F. Rukun-Rukun Puasa, Sunnah-Sunnahnya Dan Perkara-Perkara Yang Makruh

(a) Rukun-rukun Puasa

Rukun-rukun puasa adalah sebagai berikut:

1. Niat, yaitu kemantapan hati untuk berpuasa sebagai (wujud) ketaatan atas perintah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, atau untuk mendekatkan diri kepadaNya, berdasarkan sabda Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

“Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu bergantung pada niatnya.”[1]

Jika puasa yang akan dilaksanakannya adalah puasa wajib, maka niatnya wajib dilakukan pada malam hari sebelum terbit fajar. Ini berdasarkan sabda Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sejak malam harinya, maka tidak ada puasa baginya.”[2]

Hadits ini ada dalam riwayat an-Nasa’i, no. 2334. Jika puasa itu adalah puasa sunnah, maka puasanya sah, walaupun niatnya dilakukan setelah terbitnya fajar dan mata­hari telah meninggi dengan syarat ia belum makan apa pun. Ini berdasarkan pernyataan Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-,

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ للّٰهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ فَقُلْنَا: لَا، قَالَ: فَإِنِّيْ صَائِمٌ

“Pada suatu hari, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- masuk ke dalam rumahku, kemudian bertanya, ‘Apakah kalian mempunyai makanan?’ Kami menjawab, ‘Tidak.’ Lalu Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, ‘(Jika demikian), maka aku berpuasa’.”[3]

 2. Imsak, yaitu menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan berhubungan seksual.

3. Waktu, yang dimaksudkan dengan waktu di sini adalah siang hari, yaitu sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Jika seseorang berpuasa pada malam hari dan berbuka pada siang hari, maka puasanya sama sekali tidak sah, sebagaimana Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187).

 

(b) Sunnah-sunnah Puasa

Perkara-perkara yang disunnahkan dalam puasa adalah:

1. Menyegerakan berbuka puasa (ta’jil), yaitu segera berbuka puasa ketika waktu berbuka telah tiba pada saat matahari benar-benar telah terbenam, sebagaimana sabda Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْر

Manusia senantiasa dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”[4]

Anas bin Malik -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- juga berkata,

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ لِيُصَلِّيَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُفْطِرَ وَلَوْ عَلَى شَرْبَةِ مَاءٍ

“Sesungguhnya Nabi a tidak mengerjakan shalat Maghrib sampai berbuka puasa (terlebih dahulu) walaupun hanya dengan seteguk air.”[5]

2. Berbuka puasa dengan kurma matang, atau kurma kering, atau air. yang terbaik di antara ketiganya adalah yang pertama, yaitu kurma matang, sedangkan yang kurang baik adalah yang terakhir, yaitu air. Seorang Muslim disunnahkan berbuka puasa dengan sesuatu yang ganjil: tiga, lima, atau tujuh, sebagaimana Anas bin Malik -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berbuka puasa dengan beberapa kurma ruthab (yang setengah matang) sebelum mengerjakan Shalat Maghrib. Jika ruthab tidak ada, beliau berbuka puasa dengan kurma matang. Jika (kurma matang) tidak ada, beliau meneguk beberapa tegukan air.”[6]

3. Berdoa ketika berbuka puasa, karena Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berdoa ketika berbuka puasa, sebagai berikut,

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا، [فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ]

“Ya Allah, untukMu kami berpuasa dan dengan rizkiMu kami berbuka, (maka terimalah (puasa) kami, sesungguhnya Engkau Maha Men­dengar lagi Maha Mengetahui)[7].”[8]

Ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- juga berdoa ketika berbuka puasa, yaitu dengan doa berikut:

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، أَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ

Ya Allah, aku meminta kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu, semoga Engkau mengampuni dosa-dosaku.”[9]

4. Sahur, yaitu makan dan minum pada saat sahur di akhir malam dengan niat puasa, sebagaimana sabda Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

إِنَّ فَصْلَ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْر

Sesungguhnya pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur,”[10] dan sabda Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat berkah.”[11]

5. Mengakhirkan sahur sampai bagian akhir malam hari, berdasarkan sabda Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

لَا تَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ وَأَخَّرُوا السَّحُوْرَ

“Umatku senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur.”[12]

Waktu sahur dimulai sejak pertengahan malam yang akhir dan berakhir beberapa saat sebelum fajar tiba. Ketentuan ini berdasarkan pernyataan Zaid bin Tsabit -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, “Kami melaksanakan sahur bersama Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kemudian beliau berdiri untuk shalat. Aku bertanya, ‘Berapa jarak waktu antara adzan dengan sahur?’ Beliau menjawab, “Sekitar (membaca) 50 ayat.”[13]

Catatan:

Orang yang merasa ragu-ragu mengenai terbitnya fajar, ia boleh makan dan minum sampai ia merasa yakin bahwa fajar telah terbit, kemudian ia berhenti dari makan dan minum, sebagaimana Firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyebutkan,

كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Dan makan dan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187).

