Adab-adab Berkaitan Dengan Masjid

(1) Keutamaan membangun masjid adalah bahwa Allah akan membangunkan satu rumah di surga untuk orang yang membangunnya.[1]

(2) Para ulama berkata tentang batasan masjid: Apa yang berada di bagian dalam pagar dan pintu masjid, maka itu adalah bagian dari masjid.[2]

(3) Ada pendapat yang mengatakan bahwa Firman Allah Ta’ala,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan bahwasanya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Al-Jin: 18),

adalah dalil tidak bolehnya menisbatkan masjid kepada makhluk dengan penisbatan sebagai hak milik dan keistimewaan, sedangkan menisbatkan masjid kepada sesuatu yang masjid itu dikenal dengannya, maka tidak masuk dalam kategori larangan ini. Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menisbatkan Masjid Nabawi kepada dirinya (dengan mengatakan), مَسْجِدِيْ هٰذَا (masjidku ini), dan juga menisbatkan Masjid Quba’ kepada daerah Quba’, serta menisbatkan Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis kepada Iliya’. Semua ini adalah penisbatan masjid kepada selain Allah untuk mengenalkan namanya. Ini tidak masuk dalam larangan dimaksud.[3]

(4) Menghindari menghadiri masjid-masjid bagi orang yang memakan bawang putih atau bawang merah (mentah); berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi bersabda shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَكَلَ ثُوْمًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا -أَوْ قَالَ: فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا- وَلْيَقْعُدْ فِيْ بَيْتِهِ

“Barangsiapa yang memakan bawang putih atau bawang merah (mentah), maka hendaklah dia memisahkan diri dari kami atau (kalau tidak salah) beliau bersabda: maka hendaklah dia memisahkan diri dari masjid kami dan hendaklah dia duduk saja di rumahnya.”[4]

Dan diqiyaskan dengan bawang putih dan bawang merah mentah adalah semua bau yang tidak sedap yang dapat mengganggu orang-orang yang shalat, tetapi jika orang bersangkutan menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan bau tidak sedap yang menjijikkan seperti pasta gigi misalnya, maka dia tidak dilarang untuk tetap datang ke masjid.

(5) Disunnahkan berangkat ke masjid di awal waktu dan bersegera kepadanya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَوْ تَعْلَمُوْنَ -أَوْ: يَعْلَمُوْنَ- مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لَكَانَتْ قُرْعَةً

“Kalau kalian mengetahui atau: mereka mengetahui pahala yang ada pada shaf pertama, niscaya benar-benar terjadi undian (untuk mendapatkannya).”[5]

(6) Disunnahkannya berjalan ke masjid dengan khusyu’, tenang dan damai. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang umatnya untuk berjalan tergesa-gesa menuju shalat mereka hingga walaupun iqamat shalat telah dikumandangkan. Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ سَمِعَ جَلَبَةَ رِجَالٍ، فَلَمَّا صَلَّى قَالَ: مَا شَأْنُكُمْ؟ قَالُوْا: اِسْتَعْجَلْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. فَقَالَ: فَلَا تَفْعَلُوْا، إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

“Ketika kami sedang shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba beliau mendengar kegaduhan sejumlah orang, maka tatkala beliau telah usai shalat, beliau bertanya, ‘Ada apa dengan kalian.’  Mereka menjawab, ‘Kami buru-buru mendatangi shalat.’  Beliau bersabda, ‘Janganlah kalian melakukannya; apabila kalian mendatangi shalat, maka hendaklah kalian tenang, apa yang kalian dapatkan, maka shalatlah, dan apa yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah (setelah itu)’.”[6]

(7) Ketika berjalan ke masjid membaca doa,

اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ فِيْ قَلْبِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ لِسَانِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ سَمْعِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ بَصَرِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ خَلْفِيْ نُوْرًا، وَأَمَامِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِيْ نُوْرًا، وَمِنْ تَحْتِيْ نُوْرًا. اَللّٰهُمَّ وَأَعْظِمْ لِيْ نُوْرًا

“Ya Allah, jadikanlah cahaya di hatiku, jadikanlah cahaya di lidahku, jadikanlah cahaya di pendengaranku, jadikanlah cahaya di penglihatanku, jadikanlah cahaya di belakangku, jadikanlah cahaya di depanku, jadikanlah cahaya dari atasku, dan jadikanlah cahaya dari bawahku. Ya Allah, besarkanlah cahaya untukku.”[7]

(8) Masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan dan mengucapkan,

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ. اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatMu.”

