Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى

“ Dan sungguh telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan.” {Thaha: 62 }

Kaidah (pokok) ini datang dalam konteks kisah Nabi Musa ‘alaihis salam bersama Fir’aun dan para penyihirnya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang Fir’aun,

قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَنْ يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى (59) فَتَوَلَّى فِرْعَوْنُ فَجَمَعَ كَيْدَهُ ثُمَّ أَتَى (60) قَالَ لَهُمْ مُوسَى وَيْلَكُمْ لَا تَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ كَذِبًا فَيُسْحِتَكُمْ بِعَذَابٍ وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى (61) فَتَنَازَعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ وَأَسَرُّوا النَّجْوَى

“(Musa) berkata, ‘Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik’. Maka Fir’aun meninggalkan (tempat itu), lalu mengatur tipu dayanya, kemudian dia datang. Musa berkata kepada mereka, ‘Celakalah kamu, janganlah kamu mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, maka Dia membinasakan kamu dengan siksa’. Dan sungguh telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan. Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka di antara mereka dan mereka merahasiakan percakapan (mereka).” (Thaha: 59-62).

Kata اَلْاِفْتِرَاءُ (mengadakan kedustaan) bisa diartikan dengan beberapa makna, di antaranya: kebohongan, syirik, dan kezhaliman, dan al-Qur’an telah menggunakan (kata) tersebut untuk ketiga makna ini, yang mana semuanya berkisar pada makna kerusakan dan berbuat kerusakan. (Mufradat al-Qur’an, ar-Raghib al-Ashbahani, hal. 634).

Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata seraya menegaskan keumuman kaidah ini, “Sungguh Allah Ta’ala telah menjamin bahwasanya Dia pasti akan membuat orang-orang yang suka mengadakan kedustaan itu akan gagal (dan kecewa) dan tidak akan menunjuki mereka, dan bahwasanya Dia akan membinasakan mereka dengan azabNya, yakni menghancurkan mereka.” (Ash-Shawa’iq al-Mursalah, 4/1212).

Di antara Bentuk-bentuk Aplikasi Kaidah Ini:
Apabila Anda merenungkan kaidah ini, Anda akan menemukan dalam realitanya –sayang sekali– orang yang punya andil besar darinya, dan di antaranya:

1). Kebohongan dan kedustaan atas nama Allah,

Dengan berbicara atas namaNya tanpa didasari ilmu, dengan sebagian bentuk-bentuknya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat kedustaan atas nama Allah atau yang berkata, ‘Telah diwahyukan kepadaku’, padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata, ‘Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah’.” (Al-An’am: 93).
Dan jika Anda merenungkan perkara ini, Anda akan mendapatkan bahwasanya orang musyrik itu berbuat syirik karena dia berkata atas nama Allah tanpa didasari ilmu!
Dan sama dengannya juga orang yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah Ta’ala tentang berita-berita Bani Israil.
Dan termasuk di dalamnya orang-orang yang berfatwa tanpa didasari ilmu, maka mereka termasuk di antara orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah Ta’ala, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (An-Nahl: 116).

Dan setiap orang yang berbicara tentang Syariat tanpa didasari ilmu, maka ia termasuk di antara orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah, sama saja baik itu dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat, masalah halal-haram, atau masalah-masalah agama lainnya.
Oleh karena itu, kebanyakan Salaf bersikap wara’ dalam memastikan bahwa apa yang ia fatwakan adalah hukum Allah, jika masalah tersebut tidak memiliki nash dan tidak juga ijma’. Sebagian as-Salaf berkata, “Hendaklah seseorang di antara kalian berhati-hati dalam mengucapkan, ‘Allah telah menghalalkan ini dan mengharamkan itu’, jangan sampai Allah berkata kepadanya, ‘Engkau telah berdusta! Aku tidak menghalalkan ini dan tidak mengharamkan itu!” (I’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabb al-‘Alamin, 1/39).
Oleh karena itu, ketika seorang juru tulis menulis di hadapan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab, suatu hukum yang beliau putuskan, dia berkata, “Inilah apa yang diilhamkan oleh Allah kepada Amirul Mukminin, Umar,” maka beliau menjawab,

لا بل اكتب هذا ما رأى عمر فان كان صوابا فمن الله وان كان خطأ فمن عمر

“Janganlah -berkata seperti itu-, tetapi katakanlah, ‘Inilah pendapat Umar’, jika ia benar maka itu adalah dari Allah, dan jika ia salah maka itu adalah dari Umar” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, no. 20135).
Maka bagi orang yang tidak memiliki ilmu dalam apa yang akan dia bicarakan, hendaklah dia menahan lisannya, dan bagi orang yang biasa mengeluarkan fatwa untuk manusia, hendaklah dia memperhatikan petunjuk kaum as-Salaf dalam masalah ini; karena hal itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.

