Sesungguhnya puasa mengajarkan kita untuk bertakwa kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan takwa adalah tujuan dari puasa itu sendiri. Firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 183).

Diwajibkan atas kalian berpuasa agar kalian bertakwa.

Oleh karenanya, puasa yang tidak disertai dengan ketakwaan tidak diterima oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa ketika berpuasa tidak meninggalkan perkataan dusta, kemaksiatan, maka Allah tidak perlu dengan laparnya dan dahaganya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6057).

Sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع

“Betapa banyak orang berpuasa, dia tidak meraih dari puasanya kecuali hanya lapar (dan dahaga).” (HR. Ahmad, no. 9685).

Oleh karenanya, seorang jika dia berpuasa, dia telah meraih ketakwaan, maka puasanya berhasil.

Sekarang kita sudah masuk di bulan Syawal. Kita tahu di bulan Ramadhan bulan spesial, setan-setan dibelenggu oleh Allah  سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى, pahala dilipatgandakan, pintu-pintu langit terbuka, kemudian semangat memotivasi kita untuk beribadah kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Namun, semua itu sekarang sudah berakhir, kita masuk pada bulan Syawal di mana setan-setan berkeliaran kembali seperti semula. Maka, ketakwaan yang sudah kita raih di bulan Ramadhan hendaknya kita bawa dalam kehidupan kita sampai bertemu dengan Ramadhan berikutnya. Apa nilai-nilai ketakwaan yang diajarkan oleh puasa?

 

Muraqabatullah

Banyak nilai-nilai ketakwaan tersebut, di antaranya,

Puasa mengajarkan kita untuk muraqabatullah, yaitu, merasa senantiasa diawasi oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

Seorang ketika berpuasa, bisa saja dia berbuka ketika ia sendirian. Ia bisa minum, ia bisa makan, ia bisa berhubungan dengan istrinya tanpa ada yang melihat. Tetapi dia yakin Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- melihat apa yang dia lakukan. Itu yang disebut dengan muraqabatullah. Ini harus kita hadirkan terutama di zaman sekarang ini. Tatkala seseorang sendirian, tatkala ia berada di dalam kamarnya, tatkala ia jauh dari istrinya, tatkala ia bersafar ke luar negeri. Maka, dia harus tahu bahwasanya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Maha Melihat apa yang dia lakukan. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Maha Melihat apa yang dia lihat, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- Maha Melihat apa yang dia dengar. Maka, dia selalu hadirkan dalam dirinya bahwasanya di antara nama Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- adalahاَلرَّقِيْبُ  (ar-Raqib), yaitu, yang senantiasa mengawasi apa yang kita lakukan.

 

Ikhlas kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-

Kemudian, di antara ketakwaan yang diajarkan oleh puasa adalah ikhlas kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Dalam hadis Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menyampaikan, hadis qudsi, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-berfirman,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

Sesungguhnya seluruh amalan anak Adam untuknya kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalas.” (HR. Al-Bukhari, no. 5927).

Di antara tafsiran para ulama adalah kenapa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengkhususkan puasa, kata Allah ‘puasa adalah milik-Ku’, karena puasa mengajarkan keikhlasan. Artinya apa? Ibadah-ibadah yang lain jika dikerjakan dilihat, orang yang sedang shalat maka terlihat gerakannya, orang yang sedang berumrah atau berhaji, kelihatan ihramnya, orang yang sedang bersedekah dia menjulurkan tangannya untuk bersedekah, orang sedang membaca al-Qur’an terlihat ia membuka mushaf atau mulutnya bergerak. Tapi, puasa tidak kelihatan. Ia berpuasa, tidak makan, tidak minum karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak ada yang tahu. Ya, sehingga ia lebih ikhlas kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, kecuali ia mengabarkan kepada orang lain bahwasanya saya sedang berpuasa. Maka, puasa mengajarkan kepada kita untuk ikhlas kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- bahwasanya cukup Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang tahu amalan kita, tidak perlu kita share, tidak perlu kita publish agar semua orang tahu bahwa kita sudah beramal saleh. Semakin amal saleh tersembunyi, tidak ada yang tahu, semakin pahalanya besar di sisi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Percuma, amalan sebesar apa pun, seletih apa pun, sebanyak apa pun uang yang kita keluarkan kalau kita hanya mencari pujian manusia, pengakuan manusia, hanya mencari pencitraan, maka amalan tersebut akan hilang sia-sia, sirna, ibarat debu yang berterbangan, tidak ada nilainya.

