Ada satu bentuk pernikahan (yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk tujuan menghapuskan adapt jahiliyah yang sudah mendarah daging, yaitu masalah adopsi. Bagi bangsa Arab pada masa jahiliyah, orang yang diadopsi sebagai anak memiliki kehormatan dan hak-hak yang sama persis dengan hak dan kehormatan yang dimiliki oleh anak kandung yang sebenarnya.

Prinsip adat tersebut telah mengakar di dalam hati dan tidak mudah untuk menghapuskannya, padahal prinsip adat tersebut sangat bertentangan dengan asas-asas dan prinsip-prinsip yang ditetapkan Islam dalam permasalahan nikah, thalaq, warisan, dan hal–hal lain yang berhubungan dengan mu’amalah. Prinsip adat jahiliyah tersebut telah mengakibatkan banyak kerusakan dan kekejian, yang mana Islam datang untuk menghapuskannya.

Untuk menghancurkan adat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membatalkan kebiasaan adopsi dan memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah putri bibinya, yaitu Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha, yang sebelumnya adalah sebagai istri Zaid radhiyallahu ‘anhu, yang keduanya belum pernah merasakan keharmonisan, karena tidak setara (dalam status sosial), sehingga Zaid radhiyallahu ‘anhu berkeinginan untuk menceraikannya. Dan hal ini terjadi di saat pasukan sekutu (Ahzab) sedang mengepung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ummat Islam. Pada saat itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah merasakan kekhawatiran akan propaganda kaum munafikin, kaum musyrikin dan orang-orang Yahudi, ditambah lagi kekhawatiran terhadap pengaruh buruknya di dalam hati sebagian orang yang lemah imannya. Oleh karena itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin sekali agar Zaid radhiyallahu ‘anhu tidak menceraikan istrinya supaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak terjatuh ke dalam ujian tersebut.

Tidak diragukan lagi, bahwa keragu-raguan sangat tidak sejalan dengan kesempurnaan tujuan diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan firman-Nya:

وإذ تقول للذي أنعم الله عليه وأنعمت عليه أمسك عليك زوجك واتق الله وتخفي في نفسك ما الله مبديه وتخشى الناس والله أحق أن تخشاه

”Dan ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedangkan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah telah menyataknnya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allahlah yang lebih berhak kamu takut.”(QS.Al-Ahzaab:37)

Ketentuan Allah telah menghendaki Zaid radhiyallahu ‘anhu untuk menceraikannya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menikahinya pada saat dilakukan pengepungan terhadap Bani Quraizhah. Beliau menikahinya setelah masa ‘iddahnya habis. Dan sebelumnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan nikah dengan Zainab radhiyallahu ‘anha tersebut dan tidak memberikan kesempatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memilih, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang bertindak sebagai wali dalam pernikahan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فلما قضى زيد منها وطرا زوجناكها لكي لا يكون على المؤمنين حرج في أزواج أدعيائهم إذا قضوا منهن وطرا

”Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menceraikan istrinya.”(QS.Al-Ahzaab:37)

Hal ini untuk menghilangkan prinsip tabanni (kebiasaan mengadopsi) secara parkatek (nyata), sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menghpusnya dengan firman-Nya:

ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله

”Panggillah mereka (anak-anak angkat) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (QS.Al-Ahzaab:5)

ما كان محمد أبا أحد من رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبيين

”Muhammad itu sekali-sekali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS.Al-Ahzaab:40)

Seberapa banyak adat kebiasaan yang telah mengakar dengan kuat tidak bisa dihilangkan atau diluruskan hanya dengan perkataan saja, akan tetapi harus diiringi dengan perbuatan (yang nyata) dari juru dakwah. Hal ini (terlihat) jelas pada apa yang terjadi pada kaum kum Muslimin pada kisah Hudaibiyah. Di sana, kaum Muslimin yang pernah dilihat oleh ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu (sebagai orang-orang yang sangat cinta dan taat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ) tidak ada dahak yang jatuh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali berada pada tangan salah satu di antara mereka. ‘Urwah melihat mereka bersegera menuju (bekas) air wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka (seakan-akan) hampir saling berbunuh-bunuhan memperebutkannya.

Benar, mereka inilah orang-orang yang saling berlomba berbai’at di bawah pohon untuk siap mati atau tidak melarikan diri. Orang-orang yang di antara mereka ada yang semisal Abu Bakar dan ‘Umar mereka ini ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada mereka (yang mana mereka adalah orang-orang yang rela mati demi membela beliau) untuk menyembelih kurban, namun tidak seorang pun dari mereka yang melaksanakan perintahnya, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa risau dan gelisah. Akan tetapi ketika Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menyarankan kepada beliau agar menyembelih hewan kurbannya tanpa mengajak bicara mereka, kemudian beliau melaksanakannya, para sahabatpun segera mengikuti apa yang dilakukan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berlomba-lomba untuk menyembelih kambing-kambing mereka.

Dengan kejadian ini, tampak jelas perbedaan pengaruh perkataan dan perbuatan untuk menghilangkan adat yang telah mengakar.

Orang-orang munafik telah banyak menyebarkan gossip dan melakukan propaganda-propaganda bohong yang meluas seputar pernikahan ini. Gossip dan propaganda tersebut berpengaruh kepada sebagian kaum Muslimin yang lemah imannya, apalagi Zainab radhiyallahu ‘anha merupakan istri kelima bagi beliau, sedangkan kaum Muslimin belum mengetahui halalnya menikah lebioh dari empat (bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan lagi Zaid radhiyallahu ‘anhu sudah dianggap sebagai anak beliau, sedangkan menikahi istri anak itu merupakan dosa yang sangat keji.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan penjelasan yang cukup jelas dan tuntas seputar dua permasalahan ini dalam surat al-Ahzab, dan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum mengetahhui bahwa mengadopsi itu tidak ada pengaruhnya dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keleluasaan kepada Rasul-Nya dalam hal pernikahan yang tidak diizinkan bagi selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tujuan-tujuan yang baik dan mulia……Bersambung Insyaa Allah

(Sumber:Sirah Nabawiyah Syaikh Mubarakfuri edisi terjemah, Pustaka al-Sofwa hal 653-655. oleh Abu Yusuf Sujono)