Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ

“Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.” {Al-Baqarah: 216}.

Ini adalah kaidah agung yang memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan orang-orang yang memahaminya dan mengambil petunjuk dengan petunjuknya. Ini adalah kaidah yang memiliki hubungan dengan salah satu pokok keimanan yang agung, yaitu “Iman kepada Qadha’ dan Qadar.” Kaidah ini adalah Firman Allah Ta’ala dalam Surat al-Baqarah dalam konteks tentang kewajiban jihad di jalan Allah Ta’ala,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216).

Ibnul Qayyim-رَحِمَهُ اللهُ-memiliki perkataan yang berharga dalam al-Fawa’id, alangkah baiknya (jika Anda) mengambil manfaat darinya. (Hal. 246).

“Kebaikan” yang disebutkan secara global ini ditafsirkan oleh Firman Allah Ta’ala lainnya dalam Surat an-Nisa’ dalam konteks tentang menceraikan istri,

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’: 19).

FirmanNya, خَيْرًا كَثِيرًا “kebaikan yang banyak”, adalah penafsir dan penjelas bagi “kebaikan” yang disebutkan dalam ayat (dalam surat) al-Baqarah, dan ia adalah ayat pertama yang dengannya kami buka pembicaraan ini.

Makna Kaidah Ini Secara Ringkas:

Bahwa manusia terkadang tertimpa oleh takdir yang menyakitkan yang tidak disukai oleh dirinya, maka mungkin saja ia tidak sabar, atau ia dihinggapi oleh kesedihan lalu ia mengira bahwa takdir tersebut adalah pukulan yang bisa memusnahkan harapan-harapan dan hidupnya, tetapi justru ternyata dengan takdir tersebutlah manusia mendapatkan kebaikan dari arah yang tidak ia ketahui.

Dan sebaliknya benar: Berapa banyak manusia yang berusaha dalam sesuatu yang kelihatannya baik, berjuang mati-matian untuk mendapatkannya, dan mengeluarkan apa yang mahal dan berharga demi mendapatkannya, tetapi ternyata justru yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang ia inginkan.

Jika Anda merenungkan dua ayat yang mulia tersebut, (yakni) ayat pertama dan kedua, Anda akan menemukan bahwa ayat pertama, yang berbicara tentang kewajiban jihad, berbicara tentang sakit fisik dan jasmani yang bisa menimpa orang-orang yang berjihad di jalan Allah, sebagaimana pada umumnya, dan jika Anda merenungkan ayat kedua, yakni ayat tentang menceraikan istri, Anda akan mendapatkannya berbicara tentang sakit psikologis yang bisa menimpa suami atau istri disebabkan salah satu (dari keduanya) memisahkan diri dari pasangannya!

Dan jika Anda merenungkan ayat jihad, Anda akan mendapatkannya berbicara tentang salah satu ibadah, dan jika Anda merenungkan ayat (dalam surat) an-Nisa’, Anda akan mendapatkannya berbicara tentang hubungan-hubungan duniawi.

Jadi, kita berada di hadapan kaidah yang mencakup hal-hal yang banyak, baik itu masalah agama maupun duniawi, fisik maupun psikologis, dan ia adalah hal-hal yang seseorang hampir tidak dapat melepaskan diri darinya dalam kehidupan dunia ini, yang mana telah digambarkan oleh ucapan seorang penyair.

Manusia diciptakan dalam keadaan keruh,
dan engkau menginginkannya
jernih dari berbagai noda dan kotoran?

Dan Firman Allah Ta’ala lebih mengena,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Al-Balad: 4).

Jika hal ini telah jelas, maka ketahuilah bahwa mengaplikasikan kaidah al-Qur’an ini ke dalam kehidupan adalah salah satu di antara apa yang paling besar yang dapat memenuhi hati dengan ketenangan dan kenyamanan, dan merupakan salah satu sebab yang paling penting untuk membuang kegalauan yang senantiasa menimpa kebanyakan manusia; disebabkan suatu kejadian tertentu, atau disebabkan oleh salah satu takdir yang menyakitkan yang menimpa dirinya di suatu hari tertentu!