 

Peka kepada Orang-orang yang Susah

Di antara nilai ketakwaan yang diajarkan oleh puasa, puasa mengajarkan kepada kita untuk peka kepada orang-orang yang susah.

Ketika kita berpuasa, apalagi sambil beraktivitas, sambil bekerja, kita rasakan dahaga, kita rasakan kelaparan, sehingga tahu bagaimana orang yang lapar, orang yang dahaga, orang yang haus. Kita tahu rasa mereka. Dengan demikian, seharusnya kita peka terhadap mereka. Demikian juga kita tahu, dengan puasa kita menahan syahwat. Biasanya kita bisa berhubungan dengan istri, kita tidak bisa  di siang hari dan itu adalah perkara yang sulit. Oleh karenanya, kita tahu para pemuda yang mereka belum bisa menikah, menahan syahwat mereka, hendaknya kita peka terhadap mereka, memudahkan mereka untuk menikah, agar mereka bisa menyalurkan syahwat mereka sesuai dengan perintah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Maka puasa mengajarkan kita untuk bersikap sosial, peka terhadap sekitar kita, dengan mudah kita mengeluarkan tangan kita untuk membantu orang-orang susah, karena kita tahu bagaimana rasanya lapar dan rasanya dahaga.

 

Meninggalkan Sesuatu Karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-

Kemudian, di antara nilai ketakwaan yang diajarkan oleh puasa, puasa melatih diri kita untuk meninggalkan sesuatu yang halal karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Nah, kalau suatu yang halal bisa kita tinggalkan karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, bagaimana lagi dengan yang haram? Di siang hari, asalnya kita boleh makan, asalnya kita boleh makan dengan makanan apa saja, kita boleh minum dengan minuman yang segar, yang dingin, yang menyenangkan, tapi di siang hari bolong kita tidak melakukannya. Kenapa? Karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memerintahkan hal tersebut. Kita bisa menggauli istri kita, tapi kita tidak melakukannya padahal perkara-perkara yang halal, bisa kita tinggalkan karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Apalagi perkara-perkara yang jelas-jelas haram. Oleh karenanya, setelah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyebutkan dalam surat Al-Baqarah tentang ayat-ayat puasa, kemudian Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- ikutkan setelah itu tentang larangan makan yang haram, kata Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

 “Janganlah kalian memakan harta sebagian kalian saudara kalian dengan cara yang batil, dengan cara yang haram, atau kalian mengangkat perkara kalian ke penguasa, ke pemerintah, padahal kalian tahu kalian salah, dengan berbekingan dengan penguasa, lantas kalian mengambil harta saudara kalian dengan cara haram.” (Al-Baqarah: 189).

Oleh karenanya, puasa melatih kita, kalau kita bisa meninggalkan perkara yang halal karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, apalagi perkara yang haram. Dan saat ini, kita sangat butuh untuk kuat dalam meninggalkan perkara-perkara yang haram. Betapa banyak perkara-perkara haram ada di sekitar kita; terkait dengan pandangan kita, terkait dengan lisan kita, terkait dengan pendengaran kita, terkait dengan apa yang kita makan hasil pekerjaan kita. Seorang bertakwa kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, puasa mengajarkan dia untuk meninggalkan perkara-perkara yang haram.

 

Kebersamaan

Di antara nilai ketakwaan yang diajarkan oleh puasa, yaitu, ‘kebersamaan’, kebersamaan yang sangat kita butuhkan di saat-saat ini, kebersamaan kaum muslim, kompak di antara mereka. Lihatlah, bagaimana Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengatakan,

اَلصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ

”Puasa adalah di mana manusia semuanya sedang berpuasa, dan namanya lebaran yaitu kalau semua orang lebaran.”

