Membatasi angan-angan yaitu mengetahui dekatnya kepergian dan cepat habisnya masa hidup. Membatasi angan-angan merupakan salah satu hal yang paling bermanfaat bagi hati. Karena hal itu menjadikannya memanfaatkan kesempatan hidup yang berlalu seperti berlalunya awan untuk bersegera beramal shalih, sehingga menumbuhkan ketenangan tekad untuk menuju rumah keabadian, bersegera mengakhiri perjalanannya (di dunia) dan menggapai cita-citanya, bersikap zuhud di dunia dan membuatnya senang dengan akhirat.

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ 

“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).” (al-Hijr: 3).

Yakni, biarkan mereka hidup seperti binatang yang hanya mementingkan makan dan nafsu birahi saja. Maksud dari firman-Nya, وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), yakni, mereka disibukkan oleh lamunan yang panjang, usia yang lama dan tetap dalam keadaan seperti itu tapi jauh diri keimanan dan ketaatan kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Al-Hafizh Ibnu Hajar-رَحِمَهُ اللهُ-berkata dalam Fathul Bari, “Ini merupakan peringatan bahwa mementingkan kesenangan dan kenikmatan, serta hal-hal lain yang membuat panjangnya lamunan, bukanlah akhlak seorang mukmin.”

Dan firman Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ، وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian; lalu ia berkata, Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih? Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Munafiqun: 10-11).

Dan Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga berfirman,

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ، وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ، أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ

Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepadaNya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokan (agama Allah). (az-Zumar: 54-56).

Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-juga berfirman,

وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ ، فَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-oloknya. Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, dia berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat ini hanyalah karena kepintaranku.” Sebenarnya, itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (az-Zumar: 48-49).

Dari Anas –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, “Rasulullah        -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– membuat sebuah garis dan bersabda, ‘Ini adalah manusia’. Kemudian membuat garis di pinggirnya, dan bersabda, ‘Ini adalah ajalnya’. Dan kemudian membuat sebuah garis lain yang sedikit jauh dari itu dan bersabda, ‘Dan ini adalah angan-angannya. Ketika dia sudah berada di garis ini (angan-angan), maka garis yang lebih dekat (ajalnya) yang mendatanginya.” [1]

Dari Abu Hurairah–رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى عَبْدٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَغَ سِتِّينَ سَنَةً

“Allah telah memberi udzur kepada seseorang dengan menangguhkan ajalnya hingga umur enam puluh tahun.” [2]

Dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-sesungguhnya Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَعِيْشَ يَزْدَادُ خَيْرًا وَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَإِمَّا مُسِيْئًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعْتِبُ

“Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, seandainya dia orang baik, maka dengan diakhirkan ajalnya akan bisa menambah kebaikannya, dan itu jelas lebih baik bagi dia. Seandainya dia termasuk orang yang jahat, maka dengan diakhirkan ajalnya maka akan bisa memiliki kesempatan untuk bertaubat.” [3]

Dari Ibnu Umar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-, ia berkata, “Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pernah memegang pundakku dan bersabda,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

“Jadilah kamu di dunia ini seakan-akan orang asing atau seorang pengembara.”[4]

Ibnu Umar –رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-juga berkata,

إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَخُذْ مِنْ حَسَنَاتِكَ لِمَسَاوِيكَ

“Ketika kamu memasuki pagi, maka jangan menunggu sore. Ketika kamu memasuki waktu sore, jangan menunggu pagi. Ambillah kesempatan dari keadaan sehatmu untuk keadaan sakitmu. Dan dari kehidupanmu untuk kematianmu.”

Hadis-hadis di atas merupakan dasar mengenai perlunya membatasi angan-angan di dunia. Karena seorang Mukmin tidak pantas menjadikan dunia sebagai tempat tinggal dan tanah air, dimana dia merasakan ketenangan. Akan tetapi seorang Mukmin di dunia ini sebaiknya bersikap seakan-akan dia adalah orang yang hendak bepergian. Hal ini telah menjadi kesepakatan para Nabi dan pengikutnya dalam wasiat-wasiat mereka. Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman menceritakan seorang Mukmin dari keluarga Fir’aun, bahwa dia berkata,

يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَار

Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (Ghafir: 39).