Seseorang berkata kepada Ibnu ‘Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, “Aku sedang sahur tetapi tiba-tiba aku merasa ragu-ragu sehingga aku berhenti sahur.” Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya, “Makanlah selama kamu merasa ragu-ragu sampai kamu tidak merasa ragu-ragu (yakin).”[14], [15]

 

(c) Perkara-perkara yang Makruh Dalam Puasa

Bagi orang yang sedang berpuasa, makruh hukumnya melakukan perkara-perkara yang dapat merusak puasanya, meskipun jika dilakukan secara wajar, perkara-perkara tersebut tidak membatalkan puasa. Perkara-perkara tersebut adalah:

1. Berlebih-lebihan dalam berkumur dan membersihkan hidung dengan menghirup dan mengeluarkan air ketika berwudhu, berdasarkan sabda Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

وَبَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

Dan bertindaklah maksimal dalam menghirup air dengan hidung kecuali engkau sedang berpuasa.”[16]

Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak menyukai terlalu dalam menghirup air karena takut akan masuknya air tersebut ke dalam rongga (hidung)nya yang akan merusak puasanya.

2. Ciuman, karena mencium kadang-kadang membangkitkan syahwat yang dapat merambat sampai merusak puasanya dengan keluarnya air madzi atau dengan hubungan suami istri yang harus dibayar dengan kaffarah.

3. Suami terus-menerus melihat istri dengan syahwat.

4. Menghayalkan hubungan suami istri.

5. Menyentuh wanita dengan tangan atau menempel tubuhnya dengan tubuh.

6. Mengunyah daun sirih karena dikhawatirkan beberapa bagiannya masuk ke dalam tenggorokan.

7. Mencicipi makanan.

8. Berkumur-kumur bukan wudhu atau keperluan yang mengharuskannya.

9. Bercelak pada permulaan siang, tetapi jika bercelak pada akhir siang, maka hal itu diperbolehkan.

10. Berbekam atau mengeluarkan darah karena dikhawatirkan akan melemahkan tubuh yang menyebabkan harus membatalkan puasanya, karena dalam hal demikian terdapat perkara yang dapat membatalkan puasa.

 

G. Perkara-perkara Yang Membatalkan[17] Puasa, Yang Boleh Dikerjakan Dan Yang Dapat Dimaafkan

(a).  Perkara-perkara yang Membatalkan Puasa

Perkara-perkara yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut:

1. Masuknya cairan ke dalam tubuh melalui hidung seperti memasukkan obat lewat hidung, atau mata dan telinga, seperti meneteskan cairan/obat ke keduanya, atau melalui dubur dan kemaluan wanita, seperti suntikan.

2. Sesuatu yang masuk ke dalam tubuh karena berlebih-lebihan dalam berkumur dan menghirup air dengan hidung ketika berwudhu dan lainnya.

3. Keluarnya air mani karena melihat wanita secara terus menerus, selalu memikirkannya, mencium, atau berhu­bungan suami istri.

4. Muntah dengan sengaja, sebagaimana sabda Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

مَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ

Barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka ia harus mengganti puasanya.” (at-Tirmidzi, no. 720).

Sedangkan orang yang muntah tanpa disengaja karena tak mampu menahannya, misalnya, maka hal itu tidak membatalkan puasanya.

5. Makan atau minum atau bersenggama dalam keadaan terpaksa untuk itu.

6. Orang yang makan dan minum karena menduga masih malam, tetapi kemudian nyatalah baginya bahwa fajar telah terbit.

7. Orang yang makan dan minum karena menduga bahwa hari telah malam, tetapi kemudian nyata baginya bahwa hari masih siang.

8. Orang yang makan dan minum karena lupa, tetapi kemudian ia tidak berhenti darinya karena menduga bahwa berhenti makan dan minum itu tidak wajib selama ia telah makan dan minum hingga meneruskan berbuka sampai malam.

