Hakikat tauhid adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah, ini adalah makna la ilaha illallah, yakni tidak ada yang disembah secara haq kecuali Allah. Sedangkan syirik yang terjadi dalam hal ini adalah keyakinan bahwa selain Allah berhak untuk disembah sehingga pemilik keyakinan tersebut menjadikan selain Allah itu sebagai sekutu bagi Allah, perbuatannya tersebut sejatinya adalah menyamakan makhluk dengan Khalik, mengangkat makhluk ke derajat yang bukan haknya dan tidak patut untuknya, bahkan mustahil baginya, yaitu derajat Ilahiyah dan membuatnya berhak untuk disembah.

Sekalipun hal ini sudah jelas, namun kalangan ahli kalam tidak mengetahui hal ini atau hampir-hampir tidak mengetahui, sehingga yang kita baca dalam buku-buku mereka hanyalah Tauhid Rububiyah, mereka sama sekali tidak mengetahui sedikit pun makna la ilaha illallah, mereka berusaha mati-matian menepis tasybih Khalik dengan makhluk, namun mereka melalaikan tasybih makhluk dengan Khalik yang berarti syirik.

Tasybih terbagi menjadi dua: Tasybih Khalik dengan makhluk, ahli kalam bersusah payah dalam membatalkan dan menolak bagian ini, padahal orang-orang yang meyakininya di kalangan manusia lebih sedikit daripada bentuk kedua, yaitu ahli tasybih makhluk dengan Khalik, seperti orang-orang yang mengagungkan para syaikh, Uzair, matahari, rembulan, berhala-berhala, para malaikat, api, air, anak sapi, kuburan, jin dan lain-lainnya. Kepada mereka inilah para Rasul diutus untuk mengajak mereka kepada ibadah hanya kepada Allah semata tidak ada sekutu bagiNya.

Kalimat tauhid di mana semua Rasul seluruhnya mengajak kepadanya adalah la ilaha illallah, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, penetapan tauhid dengan kalimat ini dengan mempertimbangkan dua sisi, yakni penafian dan penetapan yang mengandung makna pembatasan, karena sekedar penetapan tidak aman dari kemungkinan yang menyusup ke dalamnya, oleh karena itu, wallahu a’lam, manakala Allah berfirman, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa.” (Al-Baqarah: 163), Dia berfirman sesudahnya, “Tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 163). Karena mungkin terlintas di benak seseorang pikiran setan, “Anggaplah kita memiliki satu Tuhan, tetapi orang lain memiliki tuhan-tuhan lain.” Maka untuk menepis pikiran buruk ini Allah berfirman, “Tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 163).

Allah juga bersaksi untuk diriNya dengan tauhid ini, para malaikatNya, para nabiNya dan para rasulNya juga bersaksi untukNya. Allah Ta’ala berfirman, “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan yang haq melainkan Dia, yang menegakkan keadilan, para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan yang demikian. Tak ada Tuhan yang haq melainkan Dia yang berhak disembah, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Ali Imran: 18).

Ayat ini menetapkan hakikat tauhid, bantahan terhadap semua aliran-aliran sesat, ia mengandung kesaksian paling mulia, paling agung, paling adil dan paling benar, dari saksi paling mulia dengan obyek kesaksian yang juga paling mulia.

Kesaksian ini mengandung empat tingkatan:

Pertama: Ilmu, pengetahuan dan keyakinan terhadab keshahihan dan keakuratan obyek kesaksian.

Kedua: Pengungkapannya dengan itu, sekalipun dia tidak menyampaikannya kepada orang lain, karena dia hanya menyampaikannya kepada dirinya sendiri, mengingat, mengucapkannya atau menulisnya.

Ketiga: Penyampaiannya kepada orang lain dengan apa yang dia saksikan, mengabarkannya dan menjelaskannya kepadanya.

Keempat: Memegang kandungannya dan mengajak orang lain kepadanya.

Kesaksian Allah Subhanahu untuk diriNya dengan keesaan dan penegakan keadilan mengandung empat tingkatan tersebut, yaitu ilmuNya dengan itu, pembicaraanNya dengannya, pemberitahuan dan pengabaranNya kepada makhlukNya dengannya, perintah dan penetapannya dengannya.

Allah bersaksi dengan menjadikan tanda-tanda dari makhlukNya sebagai bukti atasNya dan petunjuknya diambil dari makhluk dan penciptaanNya.

Sisi konsekuensi kesaksian Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hal ini adalah bahwa bila Dia bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq selain Allah, berarti Dia telah mengabarkan, menjelaskan, memberitahukan, menghukum dan menetapkan bahwa selainNya bukan Tuhan, bahwa ketuhanan selainNya adalah batil, tiada yang berhak disembah selainNya, sebagaimana ketuhanan tidak layak bagi selainNya, hal ini menuntut perintah untuk menjadikanNya sebagai Tuhan semata dan larangan mengangkat selainNya sebagai Tuhan bersamaNya, makna ini dipahami oleh pendengar atau pembaca dari penafian dan penetapan ini, sebagaimana bila kamu melihat seorang laki-laki meminta fatwa atau kesaksian atau kesembuhan kepada seseorang padahal orang tersebut tidak kapabel di bidangnya dan meninggalkan orang yang ahli di bidangnya, maka kamu berkata kepadanya, “Dia bukan mufti, bukan saksi dan bukan dokter. Mufti adalah fulan, saksi adalah fulan dan dokter adalah fulan.” Ini mengandung perintah dan larangan.

Di samping itu, ayat menunjukkan bahwa hanya Allah yang berhak untuk disembah, maka bila Dia mengabarkan bahwa hanya diriNya satu-satunya yang berhak untuk disembah, maka pengabaranNya ini mengandung perintah kepada para hamba dan pengharusan kepada mereka agar menunaikan apa yang menjadi hak ar-Rabb Ta’ala atas mereka, dan bahwa menunaikan hal itu adalah hak Allah secara khusus atas mereka. Wallahu a’lam