(1). Kisah ibu Nabi Musa –عَلَيْهِ السَّلَامُ- yang melemparkan anaknya (Musa kecil) ke laut!
Jika Anda renungkan, Anda akan mendapatkan bahwa tidak ada yang lebih dibenci oleh ibu Musa daripada jatuhnya anaknya di tangan keluarga Fir’aun, dan walaupun demikian tampaklah akibatnya yang terpuji dan pengaruhnya yang baik di hari-hari berikutnya, dan inilah yang diungkapkan oleh akhir dari kaidah ini :

وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

(2). Renungkanlah kisah Nabi Yusuf –عَلَيْهِ السَّلَامُ- , Anda akan mendapatkan bahwa ayat ini sangat cocok sekali dengan apa yang terjadi pada diri beliau dan ayah beliau, Ya’qub –عَلَيْهِ السَّلَامُ-.

(3). Renungkanlah (juga) kisah anak kecil yang dibunuh oleh Khidhir atas dasar perintah Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-; karena ia menjelaskan sebab ia membunuh dengan FirmanNya,

وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا

“Dan adapun anak muda itu, maka kedua orangtuanya adalah orang-orang Mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (Al-Kahfi: 80-81).

Kita berhenti sejenak di sini dan bertanya :
Berapa banyak manusia yang Allah Ta’ala belum menakdirkan untuk menganugerahinya anak, lalu hatinya menjadi sempit karenanya?! Ini adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi yang tidak layak untuk terus berlanjut adalah kesedihan yang terus-menerus, dan merasa (selalu) gagal yang dapat menghancurkan seluruh pekerjaan dan aktivitasnya dalam hidup ini!

Andai saja orang yang belum dianugerahi nikmat anak merenungkan ayat ini, bukan hanya untuk menghilangkan kesedihannya saja, tetapi juga agar hatinya tenang dan dadanya lapang, dan andai saja ia melihat takdir ini dengan kaca mata nikmat dan rahmat, dan bahwasanya Allah Ta’ala bisa jadi memberikannya nikmat ini karena sayang kepadanya! Siapa yang tahu? Mungkin saja jika dia dianugerahi anak, anak ini akan menjadi sebab kecelakaan dan penderitaan bagi kedua orang tuanya, serta mengganggu hidup mereka berdua, atau memperburuk reputasi baik mereka berdua!

(4). Dalam kehidupan nyata, terdapat kisah-kisah yang banyak sekali, saya sebutkan sebagiannya:
Ada seorang laki-laki yang datang ke bandara, dan ia kelelahan (karena mengangkat) beberapa barang, lalu ia tertidur yang menyebabkan pesawatnya berangkat, dan di dalamnya ada banyak penumpang yang lebih dari 300 penumpang, maka ketika ia bangun, ternyata pesawatnya baru saja berangkat, dan ia ketinggalan pesawat, maka sesaklah dadanya, dan ia menyesal dengan penyesalan yang sangat. Dan tak lewat beberapa menit kemudian setelah keadaan yang menimpanya ini, tersiar kabar tentang jatuhnya pesawat tersebut dan terbakarnya orang-orang yang ada di dalamnya secara keseluruhan!

Pertanyaannya adalah: Bukankah berarti ketinggalan pesawat itu lebih baik bagi orang ini?! Akan tetapi, mana orang-orang yang mau merenungkan dan mengambil pelajaran?

Seorang penyair berkata:
“Seseorang itu harus mencurahkan kesungguhannya
kepada tujuan kebaikan
Dan bukanlah kewajibannya
tujuan-tujuan harus tergapai penuh”

Dan hendaknya ia bertawakal kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, mengerahkan yang ia mampu dari sebab-sebab yang disyariatkan, dan jika terjadi sesuatu yang tidak ia sukai, hendaklah ia mengingat kaidah al-Qur’an yang agung ini,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216).

Dan hendaklah ia mengingat bahwasanya di antara kelembutan Allah terhadap hamba-hambaNya, “Bahwasanya Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-menakdirkan bagi mereka berbagai macam musibah, ujian, dan cobaan dengan perintah dan larangan yang berat adalah karena kasih sayang dan kelembutanNya kepada mereka, dan sebagai tangga untuk menuju kesempurnaan dan kesenangan mereka.” (Tafsir Asma’ al-Husna, hal. 74, karya as-Sa’di).

Dan di antara kelembutan Allah yang agung, bahwasanya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak menjadikan kehidupan dan kebahagiaan manusia terkait dengan sempurna kecuali denganNya, sedangkan perkara-perkara lainnya bisa saja diganti seluruhnya atau sebagiannya.

“Akan selalu ada gantinya dari segala sesuatu
yang engkau sia-siakan
Tetapi engkau tidak akan mendapatkan ganti dari Allah
jika engkau menyia-nyiakannya.”

Sumber:

50 Prinsip Pokok Ajaran Al-Qur’an, Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.