Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah berfirman,

سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ

Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Yaasin: 36).

Ketika menafsirkan ayat yang mulia ini, al-Hafizh Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir –semoga Allah merahmatinya- berkata:

Dia berfirman,

سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ

Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi.”

Yakni, tanaman, buah-buahan dan tetumbuhan.

وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ

“Dan dari diri mereka.”

Maka Dia telah menjadikan mereka (manusia) laki-laki dan perempuan.

وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ

“Maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”

Yakni, dari makhluk-makhluk yang beragam bentuknya yang mereka tidak mengetahuinya, sebagaimana Dia berfirman,

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Qs. Dzariyat: 49). (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, 6/575).

 

Perpisahan Pasangan Perjumpaan

Sebagaimana halnya ada lelaki ada perempuan, ada betina ada pula jantan, ada malam ada pula siang, maka demikian pula ada perjumpaan ada pula perpisahan. Perpisahan menjadi pasangan perjumpaan. Demikianlah kehidupan yang Allah ciptakan. Allah ciptakan kedua hal tersebut sebagai tabiat kehidupan yang dipergilirkan.

 

Perpisahan Merupakan Keniscayaan

Dengan demikian, perpisahan merupakan keniscayaan. Sebulan yang lalu kita diperjumpakan dengan bulan yang kedatangannya sedemikian kita rindukan. Kemudian, selama sebulan lamanya kita bersua dengannya siang dan malam. Kini, setelah sebulan berlalu, tibalah saatnya kita berpisah dengannya. Berpisah dengannya merupakan keniscayaan bagi kita semua. Seperti keniscayaan setiap orang bakal menjumpai ‘penghancur segala kenikmatan’, yaitu kematian. Berpisah dengan kehidupan dunia yang fana.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185).

 

Harapan Mengiringi Perpisahan

Meski perpisahan dengan bulan Ramadhan merupakan keniscayaan, namun ada secercah harapan yang mengiringi perpisahan ini.

Pertama, semoga saja Allah ‘Azza wa Jalla memperjumpakan kita kembali dengan bulan Ramadhan di tahun-tahun mendatang. Dan, memberikan pula kepada kita taufik  untuk bersua di dalamnya dengan melakukan segala bentuk kebaikan.

Kedua, semoga segala bentuk kebaikan yang telah kita lakukan di dalamnya, mulai dari puasa  di siang harinya, bahkan persiapan sebelumnya berupa santap sahur, bahkan niatan hati yang menyertainya, bahkan tindakan kita berbuka mengakhiri puasa, diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan penerimaan yang sebaik-baiknya. Amin.

Begitu pula halnya dengan amal baik kita yang lainnya, seperti shalat tarawih di malam-malam harinya, doa-doa yang kita panjatkan kepada-Nya, permohonan ampun kita kepada-Nya di waktu sahur, kesibukan mulut kita untuk berdzikir kepada-Nya dan membaca kitab-Nya, sedekah kita, baik yang sunnah maupun yang wajib (semisal zakat fithri)  diterima pula oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Amin.

Sungguh ini merupakan harapan yang sangat besar yang mengiringi perpisahan ini. Betapa tidak, sementara dipastikan rugi bagi siapa yang telah beramal namun amalnya tersebut tidak diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Seperti amal yang dilakukan oleh orang-orang Munafik, orang-orang yang kafir kepada Allah dan mendustakan Rasul-Nya, dan orang-orang yang riya ketika beramal.

Perihal tidak diterimanya amal orang-orang Munafik, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللَّهِ وَبِرَسُوْلِهِ وَلَا يَأْتُوْنَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُوْنَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُوْنَ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (QS. at-Taubah: 54).

Perihal tidak diterimanya amal orang kafir, Allah ‘Azza wa Jalla mengisyaratkannya dalam berfirman-Nya,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُوْرًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).

Dia juga berfirman,

 مَثَلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيْحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لَا يَقْدِرُوْنَ مِمَّا كَسَبُوْا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلالُ الْبَعِيْدُ

“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim: 18).

Dia juga berfirman,

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيْعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا

 “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun…” (QS. Nuur: 39).

Perihal tidak diterimanya amal orang yang riya ketika beramal, Allah ‘Azza wa Jalla mengisyaratkannya dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَاْلأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُوْنَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوْا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan…” (QS. al-Baqarah: 264).

Nah, maka dari itu, mengingat pentingnya perkara diterimnya amal oleh Allah itu, Khalilullah Ibrahim berserta putranya Ismail ‘alaihimassalam mengiringi amal shalehnya dengan doa yang dipanjatkannya agar amalnya tersebut diterima-Nya yang menunjukkan betapa besarnya harapannya akan hal tersebut kepada-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

 وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

 “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.” (QS. al-Baqarah: 127).

Begitulah pula para salaf shaleh (generasi pendahulu yang baik), mereka berdoa, bahkan dalam waktu yang cukup   lama, kurang lebih 6 bulan lamanya agar amal mereka diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Ibnu Rojab –semoga Allah merahmatinya-berkata:

قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سَتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتِّةَ أَشْهَرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

Sebagian salaf mengatakan, ‘dulu mereka berdoa kepada Allah 6 bulan lamanya agar menyampaikan mereka ke bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada Allah 6 bulan lamanya agar Allah menerima amal yang telah mereka lakukan (selama Ramadhan). (Latho-if al-Ma’arif, 1/232).

Ketiga, Semoga pula kebiasaan-kebiasaan baik yang kita lakukan selama bulan ini dapat dilanjutkan di bulan-bulan yang lainnya, seperti, tetap berusaha keras untuk menghindarkan diri dan menjauhi hal-hal yang terlarang karena Allah ‘azza wa jalla, baik terkait dengan ucapan seperti dusta, ghibah, dll, atau pun terkait atau dalam bentuk perbuatan, seperti, merampas hak orang lain, mengais rizki dengan jalan yang batil, mendengarkan musik, menyengaja melihat sesuatu yang haram dilihat (aurat manusia yang tidak halal untuk dilihat), dan lain sebagainya.

 

Kebiasaan Qiyamullail

Yang tidak kalah pentingnya lagi dari bentuk kebiasaan baik yang patut kita lanjutkan adalah Qiyamullail meski hanya 2 rakaat plus 1 rakaat witir setiap malamnya, karena tidak selayaknya orang yang telah terbiasa qiyamullail kemudian ia meninggalkannya.

Abdullah bin Amr bin al-Ash –semoga Allah meridhainya- berkata, “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– pernah mengatakan kepadaku,

يَا عَبْدَ اللَّهِ لَا تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

Wahai Abdullah! Janganlah kamu seperti si fulan, dulu ia biasa mengerjakan Qiyamullail, namum kini, Ia meninggalkan qiyamullail.” (HR. al-Bukhari, no. 1152).

Imam al-Bukhari memberi judul hadis ini dengan:

بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنْ تَرْكِ قِيَامِ اللَّيْلِ لِمَنْ كَانَ يَقُوْمُهُ

Bab dimakruhkannya meninggalkan Qiyamullail bagi orang yang telah biasa mengerjakannya. (Shahihul Bukhari, 3/15).

 

Kebiasaan Membaca dan Mengkaji al-Qur’an

Kebiasaan baik lainnya yang tentunya pula tidak patut untuk ditingalkan adalah membaca dan mengkaji al-Qur’an kitab-Nya yang mulia yang merupakan petunjuk hidup bagi kita, manusia. Tidak sapatutnya satu hari itu kita lewati, tanpa kita menyempatkan diri pada sebagian waktunya untuk membaca atau mengkajinya.

Perbuatan ini (yakni, tidak membaca al-Qur’an sehari saja) sangat tidak disukai oleh orang-orang shaleh, semisal sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– yang mulia, Utsman bin Affan –semoga Allah meridhainya-. Ia pernah berkata:

لَوْ أَنَّ قُلُوْبَنَا طَهُرَتْ مَا شَبِعَتْ مِنْ كَلَامِ رَبِّنَا ، وَإِنِّي لَأَكْرَهُ أَنْ يَأْتِي عَلَيَّ يَوْمٌ لَا أَنْظُرُ فِي الْمُصْحَفِ

Andai kata hati-hati kita suci, niscaya tak akan pernah merasa kenyang dari firman Rabb kita. Sungguh, aku benci, ketika datang suatu hari kepadaku sementara aku tidak melihat ke al-Mushaf (al-Qur’an) (yakni, tidak membaca al-Qur’an dengan melihat Mushaf). (al-Asma Wa ash-Shifat, 1/593).