9. Masuknya sesuatu yang bukan makanan atau minuman ke dalam tubuh melalui mulut, misalnya menelan permata atau benang, sebagaimana diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Puasa itu karena sesuatu yang masuk, dan bukan karena sesuatu yang keluar.” yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Abbas adalah bahwa puasa itu batal dengan masuknya sesuatu ke dalam tubuh dan bukan karena keluarnya sesuatu darinya, seperti darah dan muntah.

10. Menolak berniat puasa meskipun tidak makan dan minum jika pe­nolakan tersebut ditafsirkan sebagai berbuka puasa, tetapi jika sebaliknya, maka puasa itu tidak batal.

11. Murtad (keluar) dari Islam, walaupun ia kembali masuk ke dalam Islam, berdasarkan Firman Allah Ta’ala,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65).

Semua perkara yang disebutkan di atas adalah perkara-perkara yang membatalkan puasa dan mewajibkan orang yang melakukannya untuk mengganti puasanya yang batal, tetapi tidak ada kafarat (denda) atasnya, karena kafarat tidak diwajibkan kecuali atas dua perkara, yaitu:

1. Hubungan suami-istri dengan sengaja, tanpa terpaksa: Hal ini sesuai dengan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، قَالَ: مَا أَهْلَكْتَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِيْ فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لَا، ثُمَّ جَلَسَ، فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ، فَقَالَ: خُذْ تَصَدَّقْ بِهَذَا، قَالَ: فَهَلْ عَلَى أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَوَاللّٰهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ وَقَالَ: اِذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

“Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah binasa.’ Rasulullah bertanya, ‘Apa yang telah membinasakanmu?’ Orang itu menjawab, ‘Aku telah menggauli istriku pada (siang) bulan Ramadhan.’ Beliau bertanya, ‘Apakah kamu mempunyai harta yang setara untuk memerdekakan budak?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu sanggup berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu mempunyai uang untuk memberi makan enam puluh orang miskin?’ Orang itu pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk, setelah itu beliau dibawakan (oleh seseorang) sebuah wadah yang berisi kurma (sebanyak 15 sha’/32,64 kg]. Rasulullah bersabda, ‘Ambillah dan bersedekahlah dengannya.’ Orang itu berkata, ‘Apakah aku (harus) bersedekah kepada orang yang lebih fakir daripada kami. Demi Allah, tidak ada satu keluarga pun di Madinah yang lebih membutuhkannya daripada kami?’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya, kemudian beliau bersabda, ‘Pergilah lalu berilah makan keluargamu dengannya’.”[18]

2. Makan dan minum tanpa udzur (alasan) yang diperbolehkan. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik rahimahumallah. Dalil yang mereka pergunakan adalah:

أَنَّ رَجُلًا أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ، فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ أَنْ يُكَفِّرَ

“Bahwa seseorang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya membayar kafarat (denda).[19]

Dalil lain ialah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan, “Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia berkata, ‘Aku tidak berpuasa satu hari pada bulan Ramadhan dengan sengaja.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِعْتِقْ رَقَبَةً أَوْ صُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ أَوْ أَطْعِمْ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا

‘Merdekakanlah seorang budak, atau puasalah dua bulan berturut-turut, atau berilah makan enam puluh orang miskin’.”[20]

(b). Perkara-perkara yang Diperbolehkan Bagi Orang yang Berpuasa

Orang yang sedang berpuasa diperbolehkan melakukan perkara-perkara berikut:

1. Menggunakan siwak pada siang hari. Tetapi, menurut Imam Ahmad, menggunakan siwak makruh hukumnya bagi orang yang sedang berpuasa setelah matahari condong ke arah barat.

2. Mendinginkan badan dengan air karena panas yang sangat menyengat, baik dengan menyi­ramkan air ke seluruh badan atau dengan berendam di dalam air.

3. Makan, minum dan hubungan suami-istri pada malam hari hingga terlihat dengan jelas terbitnya fajar.

4. Bepergian untuk suatu kebutuhan yang diperbolehkan meskipun perjalanan tersebut bisa jadi akan mengakibatkan dirinya berbuka puasa.

5. Berobat dengan jenis obat apa pun yang halal selama tidak ada yang masuk ke dalam tubuh, misalnya dengan menggunakan jarum jika hal itu bukan infus.