Dan jika memang dunia bukanlah tempat tinggal dan tanah air bagi seorang mukmin, maka dia harus bersikap dengan salah satu dari dua sikap. Yaitu ada kalanya seakan-akan dia adalah orang-orang asing yang tinggal di negara asing, yang mana tujuannya adalah mencari bekal untuk kembali ke tanah airnya, atau seakan-akan dia adalah seorang musafir yang tidak pernah menetap di suatu tempat sama sekali, yang mana siang dan malamnya selalu ia gunakan untuk berjalan menuju negara di mana dia tinggal. Oleh karena itu Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-memberi wasiat kepada Ibnu Umar agar ketika di dunia ini dia bersikap dengan salah satu dari dua sikap.

Pertama, Membayangkan seakan-akan dia tinggal di negara asing. Hatinya tidak pernah terikat oleh negara itu, akan tetapi hatinya selalu terhubung dengan tanah air yang menjadi tempat dia kembali. Sehingga tidak ada tujuan lain baginya di dunia kecuali mencari bekal dengan sesuatu yang dapat bermanfaat saat kembali ke tanah airnya.

Al-Hasan-رَحِمَهُ اللهُ-berkata, “Seorang mukmin itu bagaikan orang asing di dunia. Tidak merasa cemas karena mendapatkan kerendahan dunia, dan tidak berlomba-lomba untuk meraih kemuliaannya. Orang-orang memiliki kondisi, dia juga memiliki kondisi yang lain”.

Ketika Adam-عَلَيْهِ السَّلَامُ-diciptakan, dia dan istrinya ditempatkan di Surga. Kemudian diturunkan dari sana serta dijanjikan bahwa akan dikembalikan ke Surga bersama anak cucu mereka yang shalih. Maka seorang mukmin selamanya akan merasa rindu ke kampung halaman pertamanya. Sebagaimana seorang penyair berkata,

كَمْ مَنْزِلٍ لِلْمَرْءِ يَأْلَفُهُ الْفَتَى     وَحَنِيْنُهُ أَبَدًا لِأَوَّلِ مَنْزِلِ

“Berapa banyak rumah yang dikunjungi oleh pemuda

Akan tetapi kerinduannya tetap kepada rumah pertama selamanya.”

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim –رَحِمَهُ اللهُ – bersyair,

فَحَيَّ عَلَى جَنَّاتِ عَدْنٍ فَإِنَّهَا       مَنَازِلُنَا اْلأُوْلَى وَفِيْهَا الْمُخَيَّمُ

وَلَكِنَّنَا سَبْيُ الْعَدُوِّ فَهَلْ تَرَى       نَعُوْدُ إِلَى أَوْطَانِنَا وَنُسَلِّمُ

Marilah kita menuju Surga ‘Adn! Karena sesungguhnya itu adalah rumah pertama kita. Dan di sana terdapat tenda.

Akan tetapi sekarang kita merupakan tahanan musuh.

Bagaimana menurutmu jika kita kembali ke kampung halaman kita dan aman tentram di sana?

Kedua, Seorang mukmin membiarkan dirinya di dunia seakan-akan dia adalah seorang musafir yang tidak menetap sama sekali. Akan tetapi dia selalu berjalan melalui beberapa rumah dalam perjalanannya, maka dia sama sekali tidak memiliki tujuan untuk mengumpulkan banyak harta dunia.

Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Muhammad bin Wasi’-رَحِمَهُ اللهُ-, “Bagaimana Anda pada saat memasuki waktu pagi?” Beliau membalas, ‘Bagaimana pandanganmu terhadap orang yang setiap harinya berpindah satu tingkatan menuju akhirat.”    

Al-Hasan-رَحِمَهُ اللهُ-berkata, “Sesungguhnya kamu hanyalah kumpulan hari. Ketika lewat satu hari padamu, maka sebagian dari dirimu telah berlalu.”

Dan, dia-رَحِمَهُ اللهُ- juga berkata,

“Wahai anak Adam! Engkau hanya berada di antara dua kendaraan yang akan mengantarkanmu (yaitu kendaraan) malam yang mengantarmu kepada siang, dan siang yang mengantarmu kepada malam, sampai keduanya mengantarmu kepada kehidupan akhirat. Maka siapakah yang lebih mengkhawatirkan kondisinya daripadamu wahai anak Adam?”

Seorang ahli hikmah berkata, “Bagaimana mungkin seseorang senang dengan kehidupan dunia, padahal setiap hari yang dilaluinya akan menghancurkan bulannya, dan setiap bulan yang dilaluinya akan menghancurkan tahunnya, dan setiap tahun yang dilaluinya akan menghancurkan umurnya.”

Fudhail bin ‘Iyadh-رَحِمَهُ اللهُ-bertanya kepada seorang laki-laki: “Berapa umur Anda?” Dia menjawab: “60 tahun.” Fudhil berkata: “Engkau sejak 60 tahun lalu telah berjalan menuju Rabbmu. Dan sekarang anda hampir sampai.” Kemudian laki-laki itu berkata,

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya akan kembali kepada-Nya.’ (al-Baqarah: 156).