(9) Dan ketika keluar dari masjid mendahulukan kaki kiri dan mengucapkan,

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu sebagian dari karuniaMu.”[8]

(10) Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid ketika masuk masjid; berdasarkan hadits Abu Qatadah as-Sulami, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk.”[9]

Dan di antara yang menyelisihi sunnah (yang dilakukan sebagian kaum Muslimin) adalah tidak shalat Tahiyyatul Masjid ini dengan alasan waktu tersebut adalah waktu dilarangnya shalat.

(11) Keutamaan duduk di masjid dan menunggu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

… فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلَاةِ مَا كَانَتِ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ، وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّوْنَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِيْ مَجْلِسِهِ الَّذِيْ صَلَّى فِيْهِ، يَقُوْلُوْنَ: اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اَللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ؛ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيْهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيْهِ

“… lalu apabila dia masuk masjid, maka dia dalam shalat selama shalatlah yang menahannya, dan para malaikat memohonkan ampunan untuk salah seorang dari kalian selama berada di tempat duduknya di mana dia shalat. Para malaikat itu berdoa, ‘Ya Allah, limpahkanlah rahmat untuknya, ya Allah, berilah dia ampunan, ya Allah, terimalah taubatnya’; selama dia tidak menyakiti (orang lain) padanya, selama dia belum berhadats padanya.”[10]

(12) Terdapat larangan keras duduk-duduk berkumpul di masjid apabila yang dibicarakan adalah masalah-masalah duniawi, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَتَحَلَّقُوْنَ فِيْ مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هِمَّتُهُمْ إِلَّا الدُّنْيَا، لَيْسَ لِلَّهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ، فَلَا تُجَالِسُوْهُمْ

“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana mereka berkumpul (duduk-duduk) di masjid-masjid mereka sedangkan mereka tidak memiliki keinginan (yang dibincangkan) kecuali dunia, Allah tidak memiliki keperluan pada mereka, maka janganlah kalian duduk bersama mereka.”[11]

(13) Disunnahkan agar masjid dijaga dari kegaduhan, banyak omongan yang sia-sia (tidak berguna), dan mengeraskan suara dengan hal-hal yang dibenci.[12]

(14) Boleh berbaring terlentang di masjid, berdasarkan hadits dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّهُ رَأَى رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْتَلْقِيًا فِي الْمَسْجِدِ وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى

“Bahwasanya dia pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring terlentang di masjid dengan meletakkan salah satu dari kedua kaki beliau di atas yang lain.”[13]

(15) Boleh menjulurkan kaki ke arah kiblat[14], tetapi menghindari menjulurkan kedua kaki ke arah mushaf al-Qur’an, sebagai suatu adab dan pengagungan terhadap Firman Allah.

(16) Boleh tidur di masjid, sebagaimana para sahabat Ashhab ash-Shuffah[15] tidur di masjid[16]. Bila seseorang mimpi yang membuatnya junub, maka hendaklah segera keluar dari masjid untuk mandi.[17] Dari Ibnu Umar diriwayatkan bahwasanya beliau pernah tidur dimana beliau ketika itu adalah seorang pemuda perjaka yang tidak memiliki istri di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.[18]

(17) Dilarang melakukan jual beli di masjid; berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوْا: لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

“Apabila kalian melihat ada orang yang menjual atau membeli (sesuatu) di masjid, maka katakanlah (kepadanya), ‘Semoga Allah tidak memberi keuntungan pada jual belimu’.”[19]

Dan di antara praktik-praktik yang menyelisihi syariat adalah memasang iklan jual beli (baik barang maupun jasa) di dalam masjid.