6. Mengunyahkan makanan untuk anak kecil jika yang ber-sangkutan tidak menemukan orang yang dapat mengunyahkan makanannya dengan syarat tidak ada sesuatu pun yang masuk ke dalam tubuhnya.

7. Menggunakan minyak wangi dan wewangian, hal ini ka-rena tidak ada riwayat yang melarangnya dari Pembuat Syari’at.

(c). Perkara-perkara yang Dimaafkan

Perkara-perkara yang dimaafkan apabila dilakukan oleh orang yang berpuasa adalah sebagai berikut:

1. Menelan ludah walaupun banyak. Maksudnya adalah ludahnya sendiri, bukan ludah orang lain.

2. Terpaksa muntah dan mengeluarkan cairan dari perut (dengan syarat) jika tidak ada yang masuk lagi ke dalam perutnya setelah (keluar) sampai pada ujung lidahnya.

3. Menelan lalat (serangga) karena terpaksa dan tanpa disengaja.

4. Debu jalanan dan asap dari pabrik-pabrik, asap kayu bakar dan seluruh bentuk asap yang lain yang tidak dapat dihindari.

5. Bangun pagi dalam keadaan junub, meskipun ia menghabiskan seluruh siangnya dalam keadaan junub.

6. Mimpi basah, tidak ada akibat apa pun bagi orang yang berpuasa jika ia mengalami mimpi basah, hal itu tidak menyebabkan puasanya batal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Hukum tidak dapat diberlakukan atas tiga orang, yaitu: orang gila sampai ia sadar, orang tidur sampai ia bangun, dan anak kecil sampai ia bermimpi (baligh).”[21]

7. Makan atau minum tanpa disengaja atau lupa. Tetapi Imam Malik berpendapat bahwa orang yang makan atau minum karena lupa, ia harus mengqadha’ puasanya jika puasa itu adalah puasa wajib, sebagai kehati-hatian darinya. Sedangkan puasa sunnah, tidak ada kewajiban mengqadha’nya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللّٰهُ وَسَقَاهُ

Orang yang lupa sedangkan ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka ia harus menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum.”[22]

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain,

مَنْ أَفْطَرَ فِيْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ

“Barangsiapa yang berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena lupa, Ia tidak wajib mengqadha’nya dan tidak pula wajib membayar kafarat (denda).”[23]

 

Keterangan:

[1]  Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

[2]  Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 730 dengan lafazh yang berbeda.

[3]  Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1154.

[4]  Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 1957; Muslim, no. 1098.

[5]  Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, 8/335.

[6]  Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 696.

[7]  Tambahan dalam kurung terdapat dalam riwayat ath-Thabrani, 12/156.

[8]  Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 33-58.

[9]  Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, riwayat shahih.

[10] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1096.

[11] Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 1923; Muslim, no. 1095.

[12] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 20805, hadits shahih.

[13] Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 1921; Muslim, no. 1097.

[14] Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah 2/288.

[15] Al-Hafizh meriwayatkannya dalam “Al-Fath.” Makan dan minum sampai benar-benar nyata terbit fajar adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Imam Malik berpendapat bahwa orang yang makan dan minum dalam keadaan ragu mengenai terbitnya fajar, maka ia harus mengganti puasanya, dan ini hanya sekedar upaya untuk berhati-hati.

[16]   Diriwayatkan oleh Ashhab as-Sunan: Abu Dawud: 2366, at-Tirmidzi, no. 788; an-Nasa`i, no. 87; Ibnu Majah, no. 407; dan Ibnu Khuzaimah, 1/78, ia menshahihkannya.

[17] Apa yang disebutkan dari hal-hal yang membatalkan merupakan pendapat yang shahih dari madzhab ulama, dan tidak ada satu masalah pun melainkan ada dalilnya dari al-Kitab atau as-Sunnah atau Ijma’ atau Qiyas yang benar.

[18] Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 1936; Muslim, no. 1111.

[19] Diriwayatkan oleh Imam Malik, no. 660.

[20] Muttafaq ‘alaih; Muslim, no. 1111.

[21] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 1330 dan Abu Dawud, no. 4399.

[22] Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 1933; Muslim, no. 1155.

[23] Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni 2/178. Hadits shahih.

 

Referensi:

Minhajul Mulim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Darul Haq, Jakarta, Cet. VIII, Rabi’ul Awal 1434 H/ Januari 2013.

 

Pembahasan sebelumnya: Fiqih Puasa (1)Fiqih Puasa (2), Fiqih Puasa (3),Fiqih Puasa (4)