2). Di antara bentuk-bentuk lain aplikasi kaidah ini:

Apa yang dilakukan oleh sebagian para pemalsu hadits –pada waktu lampau maupun sekarang– yang mana mereka berdusta atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam dan mengada-adakan kebohongan atas nama beliau: bisa jadi karena tujuan –menurut klaim mereka– yang baik, seperti memotivasi (agar berbuat baik) dan menakut-nakuti (agar tidak melakukan keburukan), atau karena tujuan-tujuan politik, madzhab, dan ekonomi, sebagaimana hal itu sayang sekali telah terjadi sejak lama sekali!
Andai saja tiap orang yang suka memalsukan hadits atas nama Nabi shollallahu alaihi wasallam itu merasa bahwa dirinya termasuk di antara orang-orang yang mengada-adakan kedustaan, dan bahwasanya usahanya itu tidak akan beruntung, bahkan justru ia akan merasa gagal, sebagaimana Rabb kita telah berfirman,

وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى

“Dan sungguh telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan”,
niscaya banyak di antara mereka akan bertaubat dari kesesatan mereka, dan tidak ada gunanya baginya apa yang dia sangka sebagai tujuan yang baik itu, sebagaimana klaim sebagian para pemalsu hadits, karena kedudukan syariat itu sangat agung, wahyu-wahyunya dijaga dan diagungkan, dan Allah pun telah menyempurnakan Agama ini, sehingga tidak membutuhkan hadits palsu dan dibuat-buat, dan syariat tidaklah dibangun di atas kebohongan, (lagi pula sadarkah ia) atas nama siapa (dia berdusta)? (Pantaskah ia berdusta) atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Dan sangat disayangkan, bahwa di zaman ini hadits-hadits dhaif dan palsu sangat populer di pasaran dengan perantaraan internet atau SMS; maka hendaklah seorang hamba bertakwa kepada Tuhannya, dan hendaklah dia tidak menyebarkan sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga dia melakukan pengecekan terlebih dahulu tentang keshahihannya.

3). Di antara bentuk lain aplikasi kaidah al-Qur’an yang mulia ini yang dapat disaksikan dalam realita:

Apa yang terjadi dari sebagian orang –sayang sekali– berupa kezhaliman dan perbuatan yang melampaui batas terhadap saudara-saudara Muslim mereka, dan ini memiliki banyak sebab, dan mungkin (sebab) yang paling menonjol adalah: sifat dengki –kita berlindung kepada Allah darinya–, rakus kepada kenikmatan dunia yang sebentar, atau sebab-sebab lainnya. Dan musibah ini bertambah besar ketika sebagian orang membungkus perbuatannya dengan baju agama, agar berhasil apa yang dilakukannya berupa memfitnah dan memberi peringatan untuk berhati-hati dari si fulan karena kedengkian dan permusuhan.
Saya telah mendengar beberapa kisah tentang masalah ini, ada yang sudah lama terjadi dan ada juga yang terjadi di zaman sekarang, yang diakui sendiri oleh para pelakunya, dan ia adalah kisah-kisah yang menyayat hati dan menyesakkan ulu hati, disebabkan apa yang mereka rasakan berupa akibat kebohongan dan kezhaliman mereka terhadap orang lain. Saya akan mencukupkan diri darinya dengan dua kisah saja, mudah-mudahan dengan menyebutkannya, (kita bisa mengambil) nasihat dan pelajaran:

1. Ketika al-Mutawakkil –salah seorang khalifah Bani Abbasiyah– duduk, masuklah Abdul Aziz bin Yahya al-Kinani dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tidak ada yang lebih aneh daripada tindakan al-Watsiq! Dia telah membunuh Ahmad bin Nahsr padahal lisannya selalu membaca al-Qur’an sampai dia dikuburkan!” Yang meriwayatkan kisah ini berkata, “Maka al-Mutawakkil tersentuh hatinya karena hal itu, dan dia tidak senang dengan apa yang didengarnya tentang saudaranya.
Lalu masuklah Muhammad bin Abdul Malik az-Zayyat, maka al-Mutawakkil berkata kepadanya, ‘Wahai putra Abdul Malik, dalam hatiku terdapat sesuatu dari pembunuhan Ahmad bin Nashr!’ Maka Muhammad berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin! Allah membakar diriku dengan api (kalau aku berbohong); tidaklah Amirul Mukminin al-Watsiq membunuh melainkan seorang yang kafir!!’
Yang meriwayatkan kisah ini berkata, “Lalu masuklah Hartsamah, lalu al-Mutawakkil berkata, ‘Wahai Hartsamah, dalam hatiku terdapat sesuatu dari pembunuhan Ahmad bin Nashr!’ Maka Hartsamah menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, Allah memotong-motong diriku menjadi beberapa potongan kecil (apabila aku berbohong); tidaklah Amirul Mukminin al-Watsiq membunuh melainkan seorang kafir!!’
Dia berkata, “Kemudian masuklah Ahmad bin Abi Du’ad, lalu al-Mutawakkil berkata kepadanya, ‘Wahai Ahmad, dalam hatiku terdapat sesuatu dari pembunuhan Ahmad bin Nashr!’ Maka Ahmad menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, Allah menghukum diriku dengan lumpuh sebelah badan (hemiplegia) (kalau aku berbohong), tidaklah Amirul Mukminin al-Watsiq membunuh melainkan seorang kafir!!’
Al-Mutawakkil berkata, “Adapun az-Zayyat, maka aku membakarnya dengan api, sedangkan Hartsamah, maka dia kabur, pergi ke pedalaman, dan melewati suatu kabilah Khuza’ah, lalu seorang penduduk daerah itu mengenalinya dan berkata, ‘Wahai sekalian suku Khuza’ah, inilah yang telah membunuh Ahmad bin Nashr!’ Maka mereka memotong (badan)nya menjadi beberapa potongan kecil!
Dan adapun Ahmad bin Abi Du’ad, maka Allah membuatnya terpenjara dalam kulitnya (karena terkena lumpuh sebelah)!!” (Disebutkan dalam Tahdzib al-Kamal, 1/511; dan Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, 2/53).

2. Salah seorang perempuan –dan dia adalah seorang dosen universitas dan telah diceraikan dua kali– menceritakan (kisahnya), dia berkata, “Kisah kezhalimanku ini terjadi tujuh tahun yang lalu. Setelah perceraianku yang kedua, aku memutuskan untuk menikah dengan salah seorang kerabatku yang dianugerahi kehidupan yang tenang bersama istri dan lima orang anak-anaknya, di mana aku bersekongkol dengan anak laki-laki bibiku, yang mana dia menyukai istri laki-laki ini. Kami bersekongkol untuk menuduhnya telah berkhianat terhadap suaminya! Kami mulai menyebarkan kabar-kabar bohong di antara para kerabat, dan dengan berlalunya waktu, kami berhasil, di mana kehidupan rumah tangga mereka berdua menjadi berantakan dan berakhir dengan perceraian.
Dan setelah berlalu satu tahun, perempuan tersebut, yang diceraikan karena kabar-kabar bohong tersebut, menikah dengan laki-laki lain yang berkedudukan, sedangkan suaminya menikah dengan perempuan selainku! Dengan demikian, aku dan anak bibiku tidak berhasil mendapatkan tujuan yang kami inginkan, malahan kami mendapatkan hasil perbuatan zhalim kami; yaitu aku terkena penyakit kanker darah!
Adapun anak bibiku, dia mati terbakar bersama saksi yang kedua, disebabkan konsletnya listrik di apartemen tempat dia tinggal, dan itu terjadi tiga tahun setelah peristiwa tersebut.” (Kisah ini diterbitkan dalam sebuah makalah yang ditulis oleh Muhammad bin Abdullah al-Manshur, dengan judul: Risalah Bila ‘Unwan dalam koran elektronik al-Yaum, edisi no. 11854, Senin 26/10/1426 H, bertepatan dengan 28/11/2005 M).

Sumber: 50 Prinsip Pokok Ajaran Al-Qur’an, Dr Umar bin Abdullah Al-Muqbil.