Tauhid Rububiyah mengharuskan Tauhid Uluhiyah, maksudnya mengakui Tauhid Rububiyah mewajibkan mengakui Tauhid Uluhiyah dan mewujudkannya. Barangsiapa mengetahui bahwa Allah adalah Tuhannya, Pencipta dan Pengatur urusan-urusannya, maka dia wajib menyembahNya semata, tidak ada sekutu bagiNya.

Tauhid Uluhiyah mengandung Tauhid Rububiyah, artinya Tauhid Rububiyah tercakup ke dalam Tauhid Uluhiyah. Barangsiapa menyembah Allah semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu, maka dia pasti meyakini bahwa Allah adalah Rabb dan Penciptanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim al-Khalil  ‘alaihissalam,

قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ (75) أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ (76) فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ (77) الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ (78) وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ (79) وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (80) وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ (81) وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ (82) سورة الشعراء

“Apakah kalian memperhatikan apa yang kalian sembah, kalian dan nenek moyang kalian yang terdahulu? Sesungguhnya mereka (apa yang kalian sembah) itu musuhku, kecuali Tuhan seluruh alam, (yaitu) Yang telah menciptakanku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan Yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dia-lah yang menyembuhkanku, dan Yang akan mematikanku, kemudian akan menghidupkanku (kembali), dan Yang sangat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada Hari Kiamat nanti.” (Asy-Syu’ara’: 75-82).

Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah, terkadang disandingkan, maka makna keduanya berbeda, sehingga yang satu adalah bagian dari yang lain, sebagaimana dalam Firman Allah Ta’ala,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) سورة الناس

“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Raja manusia, Sembahan manusia’.” (An-Nas: 1-3).

Maka makna kata اَلرَّبُّ adalah Pemilik Yang berwenang bertindak terhadap makhlukNya, sedangkan اَلْاِلٰهُ bermakna اَلْمَأْلُوْهُ (yang disembah) dengan benar, Yang berhak atasnya semata.

Dan terkadang keduanya dipisahkan, maka keduanya bersatu dari sisi makna, sebagaimana pertanyaan dua malaikat kepada mayit di alam kubur, مَنْ رَبُّكَ (Siapa Rabbmu?) Maknanya adalah siapa Sembahanmu dan Penciptamu? Dan sebagaimana dalam Firman Allah Ta’ala,

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ

“(Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’.” (Al-Haj: 40).

Juga Firman Allah Ta’ala,

قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah (patut) aku mencari tuhan selain Allah’.” (Al-An’am: 164).

Dan Firman Allah Ta’ala,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka).” (Fushshilat: 30).

Maka Rububiyah dalam ayat-ayat ini juga bermakna Uluhiyah.

Dari kedua tauhid ini, yang didakwahkan oleh para rasul adalah Tauhid Uluhiyah, karena Tauhid Rububiyah telah diakui oleh mayoritas manusia, tidak ada yang mengingkarinya kecuali segelintir orang aneh, dan mereka mengingkarinya secara lahir semata.

Pengakuan terhadap Tauhid Rububiyah saja belum cukup membuat seseorang dianggap beriman, karena iblis pun mengakuinya, dia berkata,

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي

“Iblis berkata, ‘Wahai Tuhanku, disebabkan Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat….’.” (Al-Hijr: 39).

Orang-orang musyrik yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada mereka juga mengakuinya, sebagaimana hal tersebut ditunjukkan oleh ayat-ayat al-Qur`an yang jelas, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ Niscaya mereka menjawab, ‘Allah’.” (Az-Zukhruf: 87).

Barangsiapa mengakui Tauhid Rububiyah saja, belum dianggap Muslim, harta dan darahnya belum terlindungi, sehingga dia mengakui Tauhid Uluhiyah (yaitu bahwa hanya Allah yang berhak disembah), sehingga dia tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah semata.

Dengan ini menjadi jelas kebatilan apa yang diklaim oleh para penganut ilmu kalam dan orang-orang sufi, bahwa tauhid yang wajib atas para hamba adalah pengakuan bahwa Allah adalah Pencipta dan Pengatur. Barangsiapa mengakuinya, maka menurut mereka dia adalah Muslim, karena itu mereka mendefinisikan tauhid dalam kitab-kitab (buku-buku) yang mereka tulis dalam tema akidah dengan definisi yang hanya menunjukkan Tauhid Rububiyah saja, di mana mereka berkata sebagai contoh, tauhid adalah pengakuan wujud (adanya) Allah, bahwa Dia adalah Pencipta dan Pengatur….. Kemudian mereka menghadirkan dalil-dalil yang mendasari Tauhid Rububiyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mayoritas penganut ilmu kalam yang menetapkan tauhid dalam buku-buku mereka, maksimal mereka menjadikan tauhid tiga macam, mereka berkata, Allah Esa dalam DzatNya, tidak ada yang setara bagiNya, Esa dalam Sifat-sifatNya, tidak ada yang menyamaiNya, dan Esa dalam perbuatan-perbuatanNya, tidak ada sekutu bagiNya. Dan dari ketiganya, yang paling masyhur di kalangan mereka adalah yang ketiga, yakni tauhid perbuatan, yaitu bahwa Pencipta alam adalah Esa, lalu mereka menghadirkan dalil-dalil untuk menetapkannya, yang mereka sebut dengan istilah “saling tidak memungkinkan” dan lainnya, mereka menyangka bahwa inilah tauhid yang dituntut, dan bahwa itulah makna la ilaha illallah, hingga mereka menetapkan makna Uluhiyah adalah kemampuan untuk mencipta. Padahal sudah dimaklumi bahwa kaum musyrikin Arab yang mana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada mereka pertama kali tidak menentang hal ini, sebaliknya mereka mengakui bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, bahkan mereka mengakui takdir juga, sekalipun demikian mereka tetaplah orang-orang musyrik.” (Majmu al-Fatawa, 3/97-98).

Demikianlah perkataan Syaikhul Islam rahimahullah, yang dengan jelas membantah siapa yang beranggapan bahwa tauhid yang dituntut dari manusia adalah pengakuan dengan Tauhid Rububiyah.

Ucapan Syaikhul Islam di atas dikuatkan oleh Firman Allah Ta’ala,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut’.” (An-Nahl: 36).

Para rasul tidak berkata kepada umat-umat mereka, “Akuilah bahwa Allah adalah Pencipta.” Karena mereka sudah mengakuinya. Akan tetapi mereka berkata, “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tauhid yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengandung sedikit pun dari penafian ini, akan tetapi mengandung penetapan Uluhiyah (sebagai yang berhak disembah) bagi Allah semata, agar seorang hamba bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan tidak menyembah kecuali kepadaNya.”

Masih kata Syaikhul Islam, “Yang dimaksud dengan tauhid bukan sekedar Tauhid Rububiyah, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah semata Pencipta alam semesta, sebagaimana yang disangka oleh para penganut ilmu kalam dan orang-orang sufi. Mereka juga menyangka bahwa bila mereka menetapkan tauhid ini dengan dalil, maka mereka telah menetapkan puncak tauhid, dan bahwa bila mereka telah mengakuinya dan larut di dalamnya, maka mereka telah larut di dalam puncak tauhid….

Kata اَلْاِلَهُ bermakna اَلْمَأْلُوْهُ (yang disembah) yang berhak atasnya, bukan اَلْاِلَهُ yang bermakna yang mampu mencipta. Bila seseorang menafsirkan اَلْاِلَهُ dengan makna yang mampu mencipta, dia meyakini bahwa ini adalah sifat Tuhan yang paling khusus, dia menjadikan penetapan tauhid ini sebagai tujuan dari tauhid, sebagaimana yang dilakukan penganut ilmu kalam dalam masalah sifat-sifat Allah, dan inilah yang mereka nukil dari Abu al-Hasan dan orang-orang yang mengikutinya, berarti dia tidak mengetahui hakikat tauhid yang dengannya Allah mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena orang-orang musyrik (dari kaum Quraisy) mengakui bahwa hanya Allah semata yang mencipta segala sesuatu, sekalipun demikian, mereka tetap sebagai orang-orang musyrik, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan sebagai orang-orang musyrik.” (Yusuf: 106).

Sebagian as-Salaf berkata, “Kamu bertanya kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi? Mereka menjawab, ‘Allah’. Sekalipun demikian, mereka tetap menyembah selain Allah”.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (89) سورة المؤمنون

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Milik siapakah bumi, dan semua yang ada di dalamnya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Milik Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kalian tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki Arasy yang agung?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah.’ Katakanlah, ‘Maka mengapa kalian tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di TanganNya berada kekuasaan segala sesuatu. Dia melindungi, dan tidak ada yang dapat dilindungi dari (azabNya), jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘(Milik) Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka bagaimana kalian sampai tertipu?'” (Al-Mu’minun: 84-89).

Tidak semua orang yang mengakui bahwa Allah adalah Tuhan segala sesuatu dan Penciptanya, otomatis menyembahNya semata dan meninggalkan selainnya, berdoa kepadaNya semata dan tidak berdoa kepada selainNya, berharap dan takut kepadaNya semata dan tidak kepada selainNya, mencintai dan memusuhi karenaNya semata dan menaati para RasulNya.”

Masih ucapan Syaikhul Islam, “Karena itu di antara orang-orang yang mengikuti mereka, ada yang bersujud kepada matahari, rembulan dan bintang-bintang, berdoa kepadanya sebagaimana dia berdoa kepada Allah, berpuasa, menyembelih dan mendekatkan diri kepadanya. Kemudian dia berkata, ‘Ini bukan syirik, akan tetapi syirik itu bila aku meyakini bahwa ia bisa mengaturku, di sini aku hanya menjadikannya sebagai perantara dan sebab saja, aku bukan musyrik.’ Padahal sudah dimaklumi secara mendasar dalam agama Islam bahwa inilah syirik.” Demikian ucapan Syaikhul Islam. (Dar`u at-Taarudh, 1/224).

Saya berkata, Inilah yang diucapkan oleh para pemuja kubur di zaman ini, mereka mendekatkan diri kepada penghuninya dengan berbagai bentuk ibadah. Mereka berkata, Ini bukan syirik, karena kami tidak meyakininya mencipta dan mengatur, kami hanya menjadikannya sebagai sarana dan perantara.

 

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.