Kebutuhan penduduk bumi terhadap para Rasul tidak seperti kebutuhan mereka terhadap matahari, bulan, angin, dan hujan. Tidak pula seperti kebutuhan seseorang terhadap kehidupannya. Tidak pula seperti kebutuhan mata terhadap cahaya, kebutuhan tubuh terhadap makanan dan minuman. Bahkan, kebutuhan mereka terhadap para Rasul lebih besar dari itu, dan lebih membutuhkan daripada setiap hal yang terlintas di pikiran; karena para Rasul itu adalah mediator antara Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan makhluk-Nya dalam penyampaian perintah dan larangan-Nya, dan mereka adalah para duta antara Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan antara para hamba-Nya. Mereka menyeru para hamba-Nya kepada agama Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Mereka menyampaikan risalah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepada para hamba-Nya. Dan, mereka menunjukkan para hamba Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- kepada jalan-Nya yang lurus.

Penutup para Rasul itu dan penghulunya, serta yang paling mulia di antara mereka di sisi Rabbnya, yaitu Muhammad bin Abdullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– pernah mengatakan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ

Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku adalah rahmat yang diberi petunjuk.[1]

Dan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (al-Anbiya: 107)

Maka, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengutusnya sebagai rahmat bagi seluruh alam dan sebagai pedoman bagi orang-orang yang menempuh jalan (kepada Rabb semesta alam), serta sebagai hujah atas semua makhluk seluruhnya. Dan, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pun mewajibkan kepada para hamba-Nya untuk menaatinya dan mencintainya, memuliakannya dan menghormatinya, serta menunaikan hal-hal yang menjadi hak-haknya. Dan, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menutup semua jalan, sehingga Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak membuka (satu jalan pun) bagi seseorang (yang ingin menuju kepada-Nya) melainkan harus melalui jalannya. Dan, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-pun mengambil janji terhadap seluruh para Nabi dan Rasul, untuk beriman kepadanya dan mengikutinya, dan Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memerintahkan mereka agar mengambil janji tersebut terhadap siapa saja yang mengikuti mereka dari kalangan orang-orang yang beriman.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengutusnya mendekati tibanya hari Kiamat dengan membawa petunjuk dan agama yang benar sebagai pemberi kabar gembira dan ancaman, dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi. Maka, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menutup risalahnya dengan mengutusnya, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menunjuki dengannya dari kesesatan. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-  mengajari dengannya dari kebodohan. Dengan risalah yang dibawanya, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- membuka mata-mata yang buta, telinga-telinga yang tuli dan hati-hati yang tertutup. Dengan risalahnya bumi menjadi terang benderang setelah berada dalam kegelapannya. Hati-hati menyatu setelah bercerai berai. Maka, dengan syariat yang dibawanya itu, dia menegakkan dan meluruskan agama yang bengkok. Dan dengannya pula Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjelaskan hujah yang terang. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- melapangkan dadanya, menurunkan bebannya darinya, meninggikan sebutan namanya baginya. Dan, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang yang menyelisihi perintahnya.

Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengutus beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ketika terputus pengiriman rasul-rasul dan ketika terputus pelajaran-pelajaran dari kitab-kitab, seperti kata beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-

إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ

“Sesungguhnya Allah memandang kepada penduduk bumi, lalu Dia murka terhadap mereka, kalangan Arabnya dan kalangan non-Arabnya, kecuali sisa-sisa kalangan ahli kitab (yang masih berpegang teguh dengan agama mereka yang benar sebelum ada pengubahan)” [2]

Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengutus beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ketika perkataan-perkataan diubah, syariat-syariat diganti, setiap kaum bersandar kepada pendapat mereka yang paling zalim, mereka memutuskan perkara atas nama Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- di antara para hamba-Nya dengan ucapan-ucapan mereka yang rusak dan hawa nafsu-hawa nafsu mereka. Maka, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan hidayah kepada para makhluk dengan lantaran beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Menjelaskan kepada mereka jalan tersebut. Mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

{قَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ ذِكْرًا . رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِ اللَّهِ مُبَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ}

“Sungguh Allah telah menurunkan peringatan kepadamu. (dengan mengutus) seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Allah kepadamu yang menerangkan (bermacam-macam hukum), agar Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dari kegelapan kepada cahaya.” (ath-Thalaq: 10-11)

Maka, dengannya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikan melihat orang yang buta. Dengannya pula Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- membimbing orang-orang yang tersesat jalannya. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikannya sebagai pembagi antara Surga dan Neraka. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- membedakan antara orang-orang yang berbakti dan orang-orang yang durhaka. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikan petunjuk dan kebahagiaan terletak pada mengikutinya dan mencocokinya. Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikan kesesatan dan kesengsaraan terletak pada bermaksiat kepadanya dan menyelisihinya.

Dan, dengannya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menguji para makhluk-Nya di kubur mereka. Maka, di alam kubur mereka bakal ditanya tentang beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan dengan beliau mereka diuji.

Anas (bin Malik) – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- meriwayatkan dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, beliau bersabda,

الْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتُوُلِّيَ وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَأَقْعَدَاهُ فَيَقُولَانِ لَهُ : مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَيَقُولُ : أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ ، فَيُقَالُ : انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنْ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنْ الْجَنَّةِ . قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا ، وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ ، فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ . ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ

“Seorang hamba (yang beriman) kala telah diletakkan di dalam kuburnya dan orang-orang yang mengantarkannya sampai ke kuburnya telah pergi meninggalkannya, sungguh ia dapat mendengar derap suara sandal-sandal mereka, dua malaikat mendatanginya, lalu mendudukkannya, kedua malaikat itu akan menanyainya, ‘Apa yang dulu kamu telah katakan tentang lelaki ini Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, ? . ’‘ Lalu ia akan  mengatakan, ‘Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.’ lalu, akan dikatakan (kepadanya),’lihatlah kepada tempat dudukmu dari Neraka, Allah telah menggantinya menjadi tempat duduk dari Surga.’ Nabi –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَbersabda, ‘Maka orang tersebut melihat keduanya (kedua tempat duduk tersebut) semuanya.   

Adapun orang kafir atau orang Munafik, niscaya ia akan mengatakan, ‘Aku tidak tahu, dulu aku mengatakan apa yang dikatakan orang-orang.’ Maka, dikatakan (kepadanya), ‘Engkau tidak tahu dan Engkau tidak mengikuti.’ Kemudian ia akan dipukul satu kali pukulan dengan menggunakan palu dari besi pada bagian antara kedua telinganya. Ia pun akan menjerit dengan jeritan yang dapat didengar oleh makhluk yang berada di sekitarnya kecuali ats-Tsaqalain (manusia dan jin) [3]

Dan dari Abu Hurairah – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, Rasulullah – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ لِأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالْآخَرُ النَّكِيرُ فَيَقُولَانِ : مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ ؟ فَيَقُولُ مَا كَانَ يَقُولُ هُوَ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ، فَيَقُولَانِ قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ هَذَا ، ثُمَّ يُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِي سَبْعِينَ ثُمَّ يُنَوَّرُ لَهُ فِيهِ ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ نَمْ ، فَيَقُولُ أَرْجِعُ إِلَى أَهْلِي فَأُخْبِرُهُمْ ؟ فَيَقُولَانِ نَمْ كَنَوْمَةِ الْعَرُوسِ الَّذِي لَا يُوقِظُهُ إِلَّا أَحَبُّ أَهْلِهِ إِلَيْهِ ، حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ . وَإِنْ كَانَ مُنَافِقًا قَالَ : سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ فَقُلْتُ مِثْلَهُ لَا أَدْرِي ، فَيَقُولَانِ: قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ ذَلِكَ ، فَيُقَالُ لِلْأَرْضِ الْتَئِمِي عَلَيْهِ ، فَتَلْتَئِمُ عَلَيْهِ فَتَخْتَلِفُ فِيهَا أَضْلَاعُهُ ، فَلَا يَزَالُ فِيهَا مُعَذَّبًا حَتَّى يَبْعَثَهُ اللَّهُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ

“Apabila orang yang meninggal dunia telah dikuburkan-atau beliau mengatakan, ’salah seorang di antara kalian (telah dikuburkan) – dua malaikat berwarna hitam-biru mendatanginya. Dikatakan, satunya bernama Munkar dan yang satunya lagi bernama Nakir. Lalu, kedua malaikat itu mengatakan, ‘Apa yang dulu kamu katakan tentang laki-laki ini? Maka orang itu mengatakan apa yang dulu pernah ia katakan, ‘Dia adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang hak kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.’

Lalu, kedua malaikat itu mengatakan (kepadanya), ‘Sungguh kami tahu bahwa engkau mengatakan ini.’ Kemudian dilapangkan kuburnya 70 hasta kali 70 hasta, kemudian diterangi  cahaya. Kemudian, dikatakan kepadanya, ‘Tidurlah.’ Namun, ia mengatakan, ‘Bisakah aku kembali ke keluargaku, agar aku dapat memberitahukan kepada mereka (tentang nikmat ini)? Tetapi, kedua malaikat tersebut mengatakan (kepadanya), ‘Tidurlah layaknya tidurnya serorang pengantin yang tidak ada orang yang akan membangunkannya kecuali keluarganya yang paling mencintainya, hingga Allah membangkitkannya dari tempat pembaringannya tersebut.

Dan bila si mayit itu adalah orang munafik, ia akan mengatakan, ‘Aku mendengar orang-orang mengatakan (tentang lelaki itu demikian dan demikian)  maka aku mengatakan seperti itu, aku tidak tahu. Maka, kedua malaikat itu mengatakan (kepadanya), ‘Sungguh kami dulu telah mengetahui bahwa engkau mengatakan hal itu.’ Lalu, dikatakan kepada bumi, ‘himpitlah ia’ maka bumi pun menghimpit orang tersebut, sehingga retak tulang-tulang rusuknya. Maka, orang tersebut selalu saja disiksa di dalam kubur sampai Allah membangkitkannya dari tempat pembaringannya tersebut.[4]

Dan sungguh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah memerintahkan untuk menaati rasul-Nya -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– di lebih dari 30 tempat di dalam al-Qur’an. Dan, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga menggabungkan ketaatan kepadanya dengan ketaatan kepada-Nya. Dan Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pun menggabungkan antara penyelisihan kepadanya dan penyelisihan kepada-Nya. Sebagaimana Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menggabungkan antara namanya dan nama-Nya. Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ketika mengomentari firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

{وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ}

“Dan Kami tinggikan sebutan (nama)mu bagimu.” (asy-Syarh: 4)

Mengatakan, ‘(Maknanya, yakni) ‘لا أذكر إلا ذكرت معي ‘ (Tidaklah Aku disebut melainkan engkau (juga) disebut bersama-Ku).’

Ini seperti dalam tasyahhud, dalam khutbah, dan dalam adzan. Dikatakan dalam hal-hal tersebut, ‘أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ‘ (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). Maka, tidak sah keislaman seseorang melainkan dengan menyebut-Nya dan bersaksi akan kerasulannya. Demikian pula, azan tidak sah kecuali dengan menyebut (nama)-Nya dan persaksian akan kerasulannya. Dan, tidak sah pula shalat kecuali dengan menyebut (nama)-Nya dan persaksian akan kerasulannya.

Dan sungguh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah memperingatkan dari tindakan menyelisihinya dengan peringatan yang sangat keras, seraya berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

”Maka hendaklah orang-orang yang  menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

Dan, demikian pula Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- akan memakaikan pakaian kehinaan dan kerendahan terhadap orang yang menyalahi perintahnya.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي ، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي ، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Dari Ibnu Umar-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, ‘Aku diutus pada waktu telah dekatnya hari Kiamat, dengan memanggul pedang hingga Allah-lah semata yang disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dijadikan rizki-ku di bawah naungan tombakku, dan dijadikan kehinaan dan kerendahan atas siapa saja yang menyelisihi perintahku. Dan barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.[5]

Dan sebagaimana halnya bahwa barang siapa menyelisihi beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, menentangnya, dan memusuhinya dialah orang yang sengsara dan binasa, maka demikian pula orang yang berpaling darinya dan berpaling dari apa-apa yang dibawanya dan merasa tenang dan nyaman dengan selainnya, dan ia pun rela dengan hal itu sebagai ganti dari syariat yang dibawanya, niscaya ia pun bakal binasa pula. Jadi, kesengsaraan dan kesesatan terletak pada tindakan berpaling darinya dan terletak pula pada tindakan mendustakannya. Sedangkan petunjuk dan keuntungan terletak pada tindakan siap, menerima dan mengamalkan apa-apa yang dibawanya, dan mendahulukannya atas segala sesuatu selainnya.

Dengan demikian, ada tiga golongan ; pertama, orang yang beriman terhadapnya, dialah orang yang mengikutinya, mencintainya, mendahulukannya atas yang lainnya. Adapun dua golongan yang lainnya, kedua dan ketiga adalah orang yang memusuhinya, mencampakkannya, dan berpaling dari apa-apa yang dibawanya (berupa risalah dan syariat Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-). Maka, golongan yang pertamalah, dialah orang yang akan berbahagia. Adapun dua golongan lainnya, kedua-duanya akan binasa dan sengsara. [6]

Sesungguhnya menghitung-hitung keutamaan-keutamaan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan menyebutkan keistimewaannya dan kebaikan-kebaikanya merupakan perkara yang akan menentramkan hati orang yang beriman, menjadikan jiwa yang jujur berbinar-binar, dan mengharumkan majlis-majlis yang baik. Bagaimana tidak!! Sementara beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- adalah penghulu anak Adam, pemimpin para makhluk seluruhnya, hamba yang paling dicintai oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى. Karena dia adalah Rasul-Nya dan kekasihnya yang terpilih.

Dan sungguh generasi pertama dari kalangan umat ini, yaitu, para sahabatnya yang mulia-semoga Allah meridai mereka-telah mendapati dan mengetahui dengan pengetahuan yang sempurna tentang keutamaan dan kedudukan Nabi yang mulia ini. Maka, mereka mengedepankan kecintaan kepadanya atas jiwa dan hal-hal yang berharga lainnya. Mereka telah menggunakan segenap daya dan kekuatan, waktu, dan harta yang mereka miliki untuk menolongnya dan memuliakannya. Dan mereka pun telah menunaikan hak-haknya dengan lengkap dan sempurna. Sehingga, mereka (para sahabat Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -) menjadi manusia-manusia yang paling berhak dan paling utama karena menemani beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dan menjadi orang-orang yang paling lurus jalannya dalam mengikutinya dan melazimi metodenya.

Abdullah bin Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- mengatakan, “Barang siapa ingin mengambil keteladan maka ambillah keteladanan dari orang-orang yang telah meninggal dunia. Mereka itulah para sahabat Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – . Mereka adalah generasi terbaik umat ini. Orang-orang yang paling baik hatinya. Orang-orang yang paling mendalam ilmunya. Orang-orang yang tidak memberat-beratkan dirinya (dalam menjalankan agama). Sekelompok orang yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – dan menukilkan agamanya.  Maka dari itu, tirulah akhlak mereka dan cara-cara mereka. Karena mereka para sahabat Muhammad-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – , mereka telah berada di atas petunjuk yang lurus, demi Allah dan Rabb Ka’bah.”