Keempat, semoga ‘ampunan’ yang dijanjikan bagi orang yang berpuasa dan qiyam Ramadhan, dalam sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa shalat pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala niscaya dosanya yang telah lalu diampuni. Dan, barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala niscaya dosanya yang telah lalu diampuni pula.” (HR. al-Bukhari).

Kita dapatkan sebagai oleh-oleh yang sangat berharga dalam perpisahan ini. Karena, alangkah rugi dan hina bila ini tidak kita dapatkan dalam perpisahan ini.

Dalam hadis Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- disebutkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– yang mengisyaratkan hal ini.

 …وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ اِنْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرْ لَهُ…

 …Kehinaan bagi seseorang yang bulan Ramadhan mendatanginya, kemudian berlalu sebelum dosanya terampunkan… (HR. At-Tirmidzi).

 

Kekhawatiran Pun Mengiringi Perpisahan Pula

Selain harapan, kekhawatiran pun hendaknya mengiringi perpisahan ini pula. Kekhawatiran dari apa? Kekhawatiran dari kematiankah? Bukan. Karena, hal itu sejatinya tidak perlu dikhawatirkan, karena merupakan keniscayaan, sekalipun merupakan rahasia yang kita tidak tahu kapan dan di mana ajal itu bakal datang menjemput kita. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Lukman: 34).

Tapi, kekhawatiran dari ‘tidak diterimanya amal‘, itulah kekhawatiran yang hendaknya menyertai perpisahan ini. Para salaf shaleh mereka sangat mengkhawatirkan hal ini. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُوْنَ.  أُولَئِكَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُوْنَ

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun: 60-61).

Al-Hafizh Ibnu Katsir –semoga Allah merahmatinya- berkata :

Yakni, mereka memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut  akan tidak diterimanya amal tersebut dari mereka…(Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 5/480).

Sebagaimana hal ini diterangkan dalam hadis dimana Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb al-Hamadani meriwayatkan bahwa Aisyah, istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– tentang ayat ini,

وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (Apakah) mereka itu adalah orang-orang yang minum khamer dan mencuri? Beliau menjawab,

      لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيْقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِيْنَ يَصُوْمُوْنَ وَيُصَلُّوْنَ وَيَتَصَدَّقُوْنَ وَهُمْ يَخَافُوْنَ أَنْ لَا يَقْبَلُ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ

Bukan, wahai putri ash-Shiddiq. Akan tetapi, mereka itu adalah orang-orang yang gemar berpuasa, shalat, bersedekah sedang mereka takut tidak dirimanya amal tersebut dari mereka. Mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan.” (HR. at-Tirmidzi).

Abdul Aziz bin Abi Rawwad –semoga Allah merahmatinya- mengatakan:

أًدْرَكْتُهْمْ يَجْتَهِدُوْنَ فِي الْعَمَلِ الصَّالِحِ فَإِذَا فَعَلُوْهُ وَقَعَ عَلَيْهِمْ اَلْهَمُّ أَيَقْبَلُ مِنْهُمْ أَمْ لَا

Aku mendapati mereka (para sahabat), mereka sedemikian bersungguh-sungguh dalam beramal shaleh, lalu bila mereka telah melakukannya, hati mereka dihinggapi rasa khawatir, apakah amal mereka diterima ataukah tidak? (Latho-if al-Ma’arif, 1/232). Wallahu A’lam.

 

(Redaksi)

Referensi:

  1. Al-Asma Wa ash-Shifat, Ahmad bin Husain al-Baihaqi.
  2. Latho-if al-Ma’arif Fii Maa Lil Mawasimi Min Wadha-if, Abdurrahman bin Ahmad bin Rojab al-Hanbali.
  3. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
  4. Sunan at-Tirmidziy, Muhammad bin Isa As-Sulami.
  5. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi.