Qiyafah, sebuah kata asing, barangkali sebagian pembaca belum mendengar kecuali pada saat ini. Ini adalah kata dari bahasa Arab yang berarti menelusuri, dikatakan Qaafa atsarahu yang berarti mengikuti dan menelusuri jejaknya, pelakunya disebut dengan qaif yaitu orang yang mengetahui jejak setelah sebelumnya dia menelusurinya.

Secara istilah, maknanya tidak keluar dari makna secara bahasa, al-Jurjani berkata, “Qaif adalah orang yang mengetahui nasab dengan firasat dan perhatiannya kepada anggota tubuh bayi.”

Al-Absyihi berkata, “Adapun qiyafah maka ia terbagi menjadi dua macam: Qiyafah al-Basyar dan qiyafah al-Atsar. Yang pertama adalah penelitian terhadap ciri-ciri anggota tubuh manusia. Hal ini khusus dengan suatu kaum dari orang-orang Arab yang bernama Bani Mudlij, seorang bayi disodorkan kepada salah seorang Bani Mudlij di hadapan dua puluh orang maka dia akan menasabkannya kepada satu dari dua puluh orang tersebut.

Dikisahkan dari sebagian anak saudagar bahwa dia melakukan perjalanan, mengendarai untanya yang dituntun oleh seorang hamba sahayanya yang berkulit gelap, dia melewati kabilah Bani Mudlij, maka salah seorang dari Bani Mudlij melihat kepadanya, dia berkata, “Betapa miripnya pengendara dengan penuntun unta.” Anak saudagar ini berkata dalam hati, “Hal itu membuatku bersedih, manakala aku pulang kepada ibuku, aku menceritakan kisah ini, maka ibuku berkata, “Anakku, bapakmu adalah laki-laki tua yang berharta, dia tidak mempunyai anak, aku khawatir hartanya tidak bisa kita dapatkan, maka aku melakukan dengan pelayan itu sehingga aku hamil darinya, kamulah anak itu. Kalau perkara ini tidak akan kamu ketahui di akhirat nanti niscaya aku tidak akan mengatakannya kepadamu di dunia.”

Adapun yang kedua maka dia adalah penelitian terhadap telapak kaki, manusia, kuda dan unta. Hal ini khusus dengan suatu kaum dari orang-orang Arab di mana tanah mereka adalah pasir, jika ada yang kabur dari mereka atau seorang pencuri datang kepada mereka, maka mereka akan mengendus jejak kakinya sehingga mereka bisa menangkapnya, yang ajaib adalah bahwa mereka bisa membedakan jejak telapak kaki anak muda dengan orang tua, wanita dengan laki-laki, wanita perawan dengan wanita tidak perawan dan orang asing yang tinggal di suatu daerah.”

Ketenaran Bani Mudlij dalam perkara yang satu ini tidak perlu disangsikan, Nabi saw sendiri pernah berbahagia mendengar keputusan salah seorang dari mereka. Dari Aisyah berkata, Rasulullah saw datang kepadaku pada suatu hari, beliau sangat gembira, aura wajahnya berbinar, beliau bersabda, “Wahai Aisyah, apakah kamu tidak mengetahui bahwa Mujazziz al-Mudliji datang kepadaku, dia melihat Usamah dan Zaid, wajah keduanya ditutupi oleh selembar kain, yang terlihat adalah kaki mereka, lalu Mujazziz itu berkata, ‘Sesungguhnya sebagian dari kaki ini berasal dari sebagian yang lain.” (Muttafaq alaihi).

Kegembiraan Nabi saw di sini adalah dalam rangka terbantahkannya isu dusta yang dihembuskan oleh sebagian orang yang menyangsikan Usamah sebagai anak dari Zaid bin Haritsah, kesangsian mereka beralasan seperti yang dikatakan oleh Abu Dawud aku mendengar Ahmad bin Shalih berkata, “Usamah berkulit sangat hitam layaknya pelangkin sedangkan Zaid bapaknya berkulit putih layaknya kapas.”