Fudhail berkata, “Apakah kamu mengetahui tafsir ayat yang kamu sebutkan? إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ, yakni barang siapa yang telah mengetahui bahwa dia adalah hamba Allah dan hanya akan kembali pada-Nya, maka ketahuilah sesungguhnya dia akan ditanya. Dan barang siapa yang mengetahui bahwa ia akan ditanya, maka hendaklah ia menyiapkan jawabannya.”

Kemudian orang tersebut bertanya, “Lalu bagaimana caranya?”

Fudhail menjawab, “Ada yang paling mudah.”

Orang tersebut bertanya kembali, “Apa itu?”

Fudhail pun menjawab, “Berbuat baiklah pada sisa umur yang anda miliki niscaya engkau akan mendapatkan kebaikan dari yang telah berlalu. Karena sesungguhnya apabila anda berbuat buruk pada sisa umur anda, maka anda akan disiksa disebabkan umur-umur yang sudah lewat dan disebabkan sisa umur anda yang ada.”

Al-Hasan-رَحِمَهُ اللهُ-berkata, “Ada tiga orang ulama berkumpul, lalu mereka berkata kepada salah satu dari mereka, ‘Apa angan-angan dan keinginanmu?’ Dia menjawab, “Tidaklah datang kepadakku satu bulan kecuali aku merasa bahwa aku akan mati “, lalu keduanya berkata, “Itu adalah angan-angan, maka keduanya berkata kepada yang lain, “Apa keinginan dan angan-anganmu?” Dia menjawab: Tidaklah datang kepadaku satu jum’at kecuali aku menyangka bahwa aku akan mati”, lalu keduanya berkata, “Itu adalah angan-angan.” Maka keduanya berkata kepada yang lain, “Apa keinginan dan angan-anganmu? “Dia berkata, Angan-angan apa yang hendak diharapkan oleh seseorang yang jiwanya berada di tangan yang lain (maksudnya di tangan Allah)?!”

Bakar al-Muzani-رَحِمَهُ اللهُ-berkata, “Apabila kamu menginginkan shalatmu memberi manfaat kepadamu, maka katakanlah pada dirimu sendiri, ‘Barangkali ini adalah shalat terakhir yang aku lakukan’.”

Ma’ruf al-Kurkhi-رَحِمَهُ اللهُ-hendak melaksanakan shalat. Kemudian beliau berkata kepada seorang laki-laki, “Majulah, mari shalat bersama kami.” Orang tersebut menjawab, “Apabila saya melaksanakan shalat bersama kalian, maka saya tidak akan pernah shalat bersama kalian lagi.” Maka Ma’ruf berkata, “Apakah dengan begitu kamu mengatakan pada dirimu sendiri bahwa kamu akan melakukan shalat lagi? Kami berlindung kepada Allah dari panjangnya angan-angan. Karena hal tersebut dapat menghalangi perbuatan baik.”

Penyebab panjangnya angan-angan dan obatnya

Ketahuilah, sesungguhnya ada dua hal yang menyebabkan panjang angan-angan, pertama kebodohan dan kedua cinta terhadap dunia.

Adapun cinta terhadap dunia, yaitu merasa nyaman dengannya, kesenangannya, kenikmatannya dan hubungannya, yang mana membuat hati merasa berat untuk berpisah dengannya. Sehingga hatinya tidak dapat berfikir sama sekali mengenai kematian, yang merupakan sebab berpisahnya dia dengan dunia. Setiap orang yang membenci sesuatu, maka dia akan menjauhkan hal tersebut dari dirinya. Manusia telah banyak terlena oleh angan-angan yang salah. Dia selalu menginginkan segala hal sesuai dengan kehendak nafsunya.