(18) Dilarang pula mengumumkan barang hilang di masjid; berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ [ضَالَّةً] فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيَقُلْ: لَا رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ، فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا

“Barangsiapa yang mendengar seorang laki-laki mengumumkan pencarian [suatu barang hilang] di masjid, maka hendaklah dia mengatakan, ‘Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu,’ karena masjid-masjid tidak dibangun untuk perkara seperti ini.”[20]

(19) Boleh mengeraskan suara di masjid dengan ilmu dan kebaikan, sedangkan gaduh dan hal-hal semacamnya, maka tidak boleh.

(20) Boleh meminta-minta di masjid ketika ada keperluan mendesak.

(21) Dilarang menyelang-nyelingi jari-jari ketika berjalan ke masjid sebelum shalat. Sungguh Ka’ab bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ، فَإِنَّهُ فِيْ صَلَاةٍ

“Apabila seseorang dari kalian telah berwudhu, lalu membaguskan wudhunya, kemudian dia keluar dengan maksud ke masjid, maka janganlah dia menyelang-nyelingi antara kedua jari tangannya; karena sesungguhnya dia di dalam shalat.”[21]

Dan boleh melakukannya setelah shalat

(22) Boleh makan dan minum di masjid; berdasarkan hadits Abdullah bin al-Harits bin Jaz’ az-Zubaidi, (yang mengatakan),

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ

“Kami dahulu, di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pernah makan roti (panggang) dan daging di masjid.”[22]

(23) Boleh membacakan syair yang mubah (tidak mengandung hal-hal terlarang) di masjid. Sungguh Hassan bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu pernah membaca syair di masjid di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.[23]

(24) Boleh melakukan permainan, seperti permainan dengan tombak pendek di masjid. Diriwayatkan dari Aisyah radhyiallahu ‘anha, dia berkata,

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِيْ وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ فِي الْمَسْجِدِ وَرَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَسْتُرُنِيْ بِرِدَائِهِ، أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ

“Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari di pintu kamarku, dan orang-orang Habasyah (Ethiopia) bermain-main di masjid, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menutupiku (dari pandangan orang lain) dengan selendang beliau, agar aku dapat melihat permainan mereka.”[24]

(25) Dilarang keluar dari masjid setelah adzan dikumandangkan, kecuali untuk suatu udzur; berdasarkan hadits Abu asy-Sya’tsa’, dia berkata,

كُنَّا قُعُوْدًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَسْجِدِ يَمْشِي، فَأَتْبَعَهُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ، حَتَّى خَرَجَ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Kami pernah duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah radhihallahu ‘anhu lalu muadzin mengumandangkan adzan, lalu seorang laki-laki berdiri dan berjalan keluar dari masjid, maka Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengikutinya dengan pandangannya, hingga orang itu pun keluar dari masjid, maka Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Adapun orang ini, maka sungguh dia telah membangkang kepada Abu al-Qasim (Nabi) shallallahu ‘alaihi wasallam’.”[25]

(26) Di antara penyimpangan (terhadap syariat) yang berkaitan dengan masjid adalah menghias dan mengukir masjid; berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا زَوَّقْتُمْ مَسَاجِدَكُمْ وَحَلَّيْتُمْ مَصَاحِفَكُمْ، فَالدَّمَارُ عَلَيْكُمْ

“Apabila kalian memoles (dengan berbagai hiasan) masjid-masjid kalian dan menghias mushaf-mushaf kalian, maka kehancuran akan menimpa kalian.”[26]

Dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ

“Kiamat tidak akan terjadi hingga orang-orang berbangga-bangga dalam (bangunan) masjid-masjid.”[27], [28], [29]

(27) Di antara penyimpangan (terhadap syariat) adalah shalat di atas hamparan permadani yang berhias lukisan-lukisan.