Perhatikanlah keahlian Mujazzij al-Mudliji ini, hanya dengan melihat kepada telapak kaki, dia mampu menetapkan bahwa sebagian darinya berasal dari sebagian yang lain. Bukan dengan melihat wajah, kalau perkara melihat wajah, siapa pun mengerti, karena setipis apa pun anak dengan bapak, tetaplah ada kemiripannya dan hal itu sangat terbaca dari raut wajah. Akan tetapi dari telapak kaki, siapa berani? Sebuah keahlian unik dan diakui oleh peletak syariat.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni VI/ 47 berkata, “Qafah adalah suatu kaum yang mengenal seseorang melalui kemiripan, ia tidak khusus dengan kabilah tertentu, akan tetapi yang sudah dikenal memiliki ilmu tentang hal ini dan terbukti benar berkali-kali maka dia adalah qaif. Ada yang berkata, paling banyak ditemukan pada Bani Mudlij kaum Mujazziz al-Mudliji yang melihat Usamah bersama Zaid bapaknya dalam keadaan tertutup wajah keduanya, yang terlihat dari keduanya adalah kedua kakinya, maka dia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari kaki ini berasal dari sebagian yang lain.” Iyas bin Muawiyah al-Muzani adalah seorang qaif, hal sama dikatakan pada Syuraih. Perkataan qaif tidak diterima kecuali jika dia laki-laki, adil, terbukti benar, merdeka, sebab perkataannya adalah hukum, maka syarat-syarat ini harus terpenuhi.”

Lanjut Ibnu Qudamah, al-Qadhi berkata, “Pengetahuan seorang qaif diukur dengan uji coba, caranya seorang bayi dihadirkan bersama sepuluh orang laki-laki, sementara laki-laki yang mengakuinya sebagai anak tidak berada di antara mereka, lalu dia melihat mereka, jika dia menasabkan bayi itu kepada salah seorang dari mereka maka gugurlah perkataannya, karena kita telah membuktikan kekeliruannya, jika dia tidak menasabkan kepada salah satu dari dari sepuluh orang itu maka kita menghadirkan dua puluh orang termasuk orang yang mengakuinya sebagai anak, jika dia menasabkan anak itu kepada orang yang mengakuinya maka dia dinasabkan kepadanya. Seandainya hal ini dilakukan, qaif melihat seorang anak yang nasabnya sudah dikenal bersama sekelompok orang di antara mereka ada bapak dan saudaranya, lalu dia mengindukkannya kepada kerabatnya, maka diketahui kebenarannya, jika dia mengindukkannya kepada orang lain maka gugurlah perkataannya, hal ini mungkin dilakukan. Uji coba ini pada saat penyodorannya kepada qaif untuk memastikan apakah dia benar atau tidak tidak. Jika kamu tidak mengujinya pada saat itu, namun dia sudah terkenal dengan ketepatannya dan kebenaran ilmunya berkali-kali, maka hal ini boleh.”

Kami telah meriwayatkan bahwa seorang laki-laki terpandang meragukan anaknya dari hamba sahayanya, dia menolak mengakuinya, maka Iyas bin Muawiyah melewatinya di sebuah halaqah sedangkan dia tidak mengetahuinya, Iyas berkata, “Panggil bapakmu ke mari.” Maka muallim bertanya, “Siapa bapaknya?” Iyas menjawab, “Fulan.” Muallim bertanya, “Dari mana engkau mengetahui bahwa fulan adalah bapak anak ini?” Iyas menjawab, “Dia mirip dengannya, lebih mirip daripada burung gagak dengan burung gagak.” Maka muallim berdiri dengan gembira menemui bapaknya, dia menyampaikan kata-kata Iyas kepadanya, maka laki-laki ini menemui Iyas, dia bertanya, “Dari mana engkau mengetahui bahwa anak ini adalah anakku?” Iyas menjawab, “Subhanallah, apakah anakmu samar bagi orang-orang? Dia sangat mirip denganmu daripada burung gagak dengan burung gagak.” Maka laki-laki itu gembira dan mengakui anak itu sebagai anaknya.” Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)