Dan sesungguhnya keinginan yang selalu sesuai dengan kehendak nafsunya adalah keinginan untuk tetap hidup abadi di dunia. Maka dia terus membayangkan dan mengkhayalkan keabadian pada dirinya serta apa yang dia butuhkan untuk mencapai keabadian itu, seperti harta, keluarga, rumah, teman, kendaraan dan sebab-sebab duniawi lainnya. Maka hatinya tidak bisa lepas dari memikirkan semua itu sehingga lupa akan kematian. Dia sama sekali tidak memperkirakan mengenai telah dekatnya kematian. Dan apabila terbesit dalam hatinya pada beberapa kondisi tentang telah dekatnya kematian dan perlunya bersiap-siap untuk menghadapinya, ia selalu menunda dan mengatakan pada dirinya bahwa hari-hari masih panjang di hadapannya sampai ia dewasa, baru kemudian melakukan taubat. Ketika telah dewasa, dia berkata sampai menjadi tua. Dan ketika telah menua, dia berkata sampai selesai membangun rumah dan meramaikan desa ini, atau sampai kembali dari perjalanan ini. Maka dia terus saja menunda dan mengakhirkan. Dan tidaklah dia tenggelam dalam suatu kesibukan, kecuali kesibukan tersebut telah terikat dengan sepuluh kesibukan lainnya, dan terus seperti itu sampai kematian merenggutnya pada waktu yang tidak dia sangka-sangka. Maka ketika itu, dia baru merasakan penyesalan yang amat panjang. Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan dari penduduk neraka dan orang yang berteriak-teriak di sana adalah orang yang sering menunda-nunda. Karena orang malang yang suka menunda-nunda tidak mengetahui bahwa hal yang membuat dia menunda pada hari ini, akan ada di keesokan hari. Dan bahkan dengan seiring bertambahnya waktu, hal tersebut semakin bertambah kuat dan kokoh.

فَمَا قَضَى أَحَدٌ مِنْهَا لُبَانَتَهُ       وَمَا انْتَهَى أَرَبٌ إِلَّا إِلَى أَرَبٍ

Tidak ada seorang pun yang memenuhi kebutuhannya

Dan tidak ada satu keinginan pun yang berhenti kecuali kepada keinginan yang lain

Sedangkan kebodohan yaitu, bahwa manusia terkadang bergantung pada generasi mudanya, dan menganggap jauhnya kematian dari mereka. Orang malang seperti ini tidak pernah berfikir bahwa seandainya orang-orang tua yang ada di negara mereka dihitung, niscaya ada beberapa orang saja. Dan sesungguhnya yang menyebabkan mereka sedikit adalah jumlah angka kematian di masa muda cenderung lebih banyak dari pada di masa tua. Sampai waktu dimana ada satu orang tua meninggal, telah meninggal seribu bayi dan pemuda. Andaikata orang yang lalai ini berfikir dan mengetahui bahwa kematian tidak mengenal waktu, muda, tua atau usia pertengahan, musim panas atau musim dingin, siang atau malam, niscaya perasaan tentang dekatnya kematian akan membesar dan dia akan menyibukan diri untuk mempersiapkannya. Terkadang seseorang merasa bahwa dia akan selalu mengiringi jenazah orang lain, sementara dia tidak pernah berfikir kelak jenazahnyalah yang akan diiringi oleh orang.

Seringkali terjadi seseorang tersentuh hatinya dengan kematian orang lain dan tidak tersentuh hatinya dengan kematiannya sendiri. Maka setiap kali dia melihat ada jenazah yang dibawa, hendaknya dia merasa bahwa cepat atau lambat jenazahnyalah yang akan dibawa orang banyak, untuk kemudian dikuburkan, mungkin saja batu bata yang akan digunakan untuk menutup lahadnya saat ini sudah dibuat, dan mungkin saja kain kafan yang akan digunakan untuk menutupi jenazahnya saat ini sudah ditenun, jika demikian adanya, maka menunda-nunda dan mengakhirkan amal kebaikan adalah perbuatan yang sangat bodoh.

Adapun cara penanggulangan dua hal di atas adalah dengan menghindari sebab-sebabnya. Penanggulangan terhadap cinta dunia cukuplah berat, karena itu merupakan penyakit yang menjangkit dan melelahkan orang-orang terdahulu dan sekarang. Dan tidak ada cara lain untuk menanggulanginya kecuali dengan iman kepada hari akhir serta besarnya siksa dan banyaknya pahala yang ada di sana. Ketika seorang hamba telah memperoleh keyakinan seperti itu, maka hilanglah dari hatinya sifat cinta terhadap dunia. Karena sesungguhnya menyukai hal-hal yang berbahaya dapat menghapus kesukaan terhadap hal yang ringan-ringan dari dalam hati.

Sedangkan untuk penanggulangan kebodohan, maka hendaklah setiap saat seorang hamba memperhatikan semua bagian dan anggota tubuhnya serta merenungkan bahwa bagaimana tubuhnya dimakan oleh cacing dan tulang-tulangnya menjadi remuk, sehingga tidak sepotong daging dan lemak dari tubuhnya kecuali telah menjadi santapan cacing serta tidak tersisa tulang darinya kecuali telah hancur. Dan hendaklah ia membayangkan bahwa kedua bola mata yang ia gunakan untuk melihat hal-hal yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, akan menjadi santapan belatung. Lidah yang dia gunakan untuk berbicara, juga akan menjadi santapan belatung. Dan sendi-sendi yang dia gunakan untuk bergerak akan kehilangan perekatnya serta membuat tulang-tulangnya berserakan.

