Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, salawat dan salam semoga tercurah atas baginda Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, penutup para Nabi dan imam para Rasul dan atas keluarganya serta para sahabatnya secara menyeluruh.

Saudara, saudariku,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Wa ba’du,

Israil adalah sebutan untuk Ya’qub Nabi Allah -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, namun betapa jauh perbedaan antara beliau dengan Bani Israil. Kita mengimaninya sebagai seorang Nabi yang mulia, dari keturunan Nabi yang mulia, cucu dari kekasih Allah, Nabi Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ- … Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim.

Ketika Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menguji kakeknya dan diberi ujian dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ- berhasil menunaikannya. Maka Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengganjarnya, dan berfirman kepadanya,

إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا

“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” (Al-Baqarah: 124)

Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ- adalah seorang bapak teladan, ia mengatakan,

وَمِنْ ذُرِّيَّتِي

(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” (al-Baqarah: 124)

Maksudnya, ia (Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ-) juga menginginkan agar imamah (kepemimpinan) juga diberikan kepada anak keturunannya, dan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah menjadikan kenabian pada anak keturunannya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pun menjawabnya dengan firman-Nya,

لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

JanjiKu (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (al-Baqarah: 124)

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- lebih mengerti di mana Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menempatkan tugas kerasulan. Seorang yang zalim tidak akan mendapat peran dalam karunia Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- ini, selama kezalimannya terus-menerus terhadap kedudukan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak menyukai orang-orang yang melakukan kezhaliman. Karena itulah Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ- berkata dalam permintaannya yang kedua, dalam surat al-Baqarah,

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan Hari Kemudian.” (al-Baqarah: 126)

Maksud Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ- dalam doanya “yang beriman di antara mereka kepada Allah dan Hari Kemudian.” adalah karena adabnya atas jawaban Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepadanya saat berfirman,

لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

JanjiKu (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (al-Baqarah: 124)

Maka kemudian Ibrahim -عَلَيْهِ السَّلَامُ- membatasi doanya kemudahan rezeki untuk orang-orang yang taat dan beriman. Akan tetapi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengajarinya bahwa ada perbedaan antara karunia imamah dan karunia rezeki. Imamah tidak didapat oleh orang-orang yang zalim, sementara rezeki didapat oleh setiap makhluk.

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rizkinya.” (Hud: 6)

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan Hari kemudian. Allah berfirman, “Dan kepada orang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa dia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (al-Baqarah: 126)

Saya menyudahi pembahasan ini dengan pernyataan bahwa tidak ada kemuliaan bagi seorang yang zhalim meski nasabnya bermuara ke kekasih Allah, dan tidak ada kemuliaan bagi Zionis meski mereka mengaku anak keturunan Ya’qub, Israil, seorang Nabi Allah, anak Nabi Allah dan cucu Nabi Allah.

Inilah pembukaan saya untuk membahas tentang anak keturunan Israil dan kedudukannya terhadap bapak mereka, Ya’qub -عَلَيْهِ السَّلَامُ- dan saudara mereka, Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ-.

Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ- pernah bermimpi bahwa ia mendapatkan kebaikan yang besar. Dari renungannya terhadap mimpi itu Ya’qub -عَلَيْهِ السَّلَامُ- menyimpulkan bahwa ia akan bertemu Yusuf. Kenapa? Karena isi mimpi itu melalui lisan Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ- dalam firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berbunyi,

 يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ

Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (Yusuf: 4)

Ini menunjukkan adanya pertemuan, artinya akan ada kumpul-kumpul. Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ- telah berpisah dengan ayahnya karena tipu daya saudara-saudaranya, dan perpisahan itu telah berlangsung lama, karena Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ- mendekam di penjara beberapa tahun. (Karena mengerti bahwa suatu saat akan bertemu), maka Ya’qub -عَلَيْهِ السَّلَامُ- tidak putus asa, meski dia terus bersedih, menangis dan matanya memutih karena kesedihannya. Harapannya untuk bertemu anaknya diungkapkan dalam firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

إِنِّي أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak mengetahuinya.” (Yusuf: 96)

Yang menjadikan kita memahami maksud ayat ini adalah ungkapan Ya’qub -عَلَيْهِ السَّلَامُ- kepada Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ-.

يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا

Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.” (Yusuf: 5)

Rasa dengki adalah keinginan hilangnya kenikmatan yang diperoleh orang lain, meski mereka adalah saudaranya sendiri. Ini Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, saudara mereka yang mendapat kabar gembira dengan kebaikan yang besar di masa depannya. Meski demikian, ayah mereka, yang melahirkan mereka, dan dia adalah orang yang paling mengerti tentang mereka, yang mendidik mereka dan membesarkan mereka, berkata kepada Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ-,

يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا

Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.” (Yusuf: 5)

Rasa dengkilah yang menghalangi Bani Israil untuk beriman kepada Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- padahal mereka mengetahuinya sebagaimana mereka mengetahui anak-anak mereka sendiri. Kedengkian pula yang menghalangi Bani Israil untuk senang dengan kebaikan yang diturunkan kepada kita. Ini adalah penyakit lama, yang mendasari langkah-langkah mereka saat mereka masih bersama ayah mereka. Dan dia (Ya’qub -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, ayah mereka) telah memperingatkan Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ- akan kedengkian saudara-saudaranya ini dengan firman-Nya,

يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia” (Yusuf: 5)

Meski dengan usaha untuk menjaga dalam satu keluarga, tetap saja mereka mengikuti faktor yang menjadikan mereka dengki, padahal Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, tidak pernah menceritakan kepada mereka tentang mimpi yang dialaminya.