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengajarkan agar puasa dan berlebaran berbarengan,  bersama-sama, untuk mengajarkan kesatuan di antara kaum Muslimin.

Lihatlah, bagaimana shalat malam, yang seharusnya dikerjakan di akhir malam, tetapi Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- majukan, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kerjakan di awal malam. Shalat taraweh, buat apa? Agar kaum muslimin bisa bareng-bareng shalat bersama, bersatu, padahal waktu yang paling utama adalah sepertiga malam yang terakhir. Tidaklah demikian kecuali karena puasa mengajarkan kita untuk bersatu karena Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Kita hidup di zaman, di sana banyak orang-orang yang ingin kaum Muslimin tercerai berai, terpecah belah, saling gontok-gontokan, baik musuh dari luar maupun musuh dari dalam. Baik kalangan orang-orang kafir maupun orang-orang munafik yang ingin kaum muslimin tercerai berai. Maka, janganlah kita terprovokasi. Ingat!, persatuan, kesatuan adalah harga mati di antara kaum Muslimin, maka jangan sempat terprovokasi, jangan sampai kita pun tercerai berai, akhirnya kita pun menjadi gentar, hilang kekuatan kita. kata Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Janganlah kalian saling bergontok-gontokan, maka kalian akan menjadi gentar dan akan hilang kekuatan kalian. Bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46).

 

Sedekah Ibadah yang Agung

Ketika Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- shalat Ied, maka Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sengaja untuk berjalan menuju barisan para ibu-ibu untuk menasehati mereka, mengajarkan bahwasanya di antara ibadah yang agung yang menyelamatkan seseorang dari Neraka Jahannam adalah bersedekah, bersedekah ikhlash karena Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Maka, majulah Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersama Bilal bin Rabah, kemudian Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berkata kepada para ibu-ibu ketika itu,

تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ

“Bersedekahlah kalian. Karena kalian adalah penghuni Neraka yang paling banyak.”

Maka, berdirilah seorang wanita bertanya, ‘Ya, Rasulullah! Kenapa kami para wanita penghuni Neraka yang paling banyak?

Maka, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengatakan,

لِأَنَّ كُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ

“Karena kalian suka mengeluh.”

Maksudnya apa?

Kata para ulama, yaitu, tidak ridha dengan harta yang sedikit, maunya tambah terus, maunya banyak terus, tidak ridha dengan penghasilan suami. تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ , kalian suka mengeluh.

وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ

“Dan kalian tidak berterima kasih kepada suami.”

Tidak berterima kasih kepada suami atas hasil yang diberikan oleh suami. Ini yang membuat para wanita banyak yang masuk Neraka Jahanam. Apa solusinya? Maka, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengatakan,

تَصَدَّقْنَ

“Bersedekahlah kalian.”

“Bersedekahlah kalian.” Maka apa kata sang perawi,

فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ

“Maka ketika itu para shahabiyat, para ibu-ibu di zaman Nabi, mereka langsung bersedekah, tidak main-main, langsung mereka melemparkan perhiasan-perhiasan mereka.”

يُلْقِينَ فِى ثَوْبِ بِلاَلٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ

“Maka mereka pun melemparkan ke baju yang Bilal bentangkan berupa anting-anting dan cincin-cincin mereka karena mereka ingin selamat dari Neraka Jahannam.” (HR. Muslim, no. 885).

Oleh karenanya, ma’asyiral Muslimin, di saat ini, adalah kesempatan yang baik bagi kita untuk banyak bersedekah, pada kerabat, pada orang-orang susah. Semoga sedekah tersebut menyelamatkan kita dari Neraka Jahanam. Amin. Wallahu A’lam. (Redaksi)

 

Sumber: Khutbah Idul Fithri 1443 H dengan judul “Setan Bebas Lagi dari Belenggu”, Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA.