Hal-hal Yang Difardhukan, Disunnahkan Dan Dimakruhkan Dalam Wudhu

A. Hal-hal yang Difardhukan dalam Berwudhu

(1) Niat; yaitu tekad hati untuk mengerjakan wudhu sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat.”[1]

(2) Membasuh muka; dari bagian dahi paling atas hingga ujung dagu dan dari pangkal telinga yang satu hingga pangkal telinga yang satu lagi, berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

 “Maka basuhlah mukamu.” (Al-Ma’idah: 6).

(3) Membasuh kedua tangan hingga dua siku, berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

Dan (basuhlah) tanganmu sampai dengan siku.” (Al-Ma’idah: 6).

(4) Mengusap kepala dimulai dari dahi hingga tengkuk, berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

Dan usaplah kepalamu.” (Al-Ma’idah: 6).

(5) Membasuh dua kaki hingga dua mata kaki, berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Ma’idah: 6).

(6) Tertib (berurutan) di antara anggota-anggota wudhu yang dibasuh, yaitu pertama membasuh muka, lalu membasuh dua tangan, lalu menyapu kepala, lalu membasuh dua kaki, sebagaimana urutannya tertera di dalam perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu: pertama membasuh muka, lalu membasuh dua tangan dan seterusnya.

(7) Berkesinambungan atau bersegera, yakni pelaksanaan wudhu itu dilakukan dalam satu waktu tanpa ada jeda waktu, karena dilarang memutuskan ibadah setelah memulainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ

Dan janganlah kamu merusak (pahala) amal-amalmu.” (Muhammad: 33).

Tetapi jeda waktu yang hanya sebentar dimaafkan, begitu juga karena adanya udzur (alasan yang dibolehkan agama), seperti airnya habis atau tersendat, atau mengalirkan air terlebih dahulu meski jeda waktunya cukup lama, karena Allah tidak membebani seseorang kecuali menurut kesanggupannya.

[Peringatan]: Sebagian ulama menganggap bahwa “menggosok-gosok anggota-anggota wudhu yang dibasuh” merupakan bagian dari fardhu wudhu, tetapi sebagian lagi menganggapnya sebagai bagian dari sunnah-sunnah wudhu. Pada hakikatnya “menggosok-gosok” itu termasuk kesempurnaan membasuh anggota wudhu sehingga tidak berdiri sendiri dalam nama dan hukum tertentu.

B. Hal-hal yang Disunnahkan dalam Berwudhu

(1) Membaca basmalah saat memulainya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Tidak (sempurna) wudhu seseorang yang tidak menyebut Nama Allah padanya.”[2]

(2) Membasuh dua telapak tangan lebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum memasukkan keduanya pada tempat air, jika bangun tidur, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Jika salah seorang di antara kamu bangun tidur, maka janganlah ia mencelupkan tangannya pada tempat air sehingga membasuhnya (terlebih dahulu) sebanyak tiga kali, karena ia tidak mengetahui di manakah tangannya berada (saat tidur).”[3]

Jika tidak dalam kondisi bangun tidur, maka tidak ada larangan memasukkan tangan ke tempat air dan mencidukkannya untuk membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali sebagai bagian dari sunnah wudhu.

(3) Bersiwak, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

لَوْ لَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ

Seandainya tidak akan memberatkan umatku, niscaya akan aku perintahkan kepada mereka supaya bersiwak setiap kali berwudhu.”[4]

(4) Berkumur, yaitu menggerak-gerakkan air di dalam mulut dari sudut yang satu ke sudut yang lain, lalu membuangnya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ

Jika kamu berwudhu, hendaklah kamu berkumur.”[5]

(5) Menghirup air ke hidung dan membuangnya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَبَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

Lakukanlah secara maksimal di dalam menghirup air ke hidung kecuali jika kamu sedang berpuasa.”[6]

(6) Menyela-nyela jenggot, berdasarkan perkataan Ammar bin Yasir –menyela-nyela jenggot pernah dianggap sebagai perbuatan yang aneh darinya–,

وَمَا يَمْنَعُنِيْ وَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ

“Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangiku, dan aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyela-nyela jenggotnya.”[7]

(7) Membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali, tiga kali. Jadi yang fardhu itu hanya satu kali, sedangkan tiga kali termasuk sunnah.

(8) Mengusap dua telinga; bagian luar maupun bagian dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.[8]

(9) Menyela-nyela jari-jari tangan dan jari-jari kaki, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا تَوَضَّأْتَ فَخَلِّلْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ وَرِجْلَيْكَ

Jika kamu berwudhu, hendaklah kamu menyela-nyela jari-jari kedua tanganmu dan kedua jari-jari kakimu.”[9]

(10) Mendahulukan bagian anggota wudhu yang sebelah kanan ketika membasuh dua tangan dan dua kaki, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا تَوَضَّأْتُمْ فَابْدَأُوْا بِمَيَامِنِكُمْ

Jika kamu berwudhu, hendaklah kamu memulai (mendahulukan) dengan bagian anggota wudhumu yang sebelah kanan.”[10]

Keterangan ini diperkuat dengan pernyataan Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau senang mendahulukan bagian yang sebelah kanan dalam memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam segala hal.”[11]

(11) Memanjangkan serta melebarkan basuhan, yakni saat membasuh muka melebarkan basuhan hingga pinggir leher; saat membasuh dua tangan memanjangkan basuhan hingga membasuh bagian dari dua lengan atas, lalu saat membasuh dua kaki memanjangkan basuhan hingga membasuh bagian dari dua betis, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ أُمَّتِيْ يَأْتُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوْءِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ

Sesungguhnya umatku akan datang kelak pada Hari Kiamat dalam keadaan gurran (putih dahinya) dan muhajjalin (putih dua tangan dan dua kakinya) karena bekas wudhu. Barangsiapa yang mampu memanjangkan basuhannya (ketika berwudhu), hendaklah ia melakukannya.”[12]

(12) Pada saat mengusap kepala; hendaklah dimulai dari bagian depannya, berdasarkan keterangan yang tertera dalam sebuah hadits,

أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap (rambut) kepalanya dengan dua tangannya dan beliau membolak-balikkan keduanya. Yaitu beliau memulainya dengan bagian depan kepalanya, lalu beliau mengusapkan keduanya hingga ke tengkuknya, lalu beliau membalikkan keduanya.”[13]

(13) Berdoa setelah selesai berwudhu:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Aku bersaksi bahwanya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, yang Esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, dan aku pun bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan utusanNya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang selalu menyucikan diri.”[14] 

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ .. إلخ، فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ

Barangsiapa yang berwudhu lalu ia membaguskan (menyempurnakan) wudhunya, lalu ia berdoa, ‘Asyhadu alla Ilaha Illallahu…’, niscaya akan dibukakan baginya pintu surga yang delapan sehingga ia dapat memasukinya dari pintu yang mana saja yang dikehendakinya.”[15]

C. Hal-hal yang Dimakruhkan dalam Berwudhu

(1) Berwudhu di tempat bernajis, karena dikhawatirkan najis itu akan mengenai pelakunya.

(2) Lebih dari tiga kali basuhan, berdasarkan sebuah hadits, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan tiga kali basuhan-tiga kali basuhan, dan beliau bersabda,

مَنْ زَادَ فَقَدْ أَسَاءَ وَظَلَمَ

“Barangsiapa yang menambahi basuhan, maka ia telah melakukan suatu kejelekan serta telah berbuat zhalim.”[16]

(3) Berlebih-lebihan dalam menggunakan air, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan air satu mud [0,688 liter[17]] –sepenuh dua telapak tangan–.[18] Sedangkan berlebih-lebihan dalam mengerjakan segala sesuatu termasuk perbuatan yang dilarang.

(4) Meninggalkan salah satu atau beberapa sunnah wudhu, karena dengan meninggalkannya berarti telah mengabaikan suatu pahala, yang tidak sepantasnya diabaikan.

(5) Berwudhu dengan air lebihan dari air yang dipakai bersuci oleh istri. Hal itu berdasarkan keterangan dalam sebuah hadits,

نَهَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَضْلِ طَهُوْرِ الْمَرْأَةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang (bersuci dengan air) lebihan dari air (yang dipakai) bersuci oleh istri.”[19]

Keterangan:

[1]  Muttafaq ‘alaih; Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2;  Muslim, no. 1907.

[2]  Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 9137 dan Abu Dawud, no. 101 dengan sanad yang dhaif, dan karena banyaknya jalur periwayatan hadits itu, sebagian ulama membolehkan mengamalkannya.

[3]  Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 162; Muslim, no. 278.

[4]  Diriwayatkan oleh Malik, no. 147.

[5]  Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 144 dengan sanad yang shahih.

[6]  Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 15945; Abu Dawud, no. 142 dan at-Tirmidzi, no. 788.

[7]  Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi, no. 29.

[8]  Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 135.

[9]  Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 39.

[10] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 8438 dan at-Tirmidzi.

[11]  Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 168. Muslim, no. 268.

[12] Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 136; Muslim, no. 246.

[13] Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 185; Muslim, no. 235.

[14] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.

[15] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 234.

[16] Diriwayatkan oleh an-Nasa`i, no. 140; Ahmad, no. 6646 dan Ibnu Majah, no. 422; Abu Dawud, no. 116.

[17]  Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dr. Wahbah az-Zuhaili, 1/143.

[18] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 56.

[19] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 63 dan menghasankannya.

Referensi:

Minhajul Mulim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Darul Haq, Jakarta, Cet. VIII, Rabi’ul Awal 1434 H/ Januari 2013.