Alhamdulillah. Telah dimaklumi bersama bahwa qadha puasa Ramadhan merupakan kewajiban atas orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena udzur syar’i, seperti safar dan sakit. Sebagaimana firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain…” (al-Baqarah: 184)

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain (al-Baqarah: 185)

Dan, dalam hal qadha (mengganti) puasa yang ditinggalkan ini, ada beberapa masalah yang patut kiranya dimengerti. Di antaranya adalah apa yang telah disebutkan pada bagian pertama, kedua, dan ketiga tulisan ini, yaitu,

  1. Masalah Pertama: Penyegeraan dan Penundaan dalam Mengqadha Puasa Wajib
  2. Masalah Kedua: Penundaan Qadha Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya
  3. Masalah Ketiga: Wajibnya melanjutkan puasa qadha [1]
  4. Masalah Keempat: Mendahulukan puasa sunnah atas puasa qadha
  5. Masalah Kelima: Kebolehan Melakukan Qadha secara terpisah-pisah [2]
  6. Masalah Keenam: Mengqadha Puasa Ramadhan di Hari-hari Bulan Ramadhan
  7. Masalah Ketujuh: Mengqadha Puasa Ramadhan di Hari Raya (Iedul Fithri dan Iedul Adha)
  8. Masalah Kedelapan: Mengqadha puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah [3]

 

Adapun pada bagian keempat tulisan ini, akan disebutkan masalah yang lainnya terkait dengan qadha puasa ini, yaitu,

Masalah Kesembilan: Mengqadha puasa pada hari-hari tasyriq

Masalah ini diperselisihkan menjadi dua pendapat;

Pendapat pertama: Bahwa hari-hari tasyriq bukanlah waktu untuk mengqadha puasa. Dengan pendapat inilah Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat [4]

Pendapat kedu: Bahwa hari-hari tasyriq merupakan waktu untuk mengqadha puasa. Dengan pendapat inilah kalangan Malikiyah berpendapat [5], dan pendapat ini juga merupakan satu riwayat dari imam Ahmad [6]

Dalil-dalil

Dalil-dalil pendapat pertama:

Pendapat pertama ini didasarkan pada dalil-dalil berikut,

1-Hadis Nubaisyah al-Hudzaili -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- secara marfu’

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Hari-hari tasyriq merupakan hari-hari makan dan minum.” [7]

2-Hadis Ka’ab bin Malik -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, bahwa Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-mengutusnya dan Aus bin al-Hadatsan pada hari-hari tasyriq, maka beliau menyerukan bahwa tidak akan masuk Surga kecuali seorang mukmin, dan hari-hari Mina merupakan hari-hari makan dan minum [8]

3-Hadis Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- secara marfu’,

أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Hari-hari Mina merupakan hari-hari makan dan minum.” [9]

4-Hadis Ali -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- secara marfu’,

إِنَّهَا لَيْسَتْ أَيَّامُ صِيَامٍ إِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ وَ ذِكْرٍ

“Sesungguhnya hari-hari tasyriq bukanlah hari-hari berpuasa. Hari-hari tasyriq merupakan hari-hari makan, minum dan dzikir.” [10]

5-Hadis Ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا-, bahwa didatangkan makanan kepadanya, lalu sekelompok orang mendekat ke arahnya, sedangkan putranya menyingkir. Maka, Ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- mengatakan kepada putranya tersebut, ‘mendekatlah, lalu makanlah’. Namun putranya mengatakan, ‘sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Maka, Ibnu Umar mengatakan kepadanya, ‘Tidak tahukah kamu bahwa Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pernah bersabda,

إِنَّهَا أَيَّامُ طُعْمٍ وَذِكْرٍ

“Sesungguhnya hari-hari tasyriq itu merupakan hari-hari makan dan berdzikir.” [11]

6-Apa yang diriwayatkan bahwa Abdullah bin Amr bin al-‘Ash -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- pernah menemui ayahnya, ia mendapati ayahnya tengah makan. Ia mengatakan, ‘lalu ia (ayahku) memanggilku (untuk ikut serta makan). Ia berkata, ‘aku katakan kepadanya (ayahku), ‘sesungguhnya aku tengah berpuasa’. Maka, ia (ayahku) mengatakan,

هَذِهِ الْأَيَّامُ الَّتِي نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِنَّ وَأَمَرَنَا بِفِطْرِهِنَّ

“Hari-hari ini (yakni, hari-hari tasyriq) adalah hari-hari dimana Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَmelarang kita berpuasa padanya dan beliau memerintahkan kita untuk berbuka.” [12]

7-Dari Sa’d bin Abi Waqash -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, ‘Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-pernah menyuruhku untuk menyerukan bahwa hari-hari Mina merupakan hari-hari makan dan minum, dan tidak berpuasa di dalamnya, yakni, hari-hari tasyriq. [13]

8-Bahwa berpuasa pada hari-hari tasyriq merupakan tindakan berpaling dari perjamuan Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- bagi hamba-hamba-Nya.