Saudara-saudara Yusuf -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, telah berburuk sangka terhadap ayah mereka, Ya’qub -عَلَيْهِ السَّلَامُ-, padahal dia adalah seorang Nabi yang mulia dan bahkan mereka menuduhnya berbuat curang dalam hal pembagian kasih sayang. Dalam hal ini Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

لَقَدْ كَانَ فِي يُوسُفَ وَإِخْوَتِهِ آيَاتٌ لِلسَّائِلِينَ . إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. (Yaitu) ketika mereka berkata, “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. (Yusuf: 7-8)

Mereka menguatkan kedudukan mereka terhadap ayah mereka dengan menguatkan ungkapan mereka dengan “إِنّ“ (yang berarti, ‘sesungguhnya’) dan ‘lam’ (yang berarti, ‘sungguh’) dalam bentuk jumlah ismiyah, mereka berkata, ”إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ” (Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata).

Dimaksudkan agar hati mereka yang buruk terpuaskan dengan iri dan dengki. Mereka berkata,

اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ

Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayah kalian tertumpah kepada kalian saja.” (Yusuf: 9)

Jadi, pada dasarnya mereka maunya mencari dunia meski harus dengan cara membunuh saudara mereka, apalagi orang lain. Meski harus dengan mengambil nyawa yang tidak bersalah, meski harus dengan membuang saudara mereka ke sebuah sumur. Yang penting dunia menjadi milik mereka dengan resiko apa pun. Pada saat ini mereka tetap melakukan penjajahan, pendudukan terhadap tanah-tanah sekitar, pencederaan terhadap kehormatan, perampasan terhadap hak-hak orang lain. Bagi mereka, kiamat mereka akan terjadi apabila terjalin hubungan baik antara Amerika dan Negara-negara Arab, atau apabila Negara yang lain mendapat persenjataan yang memadai. Mereka maunya hanya menyerang Negara yang lain dengan kekuatan untuk menjamin dominasi Negara mereka atas Negara lain. Mereka pernah menyerang reaktor nuklir Irak hanya untuk memastikan kekuatan mereka tetap unggul. Semboyan mereka, “Pilih saya, atau topan di belakangku.”

اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ

Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayah kalian tertumpah kepada kalian saja, dan sesudah itu hendaklah kalian menjadi orang-orang yang baik.” (Yusuf: 9)

Kebaikan macam apa ini, padahal tangannya berlumuran dengan darah?

Kebaikan macam apa ini, sedangkan kedurhakaan telah memenuhi hatinya, tidak ada sisa buat kesucian sedikit pun meski hanya selembar ujung kuku?

Kebaikan macam apa ini, sedang mereka pernah merebut saudara mereka dari pangkuan ayah mereka dan melemparkannya ke dasar sebuah sumur?

Tapi inilah kebaikan menurut Bani Israil. Inilah konsisten menurut Bani Israil.

اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ . قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ لَا تَقْتُلُوا يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِين

“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayah kalian tertumpah kepada kalian saja, dan sesudah itu hendaklah kalian menjadi orang-orang yang baik.”

“Seorang di antara mereka berkata, “Janganlah kalian bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kalian hendak berbuat.” (Yusuf: 9-10)

Kedengkian telah menjadikan mereka durhaka dan memutuskan silaturahim, kemudian mendorong mereka melakukan kesepakatan jahat dalam kebohongan.

قَالُوا يَا أَبَانَا مَا لَكَ لَا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ

Mereka berkata, “Wahai ayah kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.” (Yusuf: 11)

Perhatikan kepada kalimat (إِنَّا) (sesungguhnya kami) yang  menunjukkan kesungguhan, kemudian perhatikan kepada khabar (kalimat yang menerangkan) yang terdiri dari jar dan majrur  (لَهُ) yang didahulukan, dan perhatikan kepada isim (kalimat yang diterangkan) yang dipasangi lam  yang diakhirkan, lalu perhatikan jumlah ismiyah tersebut, (وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ) menunjukkan bahwa mereka berucap dengan kepalsuan, kamuflase, kebohongan dan penipuan. Saat itu mereka adalah manusia paling dusta terhadap Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan atas manusia.

وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ . أَرْسِلْهُ مَعَنَا غَدًا يَرْتَعْ وَيَلْعَبْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan sesungguhnya kami pasti mejaganya.” (Yusuf: 12)

Ayah mereka sebenarnya merasakan adanya persengkongkolan, akan tetapi sebagai seorang Nabi, ia tidak mau menuduh kecuali apabila sudah yakin.

قَالَ إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ وَأَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ وَأَنْتُمْ عَنْهُ غَافِلُونَ

Berkata Ya’qub, Sesungguhnya kepergian kalian bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kalian lengah daripadanya.’” (Yusuf: 13)

Dari sini, muncullah sifat heroik dan kepahlawanan mereka, padahal mereka adalah manusia paling penakut.

قَالُوا لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا إِذًا لَخَاسِرُونَ (14) فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ

Mereka berkata, Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia).” (Yusuf: 14-15)

 

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- bersamanya,

وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ

Dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf, Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi. (Yusuf: 15)

Apa yang terjadi setelah itu, akan kita bahas pada pertemuan berikutnya, sampai bertemu lagi insya Allah.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

(Redaksi)

Sumber:

Al-Yahud Fi al-Qur’an al-Karim