Pertanyaan:

Riya‘ termasuk syirik paling kecil (asy-Syirk al-Ashghar) sebab menusia telah mempersekutukan seseorang selain Allah di dalam ibadahnya, bahkan ia bisa mencapai syirik paling besar (asy-Syirk al-Akbar). Mengenai hal tersebut, Ibnul Qayyim rahimahullah telah memberikan contoh untuk syirik paling kecil akibat perbuatan riya‘ yang paling ringan. Ini menunjukkan bahwa riya‘ yang berat dan banyak terkadang bisa mencapai syirik paling besar.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi: 110).

Amal shalih adalah amal yang benar (tepat) disertai dengan keikhlasan. Amal yang disertai dengan keikhlasan adalah apa yang dilakukan dengan tujuan semata mendapatkan wajah Allah sedangkan amal yang benar adalah apa yang dilakukan sesuai dengan syariat Allah. Apa yang dilakukan dengan tujuan selain Allah, bukan dikatakan sebagai amal shalih dan apa yang dilakukan di luar ketentuan syariat Allah, bukanlah amal yang benar (tepat) bahkan akan mental kembali kepada pelakunya (ditolak). Hal ini semua berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (di dalam agama) yang tidak sesuai dengan perkara kami, maka ia tertolak.[1]

Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.

Sesungguhnya semua amal itu tergantung kepada niatnya dan se-sungguhnya setiap orang itu tergantung kepada apa yang diniatkan-nya.[2]

Sebagian ulama berkata, “Hadits ini adalah neraca semua amal; hadits tentang niat adalah neraca amal-amal batiniah dan hadits yang lain adalah neraca amal-amal lahiriah.”

Kumpulan Fatwa-Fatwa Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 199-200

[1]     Diriwayatkan Imam Bukhari secara ‘taliq‘ (hadits muallaq) di dalam kitab al-Buyu‘ dan al-Itisham namun di-washl (disambung sanadnya yang dipotong) oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya, kitab al-Aqdliyah, Juz. 18 no.1718.

[2]     Shahih al-Bukhari, kitab Badu al-Wahyi (1); Shahih Muslim, kitab al-Imarah, no. 1907.