Dalil pendapat kedua:

Pendapat kedua ini didasarkan pada dalil-dalil berikut,

1-Apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- dan Ibnu Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa keduanya mengatakan,

لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدْ الْهَدْيَ

“Tidak diberikan keringanan pada hari-hari tasyriq untuk berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan hadyu” [14]

Sisi pendalilan:

Hadis ini menunjukkan bolehnya berpuasa pada hari-hari tasyriq bagi orang yang tengah berhaji tamattu’ apabila ia tidak mendapatkan hadyu, dan hal itu merupakan hal yang wajib, maka dikiaskan kepadanya segala hal-hal yang wajib, dan termasuk hal yang wajib itu adalah mengqadha puasa Ramadhan  [15]

Sanggahan:

Pendalilan ini disanggah dengan bahwa ini merupakan kias yang menyelisihi nash hadis yang bersifat qath’i dengan menggunakan ungkapan yang bermakna pembatasan berupa penetapan setelah penafian.

2-Bahwa puasa pada hari-hari tersebut (hari-hari tasyriq) sah sebagai ganti kewajiban menyembelih hadyu, maka sah juga puasa di hari-hari tersebut sebagai ganti kewajiban yang lainnya sebagaimana dilakukan pada semua hari-hari yang lainnya.[16]

Sanggahan:

Argumentasi ini disanggah dengan adanya larangan, pada asalnya diharamkan berpuasa pada hari-hari tersebut bagi semua orang, dikhususkan darinya orang yang mengerjakan haji tamattu’ yang tidak mendapatkan hadyu. Sehingga selainnya tetap berlaku ketentuan umum (yaitu, terlarang berpuasa pada hari-hari tersebut).

Tarjih:

Pendapat yang rajih (kuat) –Wallahu A’lam- adalah apa yang menjadi pendapat kalangan yang berpendapat dengan pendapat yang pertama. Karena larangan berpuasa pada hari-hari tersebut berkonsekwensi haramnya melakukan puasa pada hari-hari tersebut secara mutlak, sehingga hari-hari tersebut bukanlah waktu untuk mengqadha puasa.

Masalah Kesepuluh: Mengqadha puasa pada hari yang diragukan

Mengqadha puada pada hari yang diragukan boleh hukumnya, dengan kesepakatan para imam. Ini adalah madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah [17]

Dalilnya:

1-Firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” [18]

Sisi pendalilan:

Ayat ini menunjukan bolehnya mengqadha puasa pada setiap waktu, tanpa dimakruhkan berdasarkan keumuman ayat tersebut. Tanpa ditentukan waktu tertentu. Sehingga bersifat umum pada semua waktu-waktu. Dan, tidak keluar dari keumumannya kecuali apa yang dikeluarkan oleh dalil.

2-Dan oleh karenanya kita katakan bahwa puasanya dari sisi dzatnya merupakan perkara mubah, sementara keharaman melakukannnya atau kemakruhkan melakukannya merupakan perkara yang muncul tiba-tiba menyapanya untuk tujuan sebagai bentuk kehati-hatian [19]

Masalah Kesebelas: Mengqadha puasa pada hari tertentu yang telah dinazarkan untuk berpuasa

Seperti misalnya, seseorang  bernazar untuk berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Sya’ban. Terdapat nash (teks) dikalangan Malikiyah atas tidak sahnya puasa qadha pada hari-hari yang telah dinazarkan untuk berpuasa tersebut. [20]

Dan, pendapat ini merupakan konsekwensi pendapat madzhab yang lainnya (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah), karena mereka tidak membolehkan mengqadha puasa Ramadhan yang telah lalu pada Ramadhan yang datang berikutnya, sebagaimana telah lalu pembahasannya.

Dalilnya:

1-Bahwa hari-hari tersebut telah ditentukan puasanya untuk puasa nazar, sehingga tidak menerima sebagai waktu untuk puasa yang lainnya.

2-Bahwasanya tidak boleh mengqadha puasa pada hari-hari Ramadhan, maka begitu pula (tidak boleh mengqadhanya) pada hari-hari yang telah ditentukan untuk berpuasa nazar dengan semua ketentuan pada masing-masingnya.