Bersegera dalam beramal dan menghindari penyakit menunda-nunda

Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya orang yang memiliki dua saudara yang tinggal jauh darinya serta menunggu kedatangan yang satunya lagi satu bulan atau satu tahun yang akan datang, maka dia tidak akan mempersiapkan untuk orang yang akan datang satu bulan atau satu tahun kemudian. Akan tetapi dia akan menyiapkan untuk orang yang akan datang hari esok. Maka sesungguhnya persiapan akan dilakukan, ketika mengetahui telah dekatnya hal yang ditunggu.

Dari Umar bin Khattab-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, “Tidak tergesa-gesa dalam setiap hal itu baik, kecuali dalam perbuatan-perbuatan baik untuk akhirat.”

Al-Hasan-رَحِمَهُ اللهُ – berkata pada saat khutbahnya, “Bersegeralah! Bersegeralah! Karena sesungguhnya itu adalah nafas, yang seandainya kalian tahan, maka terputuslah dari kalian perbuatan-perbuatan yang kalian gunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semoga Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-merahmati orang yang memandang pada dirinya serta menangisi hitungan dosa-dosanya.” Kemudian al-Hasan membaca ayat,

إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدًّا

Karena sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti.” (Maryam: 84).

Dan berkata, “Yakni hitungan terakhir nafas adalah keluarnya ruh dari tubuhmu, hitungan terakhirnya adalah berpisah dengan keluargamu dan hitungan terakhirnya adalah masuknya kamu ke dalam kubur.”

Dari Ali-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, “Sesungguhnya dunia telah pergi membelakangi (meninggalkan) kita, sedangkan akhirat telah datang untuk menjemput kita. Dan masing-masing dari keduanya memiliki anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat, dan jangan menjadi anak-anak dunia. Karena pada hari ini (di dunia), terdapat amal tapi tidak ada hisab. Sedangkan besok (di akhirat), terdapat hisab tapi tidak ada amal.”* Wallahu A’lam. (Redaksi)

Catatan:

* Dinukil dari kitab Ihya Ulumuddin, Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Riyadhush Shalihin, Fathul Bari.

[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (11/235, 236) bab Ar-Riqaaq.

[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (11/238) pada bab Ar-Riqaaq, Ahmad (2/275), dan Hakim (2/427) pada bab At-Tafsir).

[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (10/127) pada bab al-Mardha dengan tambahan di awal hadisnya, Muslim (17/8) pada bab adz-Dzikru bi Ma’nahu dan An-Nasai (4/2,3) pada bab Al-Janaiz.

An-Nawawi-رَحِمَهُ اللهُ-berkata, “Dalam hadis tersebut terdapat penjelasan tentang dimakruhkannya mengharapkan kematian karena turunnya suatu bencana pada seseorang, seperti sakit, kefakiran, cobaan dari musuh atau kesusahan-kesusahan lain yang ada di dunia. Adapun apabila khawatir terjadinya bahaya dan fitnah maka tidak dimakruhkan, sesuai pemahaman dari hadis ini dan hadis yang lainnya. Dan hal ini pernah dilakukan oleh beberapa orang salaf ketika khawatir terjadi fitnah dalam agama mereka. Di antara dalilnya adalah ucapan beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

وَإِذَا أَرَدْتَ بِقَوْمٍ فِتْنَةً فَتَوَفَّنِي غَيْرَ مَفْتُوْن

“Apabila Engkau menghendaki menimpakan suatu fitnah kepada suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan selamat dari fitnah.”

Dan dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, dia berkata, “Akan datang satu zaman dimana kematian lebih dicintai oleh para ulama daripada emas merah, sehingga akan ada seseorang yang mendatangi kuburan saudaranya lalu berkata, ‘Alangkah indahnya jika aku menempati tempatmu’.”

[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (11/233) pada bab Ar-Riqaaq, Ahmad (2/24), at-Tirmidzi (9/203) pada bab Az-Zuhdu dan Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah (3/301).

Sumber:

Al-Bahr ar-Raa-iq Fii az-Zuhdi Wa ar-Raqaa-iq, Dr. Ahmad Farid, ei, hal. 425-436.