baik ke tempat ini.
  9. Tidak disayariatkan dan tidak dibolehkan untuk thawaf di sekitar tempat apa pun kecuali di sekeliling Ka’bah.
  10. Wajib atas orang yang mampu untuk mendatanginya.
  11. Diharamkan melakukan buang hajat dengan menghadap atau membelakanginya.
  12. Masjidil Haram tidak boleh dimasuki orang-orang musyrik.

B. Keutamaan Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha)

  1. Baitul Maqdis adalah tempat di mana para nabi melakukan shalat berjama’ah. Mereka berkumpul di dalamnya pada malam Isra dan Mi’raj.
  2. Baitul Maqdis merupakan kiblat pertama bagi kaum Muslimin untuk waktu lebih dari 1 ½ tahun.
  3. Baitul Maqdis merupakan tempat tujuan Isra’ Nabi Muhammd -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.
  4. Baitul Maqdis dan daerah sekitarnya mendapat berkah dari Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. (Lihat, Tahwil al-Qiblah, 1/53-70). Wallahu A’lam. (Redaksi)

Referensi:

  1. At-Tamhid Lima Fi al-Muwatha’ Min al-Ma’ani Wa al-Asanid, Yusuf bin Abdillah bin Abdil Bar an-Namiri.
  2. Ithafu al-Kiram Bi Syarhi Umdati al-Ahkam, Abdurrahman as-Suhaim.
  3. Jami’ al-Bayan Fi Ta’wili al-Qur’an, Muhammad bin Jarir ath-Thabiri.
  4. Shahihul Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
  5. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi.
  6. Tahwil al-Qiblah Min al-Quds Ila al-Ka’bah, Muhammad as-Sayyid ‘Abduh Abdurrazzaq.
  7. Tahwil al-Qiblah..Durusun Wa ‘Ibarun, Syaikh Muhammad Kamil as-Sayyid Rabah.
  8. Umdatu al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Badruddin al-‘Aini al-Hanafi.
  9. Zadul Masir Fi ‘Ilmi at-Tafsir, Abdurrahman bin Ali bin Muhammad al-Jauzi.