Masalah Keduabelas: Mengqadha puasa pada hari Jum’at

Boleh mengqadha puasa Ramadhan pada hari Jum’at. ini adalah madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah [21]

Dalilnya:

1-Firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” [22]

Sisi pendalilan:

Ayat ini menunjukan bolehnya mengqadha puasa pada setiap waktu, tanpa dimakruhkan berdasarkan keumuman ayat tersebut. Tanpa ditentukan waktu tertentu. Sehingga bersifat umum pada semua waktu-waktu. Dan, tidak keluar dari keumumannya kecuali apa yang dikeluarkan oleh dalil.

2-Apa yang telah lalu berupa dalil-dalil yang melarang puasa pada hari Jum’at, kecuali dilakukan puasa juga sehari sebelumnya (yakni, hari Kamis) atas sehari setelahnya (yakni, hari Sabtu).

Sisi pendalilannya:

Dalil-dalil terserbut menunjukkan terlarangnya mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa, maka apabila seseorang berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya, berarti orang tersebut tidak mengkhususkannya (hari Jum’at) dengan puasa.

3-Apa yang telah lalu berupa dalil-dalil yang melarang mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa.

Sisi pendalilannya, sebagaimana sisi pendalilan pada poin sebelumnya.

Masalah Ketiga belas: Mengqadha puasa pada hari Sabtu

Boleh mengqadha puasa Ramadhan pada hari Sabtu. Ini adalah madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah [23]

Dalilnya:

1-Firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” [24]

Sisi pendalilan:

Ayat ini menunjukan bolehnya mengqadha puasa pada setiap waktu, tanpa dimakruhkan berdasarkan keumuman ayat tersebut. Tanpa ditentukan waktu tertentu. Sehingga bersifat umum pada semua waktu-waktu. Dan, tidak keluar dari keumumannya kecuali apa yang dikeluarkan oleh dalil.

2-Apa yang telah lalu berupa dalil-dalil yang membolehkan puasa sunnah hari Sabtu dan tidak validnya larangan puasa sunnah pada hari itu.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber:

Al-Jami’ Li-Ahkami Ash-Shiyam, Prof. Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih, penerbit: Maktabah ar-Rusyd, KSA, Jilid 4, hal. 42-48.

 

Keterangan:

[1]  Masalah pertama, kedua, dan ketiga, dapat Anda baca di https://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=919 atau https://alsofwa.com/masalah-qadha-puasa-bagian-1/

[2] Masalah keempat dan kelima, dapat Anda baca di  https://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=920 atau https://alsofwa.com/masalah-qadha-puasa-bagian-2/

[3] Masalah keenam, ketujuh, dan kedelapan, dapat Anda baca di https://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=974 atau https://alsofwa.com/masalah-qadha-puasa-bagian-3/

[4] Tabyin al-Haqa-iq, 1/344, al-Ikhtiyar, 2/136, Syarh az-Zarqani ‘Ala al-Muwatha 1/179, asy-Syarh al-Kabir, ad-Dardir, 1/536, Raudhatu ath-Thalibin, 2/366, Nihayah al-Muhtaj, 3/177, al-Mughniy, 3/163, Syarh Muntaha al-Iradaat, 1/360, al-Muhalla 6/456

[5] Mawahib al-Jalil, 2/450

[6] al-Inshaf, 3/351

[7] Shahih Muslim-kitab ash-Shiyam-bab: tahrim shaum ayyam at-tasyriq 1141

[8] Shahih Muslim-kitab ash-Shiyam- bab yang lalu 1/800, no. 1142

[9] Sunan Ibnu Majah, no. 1719

[10] al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, no. 1588

[11] al-Musnad, no. 4970

[12] al-Muwatha, no. 1395

[13] al-Musnad, no. 1456

[14] Shahih al-Bukhari-kitab ash-Shiyam- bab: ayyam at-Tasyriq 2/250

[15] Al-Mughni, 3/165

[16] al-Muntaqa, 2/59

[17] Bada-i’ ash-Shana-i’, 2/162, Hasyiyah ad-Dusuqi, 1/514, al-Majmu’, 6/413, al-Furu’, 3/131

[18] Qs. al-Baqarah: 185

[19] Hasyiyah ad-Dusuqi, 1/515

[20] Hasyiyah ad-Dusuqi, 1/515

[21] Bada-i’ ash-Shana-i’, 2/162, Hasyiyah ad-Dusuqi, 1/514, al-Majmu’, 6/413, al-Furu’, 3/131

[22] Qs. al-Baqarah : 185

[23] Bada-i’ ash-Shana-i’, 2/162, Hasyiyah ad-Dusuqi, 1/514, al-Majmu’, 6/413, al-Furu’, 3/131

[24] Qs. al-Baqarah: 185