(28) Di antara penyimpangan (terhadap syariat) lainnya adalah menjadikan masjid-masjid sebagai jalanan; berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا تَتَّخِذُوا الْمَسَاجِدَ طُرُقًا؛ إِلَّا لِذِكْرٍ أَوْ صَلَاةٍ

“Janganlah kalian menjadikan masjid-masjid sebagai jalanan; kecuali untuk berdzikir atau shalat.”[30]

(29) Di antara penyimpangan (terhadap syariat) lainnya adalah meletakkan jam-jam yang memiliki bunyi seperti dentang lonceng yang berbunyi secara beraturan seperti lonceng kaum Nasrani.

(30) Di antara penyimpangan (terhadap syariat) lainnya adalah mengeraskan suara bacaan al-Qur’an yang dapat menyebabkan terganggunya shalat seseorang dan terganggunya orang lain yang (juga sedang) membaca al-Qur’an.

(31) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingkari orang-orang yang berkumpul melingkar di masjid karena mereka terpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

دَخَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَسْجِدَ وَهُمْ حِلَقٌ، فَقَالَ: مَا لِيْ أَرَاكُمْ عِزِيْنَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah masuk masjid sedangkan mereka terpencar dalam kelompok-kelompok melingkar, maka beliau bersabda, ‘Kenapa aku melihat kalian tercerai berai begini?'”[31]

(32) Di antara penyimpangan (terhadap syariat) lainnya adalah meludah di masjid; berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

اَلْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ، وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا

“Meludah di masjid adalah suatu dosa, dan kaffarat (pelebur dosanya) adalah menimbunnya (dengan tanah).”[32]

(33) Di antara sunnah adalah shalat mengenakan sandal di masjid-masjid. Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya,

أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيْ نَعْلَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ

“Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat mengenakan kedua sandal beliau?” Anas menjawab, “Ya.”[33]

Dan apabila seseorang masuk masjid dan menanggalkan kedua sandalnya dan tidak shalat (jamaah) dengan mengenakannya, maka (yang sunnah) adalah meletakkannya di sebelah kirinya; karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan shalat (sendirian), beliau meletakkannya di sebelah kiri beliau, dan itu ketika beliau shalat sendirian. Sedangkan apabila shalat secara berjamaah, maka keduanya diletakkan di antara kedua kakinya; berdasarkan hadits,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلَا يَضَعْ نَعْلَيْهِ عَنْ يَمِيْنِهِ، وَلَا عَنْ يَسَارِهِ، فَتَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِ غَيْرِهِ، إِلَّا أَنْ لَا يَكُوْنَ عَنْ يَسَارِهِ أَحَدٌ، وَلْيَضَعْهُمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka janganlah dia meletakkan kedua sandalnya di sebelah kanannya, dan jangan pula di sebelah kirinya sehingga menjadi di sebelah kanan orang lain, kecuali jika tidak ada seorang pun di sebelah kirinya. Dan hendaklah dia meletakkan keduanya di antara kedua kakinya.”[34], [35]

(34) Tidak lewat di depan orang yang sedang shalat; berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Kalau saja orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat itu mengetahui dosa yang dipikulnya, niscaya dia berdiri (menunggu) selama empat puluh (tahun) itu lebih baik baginya daripada dia lewat di depan orang yang sedang shalat tersebut.”[36]

Dan seseorang yang shalat disunnahkan menjadikan sesuatu sebagai sutrah (pembatas di depan tempat berdirinya); berdasarkan hadits,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا

“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaklah dia shalat menghadap suatu sutrah (pembatas), dan hendaklah dia mendekat kepadanya.”[37]

(35) Keutamaan membersihkan masjid, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa meludah di masjid adalah suatu dosa, dan beliau telah mengabarkan bahwa kaffaratnya adalah menimbunnya (dengan tanah).[38] Sedangkan riwayat yang menyebutkan bahwa “Mahar bidadari surga adalah menimbun ludah (dengan tanah) di masjid,” adalah hadits dhaif (lemah).