Dan dalam kondisi besarnya kadar keterasingan agama ini dan minimnya pengetahuan dan pemahaman terhadap petunjuk penghulu para Nabi dan para Rasul, tumbuhlah di tengah-tengah sebagian kalangan orang-orang Islam perkara-perkara yang sangat mengherankan dan hal-hal baru nan menakjubkan. Sebagian orang di antara mereka menghendaki dengan itu sebagai ungkapan tentang kecintaan dirinya terhadap Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –. Maka, mereka menjadikan hari kelahiran beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – sebagai sebuah perayaan. Mereka menjadikan hijrah beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ke Madinah sebagai perayaan. Dan mereka menjadikan malam beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – di-isra’kan sebagai musim yang diistimewakan. Dan, begitu pula hari-hari yang lainnya. Sehingga mereka berkumpul di hari-hari itu (pada siang harinya atau pun pada malam harinya) untuk mendendangkan syair-syair, melantunkan puji-pujian dan membacakan puisi-puisi (yang tidak jarang di dalamnya terdapat penyelisihan terhadap petunjuk-petunjuk Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –). Mereka ini, sekali pun tujuan mereka  melakukan hal-hal tersebut adalah  menampakkan rasa cinta kepada Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –, dan itu adalah tujuan yang baik, hanya saja menampakkan kecintaan seseorang kepada Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – tidaklah benar kecuali dengan mengikuti beliau-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –dan melazimi caranya, serta manapaki jejak langkahnya. Oleh kerena ini, perbuatan-perbuatan baru yang diada-adakan oleh mereka ini tidak sedikit pun dinukil dari seorang pun dari kalangan para sahabat, tidak pula dari kalangan para tabi’in, dan tidak pula dari kalangan para imam yang diakui (keimamannya, keilmuannya dan ketakwaannya).

Dan seorang yang terbimbing adalah siapa yang mengikuti jejak langkah mereka (para sahabat, para tabi’in dan para imam) dan melazimi cara mereka, serta menempuh jalan mereka. Karena mereka adalah umat Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– yang paling benar jalannya, paling lurus perkataannya, dan paling baik jalannya.

Semoga Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – mempertemukan kita dan kalian semuanya dengan mereka. Semoga pula Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-mengaruniakan rizki kepada kita dapat mengikuti jejak mereka dan menempuh jalan mereka. Dan, menjadikan kita semuanya termasuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa.

Dan kita pun memohon kepada-Nya -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengikutinya dan beriman kepadanya, menghidupkan kita di atas sunahnya dan mewafatkan kita di atas sunahnya pula,  mengumpulkan kita pada hari Kiamat kelak di golongannya dan di bawah panjinya, mengaruniakan kepada kita syafa’atnya, dan mengampuni kesalahan-kesalahan kita dan keteledoran-keteledoran kita. Sesungguhnya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Maha Mendengar doa dan Dzat yang layak diharapkan, dan cukuplah Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadi penolong bagi kita dan Dia-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-sebaik-baik pelindung.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber:

Fadhlu An-Nabiy—shallallahu ‘alaihi wa sallam- Wa Wujubu Ittiba’ihi, Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad-حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى.

 

Catatan:

[1] HR. al-Hakim (1/35) dari hadis Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, dan dishahihkan oleh al-Albani-رَحِمَهُ اللهُ- di dalam (ash-Shahihah) (490)

[2] HR. Muslim (2865) dari hadis Iyadh bin Himar al-Mujasyi’i -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-.

[3] HR. al-Bukhari (1338) dan Muslim (2870)

[4] HR. at-Tirmidzi (1071) dan dihasankan oleh al-Albani -رَحِمَهُ اللهُ– di dalam (shahih sunan at-Tirmidzi) (856)

[5] HR. Ahmad (2/50), dan dishahihkan oleh al-Albani -رَحِمَهُ اللهُ– di dalam (Shahih al-Jami’) (2831)

[6] Lihat, Majmu’ al-Fatawa, karya: Ibnu Taimiyah (19/100-105)