(36) Orang kafir tidak boleh memasuki satu pun dari masjid-masjid dua kota suci, sekalipun dengan izin seorang Muslim. Dan boleh memasukinya bagi kafir dzimmi apabila dikontrak untuk membangunnya (misalnya), dengan catatan tidak ada di antara kaum Muslimin yang mampu mengerjakannya.

(37) Imam Ibnu Muflih rahimahullah (w. 763 H.) berkata, “Guru-guru kami berkata, ‘Di zaman kita ini, (tidak apa-apa menutup pintu masjid) di luar waktu-waktu shalat; karena dikhawatirkan adanya pencurian’.”[39]

(38) Mushalla-mushalla pribadi di rumah-rumah itu tidak memiliki hukum-hukum sebagaimana masjid menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama, sehingga orang yang junub dan perempuan yang sedang haid tidak perlu dilarang untuk memasukinya.[40]

Adab-adab Khusus Untuk Kaum Perempuan Saat Memasuki Masjid

  1. Tidak menggunakan minyak wangi dan tidak berhias dengan sesuatu yang dapat mengundang (terjadinya) fitnah.
  2. Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak boleh berdiam diri di masjid, sedangkan perempuan yang sedang beristihadhah (pendarahan penyakit) boleh masuk masjid, bahkan boleh beri’tikaf di dalam masjid, akan tetapi dengan catatan harus menjaga agar tidak mengotori masjid dengan najis.
  3. Hendaklah shaf-shaf kaum perempuan berada di belakang shaf-shaf kaum laki-laki di masjid, sedangkan apabila tempat shalat kaum perempuan terpisah, maka shaf mereka yang paling utama adalah yang paling pertama.

Keterangan:

[1]   (Penerjemah berkata: Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 533: dari Utsman bin Affan radhiyallahu anhu).

[2]   Lihat al-Bab al-Maftuh, Ibnu Utsaimin, 31/65.

[3] Lihat Fath al-Bari, Ibnu Rajab, 2/361, dan ini menunjukkan bolehnya menisbatkan masjid-masjid kepada orang yang membangun dan memakmurkannya.

[4]   Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 855.

[5]   Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 615; dan Muslim, no. 437.

[6]   Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 635; dan Muslim, no. 603.

[7]   Diriwayatkan oleh Muslim, no. 763.

[8]   Diriwayatkan oleh Muslim, no. 713.

[9]   Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 444; dan Muslim, no. 714.

[10] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 176; dan Muslim, no. 649.

[11] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, 4/359. Adz-Dzahabi berkata dalam Talkhish al-Mustadrak, “Shahih.” Dan hadits ini dihasankan oleh al-Albani (dalam Shahih at-Targhib, no. 296, dan beliau menshahihkannya dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1163. Pent.).

[12] Al-Adab asy-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Np: Alam al-Kutub, t.th, 3/376.

[13] (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 475 dan 6287; dan Muslim, no. 2100. Pent.).

[14] Sebagaimana yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, no. 5795.

[15] (Ashhab ash-Shuffah adalah para ahli zuhud dari kalangan sahabat yang fakir dan asing. Mereka berjumlah tujuh puluh orang, terkadang berkurang dan terkadang bertambah. Mereka tinggal di serambi masjid (shuffah). Mereka tidak memiliki tempat tinggal, tidak memiliki harta dan anak. Mereka bertawakal menunggu orang yang memberikan sedekah kepada mereka. Lihat Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri (w. 1353 H.), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th. 7/28. Ed.T.).

[16] Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 442; [dan Sunan Ibni Majah, no. 741] dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata,

كُنَّا نَنَامُ فِي الْمَسْجِدِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللّٰه صلى الله عليه وسلم

“Kami (Ashhab ash-Shuffah) tidur di masjid pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

[17] Sebagaimana yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’, no. 5795.

[18]  (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, (no. 440).

Dari Nafi’ رحم الله تعالى, dia berkata,

أَخْبَرَنِيْ عَبْدُ اللّٰهِ بْنُ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَنَامُ وَهُوَ شَابٌّ أَعْزَبُ لَا أَهْلَ لَهُ فِيْ مَسْجِدِ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم

Abdullah bin Umar telah mengabarkan kepadaku bahwa dia pernah tidur ketika dia masih pemuda perjaka tidak memiliki istri– di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lihat Shahih al-Bukhari, no. 440. Ed.T.).

[19] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 1321, dan beliau berkata, “Hadits hasan gharib.” (Dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, dan juga dalam Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar as-Sabil, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1405 H. no. 1295. Pent.).

[20] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 568.

[21] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 562, dan al-Albani berkata, “Shahih.”

[22] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 3300, dan al-Albani berkata, “Shahih.”

[23] Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3212.

[24] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 455. (Penerjemah menambahkan: Dalam riwayat al-Bukhari, no. 2901 dan Muslim, no. 893 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan “bahwa mereka bermain dengan tombak-tombak mereka….”). An-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, “Dalam hadits ini terkandung bolehnya bermain dengan menggunakan senjata dan semacamnya dari alat-alat perang di masjid, dan dapat dianalogikan dengannya segala sesuatu yang semakna dengannya, berupa segala sebab yang dapat menolong untuk Jihad.

[25] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 655.

[26] Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, jilid 3, no. 1351. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, no. 8799, 30232, 30237. Pent.)

[27] Shahih Sunan Abu Dawud, no. 475. (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 449: dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh al-Albani sebagaimana yang diisyaratkan oleh penulis. Pent.).

[28] Poin ini dan poin-poin setelahnya, terkadang tidak memiliki hubungan dengan adab-adab datang ke masjid, akan tetapi saya menyebutkannya dalam kategori bab faidah yang berkaitan dengan masjid-masjid.

[29] Orang paling pertama yang melapisi Ka’bah dengan emas di dalam Islam dan menghias masjid-masjid adalah al-Walid bin Abdul Malik ketika mengutus kepada Khalid bin Abdullah al-Qasri, gubernur Makkah ketika itu. (Al-Adab asy-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mariyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Np: Alam al-Kutub, t.th, 3/374).

[30] Hadits ini dihasankan oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1001.

[31] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 407.

[32] Muttafaq ‘alaih. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 415; dan Muslim, no. 552: dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Pent.). Perlu dicatat bahwa lantai masjid ketika itu adalah tanah, maka cara membersihkannya adalah dengan menimbunnya dengan tanah pasir. Tetapi apabila lantai masjid itu berupa alas tikar atau ubin marmer misalnya, maka hendaklah dia membersihkan ludahnya dan membuangnya ke luar masjid. Ed. Lihat penjelasan tambahan dalam Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Muhammad Asyraf bin Amir bin Ali bin Haidar Syaraf al-Haq ash-Shiddiqi al-Azhim Abadi (w. 1329 H.), Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415 H. 2/98

[33] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 386; dan Muslim, no. 255.

[34] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 609. (Dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud. Pent.).

[35] Dan sekarang orang mungkin sulit untuk membawa masuk kedua sandalnya ke dalam masjid dan shalat dengan mengenakannya.

[36] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 649. (Penerjemah menambahkan: Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 510; dan Muslim, no. 507: dari Abu Juhaim).

[37] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 646, (dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud).

[38] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 415; dan Muslim, no. 552.

[39] Al-Adab asy-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Np: Alam al-Kutub, t.th, 3/384.

[40] Fath al-Bari, Ibnu Rajab al-Hanbali, 1/551.

Referensi:

Panduan Lengkap dan Praktis Adab & Akhlak Islami Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Majid Sa’ud al-Ausyan, Darul Haq, Cetakan  VI, Dzulhijjah 1440 H. (08. 2019 M.)